Kleptomania, Saat Hasrat Mencuri Sulit Dikendalikan
Kleptomania beda dengan mengutil. Orang dengan kleptomania memiliki dorongan terus-menerus untuk mencuri dan senang saat mencuri. Untuk membedakannya, diagnosis harus ditegakkan oleh tenaga profesional kesehatan jiwa.
Awal pekan ini, media sosial diramaikan dengan video seorang perempuan bermobil bagus yang dipergoki karyawan minimarket telah mencuri beberapa cokelat di minimarket tersebut. Meski berakhir damai, kasus ini sempat ramai dibicarakan warganet karena pelaku menuntut permintaan maaf dari karyawan minimarket dan pengelola minimarket pun melaporkan ibu tersebut ke polisi.
Kasus pencurian cokelat oleh seorang perempuan berinisial M itu terjadi di Alfamart Sampora, Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (13/8/2022). Setelah video yang diunggah karyawan Alfamart tersebut viral, M mendatangi karyawan tersebut dan menuntut maaf karena merasa nama baiknya dicemarkan.
Namun, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk atau Alfamart, seperti dikutip Kompas.id, Senin (15/8/2022), kemudian melaporkan M ke polisi karena terbukti mengambil beberapa cokelat tanpa membayar dan mengintimidasi karyawan perusahaan mereka. Setelah dipertemukan, kedua pihak akhirnya berdamai pada Senin malam.
”Kedua belah pihak bersepakat karena saling memahami kondisi psikis ibu tersebut,” kata Kepala Kepolisian Resor Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Sarly Sollu, seperti dikutip Kompas.com. M mengaku tak sadar memasukkan cokelat tersebut ke dalam tasnya dan tidak membayarnya di kasir.
Meski tidak ada hasil pemeriksaan terhadap psikis M yang disampaikan kepada publik, banyak orang menduga M mengidap kleptomania. Tampilan dan mobil yang dikendarai M, status pekerjaan M sebagai pemilik toko, hingga jenis dan nilai barang yang diambil makin memperkuat dugaan tersebut.
Baca juga: Alfamart Laporkan Pengutil dan Pengintimidasi Karyawannya ke Polisi
Terlepas dari kasus yang dialami M, kleptomania adalah kondisi saat seseorang mengalami dorongan yang konsisten untuk mencuri barang-barang yang tidak mereka butuhkan. Barang yang diambil pengidap kleptomania umumnya bernilai kecil bagi mereka. Barang yang sudah diambil pun umumnya ditimbun, dibuang, diberikan ke orang lain, atau dikembalikan.
”Mereka tidak mencuri, tetapi mereka menyukainya (tindakan mencuri),” tulis dokter yang juga penulis Naveed Saleh di The Psychology Today, 12 Februari 2022. Dokumentasi tentang kleptomania sudah ada sejak 200 tahun lalu. Namun, perhatian terhadap gangguan ini tidak banyak.
Dikutip dari The Psychology Today, 29 September 2021, kleptomania digolongkan sebagai gangguan kontrol impuls (ICD), yaitu kelompok gangguan kejiwaan yang membuat penderitanya sulit mengendalikan impuls atau gerak hati yang muncul tiba-tiba untuk mencuri. Mereka melakukan pencurian itu tanpa pertimbangan.
Impuls yang muncul pada penderita ICD umumnya berupa tindakan antisosial atau agresivitas. Akibatnya, penderita ICD bisa melakukan kekerasan fisik, pencurian, atau perusakan properti. Gangguan ini tidak hanya berbahaya bagi orang lain, tetapi juga berbahaya bagi penderitanya karena mereka rentan menjadi korban kekerasan orang lain sebagai perlawanan atau pembelaan atas tindakan penderita.
Sebagian ahli memasukkan kleptomania sebagai gangguan obsesif-kompulsif (OCD) karena membuat banyak penderitanya memiliki dorongan kuat mencuri meski hal itu tidak mereka inginkan. Selain itu, kleptomania diduga terkait dengan gangguan suasana hati (mood), terutama depresi.
