Sistem Monitoring Gempa dan Peringatan Dini Tsunami Diperkuat
Konsorsium Gempa Bumi dan Tsunami Indonesia dibentuk untuk memperkuat sistem monitoring gempa bumi dan peringatan tsunami. Penguatan diperlukan untuk mengakomodasi fenomena kegempaan dan tsunami yang kompleks.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami di Indonesia belum mampu mengakomodasi berbagai fenomena bencana yang semakin kompleks. Konsorsium gempa dan tsunami dibentuk untuk memperkuat kapasitas sistem monitoring tersebut.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan, fenomena kegempaan dan tsunami yang terjadi saat ini semakin kompleks. Karena itu, kapasitas sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami pun harus diperkuat dan ditingkatkan.
“Dengan berbagai kondisi yang berkembang saat ini, sistem monitoring harus diperkuat. Tidak hanya itu, pengetahuan dan kualitas SDM-nya pun perlu ditingkatkan,” katanya dalam konferensi pers peluncuran Konsorsium Gempa Bumi dan Tsunami Indonesia, Kamis (25/8/2022), di Jakarta.
Dwikorita menuturkan, sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami atau Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang digunakan di Indonesia saat ini sudah beroperasi sekitar 14 tahun. Sistem tersebut perlu diperbarui dan ditingkatkan kapasitasnya.
Sebab, sistem yang digunakan saat ini belum mampu mengakomodasi nontektonik. Jenis tsunami ini merupakan tsunami yang terjadi di Palu (Sulawesi Tengah) dan Selat Sunda pada 2018.
Fenomena kegempaan dan tsunami yang terjadi saat ini semakin kompleks. Karena itu, kapasitas sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami pun harus diperkuat dan ditingkatkan.
Selain itu, Dwikorita menambahkan, sebagian besar alat yang digunakan dalam sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami saat ini merupakan produk impor. Ratusan seismograf (sensor getaran untuk mendeteksi gempa bumi) yang terpasang juga merupakan produk impor. Hanya ada satu seismograf dalam negeri yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada yang digunakan.
”Menjadi tanggung jawab kami untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sistem yang ada saat ini serta meningkatkan nilai TKDN (tingkat komponen dalam negeri) dari sistem yang digunakan. Targetnya, nanti kita bisa capai TKDN 100 persen dari sistem yang dikembangkan ini,” ujarnya.
Kepala Pusat Riset Teknologi Hidrodinamika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko menyampaikan, sistem monitoring merah putih yang sedang dikembangkan ini akan diupayakan dapat menghasilkan data yang detail dan dapat mengakomodasi karakteristik regional. Pemanfaatan mahadata serta kecerdasan buatan juga dioptimalkan. Dengan data yang lebih detail dan akurat, upaya mitigasi bisa lebih baik.
Profesor Riset Bidang Geologi Gempa dan Kebencanaan Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Kebumian BRIN Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, pengembangan sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami terbaru diharapkan juga menggunakan sensor yang lebih komprehensif dan spesifik. Sensor yang digunakan sebaiknya tidak hanya dapat mendeteksi gelombang gempa, tetapi juga sensor gerak gempa dan perubahan muka air laut.
Konsorsium
Dwikorita menuturkan, Konsorsium Gempa Bumi dan Tsunami Indonesia (KGTI) telah dibentuk untuk mendukung peningkatan kapasitas sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami tersebut. Konsorsium ini terdiri dari beberapa perguruan tinggi dan lembaga, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, BMKG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, serta BRIN.
Menurut dia, kolaborasi, sinergi, dan konektivitas antarpakar yang ada di Indonesia sangat dibutuhkan untuk membangun sistem monitoring gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Dengan begitu, sistem monitoring yang andal, cepat, akurat, mudah dipahami, dan menjangkau luas bisa diwujudkan dengan baik.
”Untuk menghadapi kompleksitas yang semakin rumit, kita harus bergotong royong. Kolaborasi lewat konsorsium diharapkan bisa mewujudkan pula early warning atau peringatan dini, early action atau aksi dini, serta zero victims atau nirkorban,” ujar Dwikorita.