Mencegah pernikahan dini harus juga melibatkan anak selain orangtua. Program bantuan sosial bersyarat dapat menjadi alat mencegah nikah dini.
Oleh
Ninuk Mardiana Pambudy
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Salah seorang aktivis membawa pesan kampanye tentang isu pernikahan dini di Jalan Slamet Riyadi, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (24/7/2022). Isu ini penting karena banyaknya peristiwa pernikahan paksa yang harus dijalani anak-anak di bawah umur.
Batas minimum usia untuk dapat menikah sudah diubah menjadi 19 tahun melalui revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merevisi Undang-Undang Perkawinan 1976 sudah berlangsung, tetapi perkawinan pada usia dini masih terjadi.
Penelitian kualitatif oleh Romi Bhakti Hartarto dan Wahyu Tri Wibowo dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membuktikan perkawinan usia dini masih terjadi. Penelitian di Mataram, Nusa Tenggara Barat, tersebut mencari hubungan antara bantuan sosial bersyarat, Program Keluarga Harapan (PKH), dan perkawinan dini.
Dalam pemaparan secara daring Forum Kajian Pembangunan, Kamis (18/8/2022), Romi dan Wahyu menemukan hal yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu keinginan untuk menikah datang dari anak-anak sendiri. Alasan yang dikemukakan antara lain jenuh tidak memiliki kegiatan, terutama pada masa pembatasan pergerakan masyarakat selama dua tahun lalu.
Hal yang tidak diperkirakan sebelumnya, keinginan untuk menikah datang dari anak-anak sendiri.
Di sisi lain, mereka menemukan keluarga penerima bantuan PKH memahami pentingnya pendidikan mencegah pernikahan dini. Orangtua juga menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya agar memiliki masa depan lebih baik dari orangtua.
Adanya keinginan anak untuk menikah dini menjadi faktor kurang menguntungkan. Apalagi masih ada adat yang membolehkan anak laki-laki ”menculik” anak perempuan walaupun sebenarnya keduanya sama-sama suka.
Selain itu, lingkungan yang lebih luas juga kurang mendukung karena di Lombok angka perkawinan usia anak pada tahun 2018 tercatat 283 kasus, naik dari 219 perkawinan pada tahun sebelumnya, dan pada 2020, berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, perkawinan anak di bawah umur mencapai 874 kasus.
Bagi peneliti perkawinan anak di Lombok, Lies Marcoes Natsir, temuan bahwa keinginan untuk segera menikah datang dari anak-anak bukan hal mengejutkan. Keinginan tersebut juga bukan fenomena khas Lombok karena peneliti lain menemukan kasus itu pula di Sukabumi, Jawa Barat.
Tradisi merarik di Lombok atau selarian adalah bagian dari seluruh rangkaian adat meminang dan menikah. Pada dasarnya merarik adalah penghargaan bagi pengantin perempuan. Calon pengantin laki-laki berani bertarung nyawa untuk mendapatkan istrinya.
Dalam perkembangannya, tradisi tersebut dicabut dari keseluruhan rangkaian adat. Meski demikian, ketika anak perempuan dibawa lari dan tidak ada yang sanggup menolak, perkawinan tetap terjadi walau anak masih di bawah batas usia menikah.
Fenomena anak perempuan sendiri yang berinisiatif melakukan perkawinan dini, menurut Lies, disebabkan orangtua tidak dapat menjalani peran perlindungan. Dalam penelitian Lies Marcoes, fenomena itu disebut ”yatim sosial”. Meski anak memiliki ayah dan ibu, orangtua tidak memiliki daya dukung untuk membesarkan anak perempuan dengan baik.
Anak perempuan memilih kawin pada usia dini, disebut merarik kodeq, karena sekolah dianggap membosankan dan tidak menjanjikan masa depan sejahtera. Apabila ingin memiliki rumah atau naik haji, mereka memilih menjadi pekerja migran. Menurut Lies Marcoes, peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, Mies Grijns, menemukan bahwa di Sukabumi, anak perempuan memilih menikah dini karena lelah mengurus rumah tangga orangtuanya.
Secara nasional, data Badan Pusat Statistik memperlihatkan proporsi perempuan yang berstatus menikah atau hidup bersama sebelum usia 18 tahun terus menurun sejak data tersedia tahun 2019. Jika pada tahun 2019 adalah 10,82 persen, pada tahun 2021 menjadi 9,23 persen. Proporsi tertinggi ada di Sulawesi Barat, yaitu 17,71 persen, diikuti NTB sebesar 16,59 persen.
Pemerintah Provinsi NTB menanggapi tingginya angka perkawinan anak dengan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur NTB Zainul Majdi Nomor 150/1138/Kum tahun 2014 yang mengatur usia minimum untuk menikah adalah 21 tahun. Peraturan tersebut kemudian diganti dengan peraturan daerah yang disahkan DPRD NTB pada Januari 2021.
Program Keluarga Harapan (PKH) adalah bantuan sosial dengan syarat tertentu. Program ini mensyaratkan, antara lain, keluarga penerima memiliki anak yang masih bersekolah hingga sekolah menengah atas, ibu hamil memeriksakan rutin kandungannya, ibu menyusui, anak balita mendapat vaksinasi dasar, ada anggota keluarga usia lanjut, dan atau anggota keluarga dengan disabilitas.
Penelitian di Mataram memperlihatkan peluang untuk mencegah pernikahan dini dengan adanya PKH. Orangtua penerima PKH menginginkan anaknya bisa bekerja mandiri, hidup lebih sejahtera dibandingkan dengan orangtuanya, dan ingin anak-anak mereka mendapat pendidikan setinggi-tingginya.
Anak-anak dengan minat bersekolah tinggi dan anak-anak yang berprestasi di sekolahnya tidak ingin menikah dini. Namun, anak-anak juga menghadapi situasi di mana lingkungan mereka permisif terhadap perkawinan anak, adanya adat yang membolehkan kawin lari, dan ajaran agama yang dipahami membolehkan pernikahan begitu merasa siap. Pemahaman mengenai siap menikah ini yang harus diubah karena tidak cukup hanya dalam pengertian telah akil balig.
Sudah banyak upaya dilakukan di NTB untuk mengubah sikap permisif terhadap kawin dini. Namun, masih banyak dapat dilakukan untuk segera menurunkan pernikahan dini, antara lain menerapkan wajib memiliki ijazah SMA untuk menikah, melaksanakan wajib belajar 12 tahun, dan mengubah adat yang membolehkan kawin lari.
Akan lebih baik apabila PKH juga disertai pembekalan pengetahuan pada anak-anak keluarga peserta untuk bersekolah setinggi-tingginya dan menghindari perkawinan dini. Perlu satu langkah lagi dalam PKH untuk menekan angka kawin anak.