Penderita kleptomania biasanya tidak merencanakan pencurian mereka. Namun, mereka umumnya akan menghindari melakukan pencurian jika menilai risiko ketahuan atau tertangkapnya besar. Setelah pencurian terjadi, mereka umumnya juga merasa bersalah.
”Orang dengan kleptomania sering berjuang dengan rasa bersalah, penyesalan, depresi, dan ide untuk bunuh diri,” kata Saleh.
Kleptomania juga berbeda dengan pengutil (shoplifter). Mengutil jauh lebih umum dibandingkan dengan kleptomania. Namun, 4-24 persen pengutil yang ditangkap adalah penderita kleptomania. Hal yang membedakan adalah penderita kleptomania umumnya tidak takut atau tidak khawatir jika akhirnya tertangkap atau berurusan dengan hukum.
Karena itu, meski pernah ditangkap, penderita kleptomania biasanya tidak kapok untuk melakukannya lagi. Meski sebagian orang kleptomania harus dipenjara, memberikan kesulitan kepada keluarga, mengalami kesulitan karier, hingga memicu depresi, mereka tidak jera. Repotnya, gangguan ini bisa muncul sampai bertahun-tahun berikutnya.
Orang dengan kleptomania sering berjuang dengan rasa bersalah, penyesalan, depresi, dan ide untuk bunuh diri.
Lebih banyak perempuan
Buku panduan kesehatan jiwa Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi Ke-5 (DSM-5) yang diterbitkan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Amerika (APA) tahun 2013 menyebut kleptomania kemungkinan disebabkan oleh terjadinya gangguan jalur neurotransmitter atau zat kimia otak, khususnya seretonin dan dopamin.
Seretonin adalah hormon yang terkait kebahagiaan atau suasana hati yang baik, sedangkan dopamin adalah hormon yang terkait dengan perasaan senang. Gangguan jalur kedua neurotransmitter itu bisa memengaruhi agresivitas dan sistem penghargaan di otak penderitanya.
Orang dengan kleptomania juga mengalami ketidakseimbangan dalam sistem opioid otak hingga memengaruhi kemampuan mereka dalam menahan dorongan. Sistem opioid di otak berkaitan dengan mekanisme rasa nyeri, persepsi, dan juga modulasi.
Prevalensi atau jumlah penderita kleptomania pada populasi umum diperkirakan hanya 0,3 persen sampai 0,6 persen. Jumlah perempuan penderita kleptomania tiga kali lebih banyak ketimbang pada laki-laki. Penderita kleptomania umumnya melakukan tindakannya secara sendirian, tanpa bantuan orang lain.
Data lain menyebut, meski ada 11,3 persen orang Amerika Serikat yang berpotensi mengutil sekali dalam seumur hidup mereka, sangat sedikit di antara mereka yang menderita kelptomania.
Kleptomania bukanlah gangguan yang diwariskan atau diturunkan. Akan tetapi, sejumlah studi menunjukkan, keluarga dekat dari penderita kleptomania umumnya memiliki potensi mengidap gangguan obsesif-kompulsif dan penyalahgunaan zat adiktif lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, khususnya penyalahgunaan alkohol.
Bukan hanya itu, kleptomania juga bisa disebabkan oleh operasi plastik untuk meratakan perut dan memperbesar payudara. Kasus di Brasil yang dilaporkan dalam The British Medical Journal (BMJ) Case Reports, 29 Januari 2016, menunjukkan seorang perempuan berumur 40 tahun mengalami pikiran untuk mencuri yang mengganggu disertai dorongan yang sulit untuk ditahan setelah operasi. Bahkan, dorongan mencuri itu muncul hingga beberapa minggu sejak operasi.
Fabio Nascimento, tim medis yang merawat perempuan tersebut sekaligus peneliti laporan tersebut, mengatakan, penjelasan paling mungkin dari peristiwa itu adalah sang perempuan menderita kleptomania karena aliran darah ke otaknya tidak memadai di beberapa titik. Hal itu terjadi selama atau sesaat sesudah operasi dilakukan.
