Tak sedikit tokoh sejarah yang tersisih dari panggung sejarah. Meski ditulis oleh para pemenang, sejarah selalu menemukan jalan menemui siapa saja yang mau mencari kisah pergulatan bangsanya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Panggung sejarah kerap silau dengan nama-nama besar. Padahal, kiprah tokoh-tokoh lain dalam pergolakan masa lalu juga tak kalah penting. Kisah orang-orang di tepi sejarah itu dipanggungkan dalam serial monolog dan ditayangkan secara daring agar tidak redup di era kekinian.
Nama Emiria Soenassa (1895-1964) mungkin masih asing di telinga sebagian orang Indonesia. Referensi tentangnya juga tak banyak. Ia misterius. Namun, kehadirannya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 menjadi catatan penting sehingga namanya tak pantas dilupakan.
KMB adalah momen berharga bagi Indonesia dalam memperjuangkan kedaulatan negara. Melalui konferensi ini, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Kisah Emiria merupakan satu dari lima kisah tokoh sejarah dalam serial monolog Di Tepi Sejarah produksi Titimangsa dan Kawan Kawan Media yang ditayangkan secara daring pada 17-31 Agustus 2022. Keempat figur lainnya adalah Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Cephas, Gombloh, dan Ismail Marzuki.
Serial monolog ini ditayangkan lewat kanal Youtube Budaya Saya dan IndonesianaTV. Produser Kawan Kawan Media, Yulia Evina Bhara, berharap monolog itu memantik diskusi tentang pergulatan tokoh-tokoh sejarah dan memberi pengalaman baru bagi generasi muda, terutama pelajar, dalam belajar sejarah.
”Tujuannya membuka ruang-ruang diskusi mengenai sejarah Indonesia melalui pelaku-pelaku yang belum dikenal atau diketahui sepintas karena panggung sejarah kerap hanya memberi tempat bagi nama-nama besar,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/8/2022).
Di Tepi Sejarah 2022 merupakan penayangan kedua. Yulia mengatakan, penayangan pertama pada 2021 disambut antusias oleh guru-guru dan siswa yang menonton dan membuat resensi kisahnya lalu mendiskusikannya.
Kisah Emiria diangkat dalam monolog Yang Tertinggal di Jakarta yang diperankan penyanyi Dira Sugandi dan naskahnya ditulis Felix K Nesi. Terbatasnya sumber referensi menjadi salah satu kendala utama di luar persoalan teknis terkait pementasan monolog tersebut.
”Selain referensi yang minim, terdapat juga beberapa versi tentang kisahnya (Emiria). Akhirnya, kami memilih dari sumber-sumber yang bisa dipercaya, bukan sebatas dari mulut ke mulut,” ujar Felix.
Felix mengatakan, Emiria juga dikenal sebagai perintis seni rupa Indonesia modern dan pemikir revolusioner. Sebelum aktif melukis pada usia 45 tahun, ia menjadi perawat dan kepala perkebunan.
”Sudah saatnya melihat pekerja seni juga bagian dari pahlawan kita. Pahlawan tidak saja mengangkat senjata, tetapi juga yang bekerja di kesenian untuk memperkuat identitas kebudayaan,” ucapnya.
Memerankan Emiria menjadi pengalaman bermain monolog perdana bagi Dira Sugandi. Jam terbang tinggi menyanyi di atas panggung di dalam dan luar negeri tidak cukup ampuh mengusir kegugupannya.
”Pementasan monolog ini sangat ditakuti. Namun, saya juga suka tantangan. Jadi, saat diajak, tidak bisa menolak,” katanya.
Untuk mendalami perannya, Dira mengaku bermeditasi sebelum pementasan monolog pada awal Juli lalu. Ia berharap monolog itu menghadirkan ruang dialog sekaligus melahirkan beragam perspektif.
”Tidak ada yang benar atau salah. Yang ada hanya interpretasi kita dan mungkin saja berbeda,” ujarnya.
Nama Emiria Soenassa (1895-1964) mungkin masih asing di telinga sebagian orang Indonesia. Referensi tentangnya juga tak banyak. Ia misterius. Namun, kehadirannya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 menjadi catatan penting sehingga namanya tak pantas dilupakan.
Nama fotografer profesional bumiputra pertama, Kassian Cephas (1845-1912), juga kurang populer di tengah perkembangan pesat fotografi sekarang ini. Ia bekerja sebagai juru foto di Keraton Mataram Yogyakarta.
Cephas membuat potret raja, keluarga kerajaan, upacara-upacara keraton, dan aktivitas masyarakat. Dukungan keraton membuatnya bisa mengakses teknologi fotografi pada masanya. Kisah Cephas dipanggungkan dalam monolog Mata Kamera yang diperankan oleh MN Qomaruddin dan naskahnya ditulis oleh Hasta Indriyana.
Pendiri Titimangsa sekaligus produser pementasan Di Tepi Sejarah, Happy Salma, menuturkan, monolog itu tidak hanya menjadi ajang untuk mengenal sosok bersejarah, tetapi juga menjadi ruang belajar bagi semua pihak. Oleh karena itu, pihaknya sangat terbuka menerima perspektif lain mengenai sosok atau kisah yang dipentaskan.
”Senang sekali kalau ada sanggahan, tetapi menjadi sesuatu yang positif dalam ruang diskusi,” ucapnya. Serial monolog Di Tepi Sejarah direncanakan berlanjut tahun depan. Ia berharap monolog dipentaskan di sejumlah daerah serta naskahnya dimainkan di sekolah dan kampus.
Happy menambahkan, penayangan monolog pada Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus untuk menyesuaikan dengan momen kebangsaan ketika masyarakat mengenang jasa para pahlawan. Momen tersebut dinilai tepat untuk menggelar menonton bersama monolog yang mengisahkan kehidupan pahlawan di berbagai bidang.
Medium alternatif
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra mengatakan, monolog tersebut diharapkan menjadi konten edukasi sejarah yang dapat diakses secara daring dari penjuru daerah.
”Dibutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah agar kebudayaan kita semakin maju,” ujarnya.
Menurut Mahendra, serial monolog Di Tepi Sejarah bisa menjadi salah satu medium alternatif itu. Hal ini akan membuka wawasan sejarah guru dan siswa serta memantik diskusi.
Penulis naskah monolog Kacamata Sjafruddin, Ahda Imran, menuturkan, sejarah mempunyai beragam perspektif dengan interpretasi yang tidak selalu sama. Sjafruddin, misalnya, dianggap sebagai penyelamat RI saat berperan menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi pada 1948-1949.
Akan tetapi, Sjafruddin juga dianggap sebagai pengkhianat karena terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). ”Dia kontroversi, dianggap penyelamat sekaligus pengkhianat,” ucapnya.
Ahda mengangkat kisah Sjafruddin di PDRI. Menurut dia, sosok Sjafruddin mengajarkan moral politik dalam mengutamakan kepentingan bangsa.
Penayangan monolog menambah medium dalam mengenalkan sejarah. ”Masalahnya terletak pada distribusinya. Bagaimana memastikan orang-orang di daerah bisa mengaksesnya karena jangkauan internet belum merata,” katanya.
Kekayaan sejarah bangsa perlu dikenalkan kepada generasi muda dengan beragam cara. Namun, tak sedikit sosok yang tersisih dari panggung sejarah. Meski ditulis oleh para pemenang, sejarah selalu menemukan jalan menemui siapa saja yang mau mencari kisah pergulatan bangsanya.