82.957 Pasangan Usia Subur di NTT Menikah di Bawah Usia 19 Tahun
Jumlah pasangan usia subur yang menikah di bawah usia 19 tahun di Nusa Tenggara Timur relatif tinggi sehingga anak yang dilahirkan dan dibesarkan, cara mendidik, serta kehidupan ekonomi cenderung di bawah standar.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 82.957 pasangan usia subur menikah di bawah usia 19 tahun di Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, sebanyak 1.615.492 warga belum memiliki akta kelahiran dari total penduduk 4.292.522 jiwa yang terdata BKKBN. Orangtua dinilai punya andil menentukan pernikahan dini tersebut.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Wilayah NTT Marianus Mau Kuru di Kupang, Minggu (14/11/2021), mengatakan, pendataan keluarga tahun 2021 mencapai 1.123.934 kepala keluarga dari total 1.402.414 jiwa versi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil NTT. Pencapaian ini menempatkan NTT sebagai salah satu provinsi dengan capaian pendataan keluarga terbaik dari 34 provinsi pada 2021.
Dari pendataan itu, sebanyak 82.957 pasangan usia subur di NTT menikah di bawah usia 19 tahun dari total 623.734 pasangan usia subur. ”Pernikahan di bawah usia 19 tahun ini, antara lain, karena pergaulan bebas yang tidak terkendali, tuntutan adat, pemanfaatan media sosial secara kurang bijaksana, dan masalah lain,” kata Mau Kuru.
Persoalan dihadapi pasangan usia subur yang menikah di bawah umur ini, antara lain belum siap mendidik dan membesarkan anak-anak hasil perkawinan serta belum mandiri secara ekonomi dan rumah tinggal sehingga kebanyakan bergantung pada orangtua.
Anak-anak hasil perkawinan pasangan ini sering sakit-sakitan dan memiliki kualitas intelektual di bawah rata-rata. Kedua orangtua belum memiliki keterampilan dan pekerjaan tetap. Mereka kebanyakan lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah.
Anak yang dilahirkan dan dibesarkan, cara mendidik anak, serta kehidupan ekonomi pasangan usia subur yang menikah di bawah usia 19 tahun jauh di bawah standar. Sementara pasangan yang menikah di atas usia 19 tahun rata-rata sudah memiliki pekerjaan tetap dan rumah tinggal serta lebih matang dalam mengambil keputusan.
Pasangan yang menikah di bawah usia 19 tahun ini kebanyakan terbantu oleh bantuan sosial pemerintah setelah memproses kartu keluarga, akta nikah, dan kartu tanda penduduk.
Namun, bansos seperti ini tidak sepenuhnya menjamin kebutuhan hidup secara rutin sepanjang tahun. Masalah kemanusiaan sering lahir dari hasil perkawinan mereka tersebut, seperti kasus tengkes dan kurang gizi atau gizi buruk.
Ada orangtua miskin memaksakan anak perempuan di bawah umur menikah dengan pria yang dinilai ’orang berada’ di desa itu. Perkawinan seperti ini bisa sukses, bisa juga menimbulkan masalah. (Fransiskus Duli)
Jumlah pasangan usia subur yang mengikuti program keluarga berencana (KB) modern sebanyak 340.777 pasangan dan peserta KB alamiah atau tradisional 282.957 pasangan. Pemerintah tidak bisa memaksa peserta KB alamiah atau tradisional bergabung ke KB modern karena metode ini pun dinilai sukses.
Jumlah penduduk NTT berdasarkan data BKKBN sebanyak 4.296.522 jiwa. Dari jumlah ini, sebanyak 2.680.862 jiwa sudah memiliki akta kelahiran dan sisanya 1.615.660 jiwa belum memiliki akta. Warga yang belum memiliki akta kelahiran kebanyakan berada di desa-desa terpencil, keluarga miskin, dan kedua orangtua tidak paham soal pentingnya akta tersebut.
Data tersebut diperoleh dari kader KB di desa-desa. Mereka mengirimkan data secara berjenjang sampai ke tingkat BKKBN provinsi untuk diolah dan ditetapkan. Namun, data ini belum tentu sinkron dengan data dari lembaga lain, seperti Badan Pusat Statistik NTT yang menetapkan jumlah penduduk NTT tahun 2020 sebanyak 5,3 juta jiwa.
Tokoh masyarakat Desa Mewet, Flores Timur, Fransiskus Duli (65), mengatakan, Undang-Undang Perkawinan menghendaki batas usia perkawinan di atas 19 tahun. Namun, praktik hidup di masyarakat, sebagian remaja menikah di bawah usia 19 tahun karena beberapa faktor, seperti tuntutan adat, kehamilan, pergaulan bebas, dan kemiskinan. Pernikahan di bawah umur di desa itu kebanyakan dialami anak perempuan.
”Ada orangtua miskin memaksakan anak perempuan di bawah umur menikah dengan pria yang dinilai ’orang berada’ di desa itu. Perkawinan seperti ini bisa sukses, bisa juga menimbulkan masalah,” katanya.
Ia menilai, orangtua menjadi kunci utama menentukan anak itu menikah di bawah usia 19 tahun atau tidak. Kalau ada anak perempuan hamil pada usia 13 tahun, tetapi orangtua tidak mengizinkan menikah, pernikahan dini dibatalkan. ”Anak hasil hubungan di luar nikah itu dipelihara orangtua si ibu,” katanya.
Masalah tengkes atau kurang gizi tidak hanya dialami pasangan usia subur yang menikah di bawah usia 19 tahun. Mereka yang menikah di atas usia 19 tahun pun memiliki anak-anak dengan masalah serupa. Pembahasan masalah kemiskinan dan perkawinan dini tidak akan selesai karena saling berkaitan.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengatakan, seluruh persoalan terkait kependudukan dan keluarga berencana di NTT tidak dapat ditangani dengan baik karena kelembagaan yang menangani masalah ini tidak jalan. Tidak ada konvergensi di antara instansi terkait.
Pemerintah kabupaten, BKKBN, lembaga agama, serta dunia pendidikan dan kebudayaan jalan sendiri-sendiri. Setiap lembaga membuat laporan tentang kesuksesan mereka, tetapi masalah tetap dialami masyarakat sehari-hari.
”Saya tidak tertarik dengan prestasi dan penghargaan yang diakui lewat secarik kertas atau penghargaan sukses selembar kertas, piala, plakat, atau apa pun bentuknya,” katanya.
Penghargaan tertinggi bagi BKKBN adalah berapa keluarga prasejahtera yang diselamatkan dan berapa remaja putri menjadi pembawa kemajuan bagi generasi berikutnya. Ukuran sukses itu juga pada kesejahteraan masyarakat yang dilayani,.
Jika masyarakat tidak lagi menghadapi masalah tengkes, gizi buruk, rawan pangan, dan kemiskinan, itulah kesuksesan sesungguhnya. Lembaga seperti BKKBN patut berbangga. Mencapai kesuksesan di masyarakat butuh kerja keras dan kolaborasi semua instansi terkait.
Viktor menyarankan agar setiap instansi di desa perlu membahas bersama soal tengkes, gizi buruk, perkawinan usia dini, dan masalah kemanusiaan lainnya. Kemudian masing-masing berbagi peran.
”Lembaga agama dan pendidikan SD-SMA buat apa, kelompok ibu PKK dan kader-kader posyandu buat apa. Jika ada yang tidak melaksanakan tugas itu, sanksinya apa. Semua ini harus dirumuskan secara bersama-sama,” katanya.