”Aliran darah yang terbatas itu membuat otak pasien kekurangan oksigen dan nutrisi yang membuat fungsi otaknya terganggu dan rusak,” kata Nascimento, seperti dikutip Livescience, 12 Februari 2016.
Gejala
DSM-5 menyebut gejala kleptomania yang paling sering terlihat adalah munculnya dorongan terus-menerus dan berulang untuk mencuri barang yang secara pribadi tidak dibutuhkan atau tidak memberikan keuntungan finansial besar. Gejala ini umumnya sudah terlihat saat usia anak, remaja, hingga dewasa muda. Jarang gejala awal kleptomania itu baru muncul saat dewasa akhir.
Fokus penderita kleptomania bukanlah pada jenis atau nilai barang yang dicuri, melainkan lebih ke sensasi pencuriannya. Mereka mencuri untuk mencuri, bukan untuk mendapatkan nilai ekonomi. Karena itu, barang yang dicuri umumnya berukuran atau bernilai ekonomi kecil yang mereka sebenarnya sangat mampu untuk membelinya.
Ciri lain orang dengan kleptomania adalah mereka mencuri sendirian, tidak dalam kelompok. Pencurian dilakukan secara sadar, tidak sedang mengalami delusi, halusinasi, atau mania. Pencurian juga tidak dilandasi oleh kemarahan atau balas dendam.
Sebelum mencuri, orang dengan kleptomania akan mengalami peningkatan ketegangan. Saat pencurian dilakukan, muncul rasa senang, puas, dan lega karena berhasil mencuri. Namun, beberapa saat setelah mencuri, mereka merasa bersalah, malu, hingga muncul penyesalan dan menimbulkan depresi.
Tingkat keparahan kleptomania bervariasi. Sebagian penderita mengalami episode kleptomania dalam periode singkat dan sporadis serta periode remisi atau hilangnya gejala dalam waktu yang lama. Ada pula penderita kleptomania yang berulang-ulang, tetapi dengan tetap memiliki periode remisi. Sementara sebagian yang lain mengalami kleptomania kronis alias dalam waktu lama dan mengalami fluktuasi.
Terapi
Orang dengan kleptomania umumnya juga memiliki gangguan jiwa lain, seperti gangguan bipolar, kecemasan dan gangguan makan, terutama bulimia. Mereka juga berisiko mengalami gangguan kepribadian, hingga gangguan penyalahgunaan zat adiktif, khususnya alkohol.
Karena itu, diagnosis kleptomania harus ditegakkan oleh profesional kesehatan jiwa, terutama dokter spesialis kedokteran jiwa atau psikiater dan psikolog. Setelah diagnosis tegak, maka sejumlah perawatan untuk mengurangi gejala atau dorongan mencuri bisa dilakukan, baik melalaui psikoterapi maupun psikofarmakologi.
Konseling dilakukan dengan fokus untuk menangani persoalan psikologis dasar yang memengaruhi penderita kleptomania. Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah pendekatan terapi paling umum yang diberikan untuk mereka. Terapi keengganan (aversion therapy) yang menimbulkan rasa jijik terhadap pencurian yang dilakukan kadang juga digunakan.
Baca juga: Pandemi Masih Panjang, Antisipasi Potensi Psikologis
Sementara untuk pengobatan, umumnya dokter akan meresepkan obat SSRI (selective serotonin reuptake inhihibitor) yang meningkatkan kadar serotonin di otak. Metode psikofarmakologi ini biasanya diberikan untuk mendampingi psikoterapi yang dilakukan.
Sejumlah ahli menilai pemidanaan orang dengan kleptomania tidak akan memberikan efek jera. Karena itu, terapi dan pengobatan dinilai lebih memberikan manfaat dan menghemat biaya daripada harus menghukum orang dengan kleptomania.
”Orang dengan kleptomania berjuang keras untuk mengatasi kondisi tersebut. Meski banyak yang harus dijelaskan tentang kleptomania, intervensi psikofarmakologi dan psikoterapi dapat membantu mereka yang mengalami gangguan tersebut,” kata Saleh.