Monolog Menjadi Medium Alternatif Mengenalkan Sejarah
Kekayaan sejarah bangsa perlu dikenalkan kepada generasi muda dengan beragam cara. Pementasan monolog yang ditayangkan secara daring diharapkan menjadi medium alternatif dalam mengenalkan sejarah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan sejarah bangsa perlu dikenalkan kepada generasi muda dengan beragam cara. Pementasan monolog yang ditayangkan secara daring diharapkan menjadi medium alternatif dalam mengenalkan sejarah.
Riwayat lima figur sejarah dalam serial monolog Di Tepi Sejarah produksi Titimangsa dan Kawan Kawan Media akan ditayangkan secara daring pada 17-31 Agustus 2022. Kelima figur itu adalah Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Cephas, Gombloh, Ismail Marzuki, dan Emiria Soenassa.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra mengatakan, monolog tersebut diharapkan menjadi konten edukasi sejarah yang dapat diakses secara daring dari penjuru daerah. ”Dibutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah agar kebudayaan kita semakin maju,” ujarnya dalam konferensi pers ”Di Tepi Sejarah 2022”, di Jakarta, Senin (15/8/2022).
Serial monolog ini akan ditayangkan lewat kanal Youtube Budaya Saya dan IndonesianaTV. Kelima seri monolog itu berjudul ”Kacamata Sjafruddin”, ”Mata Kamera” (menceritakan perjalanan hidup fotografer profesional bumiputra pertama, Kassian Cephas), ”Panggil Aku Gombloh”, ”Senandung di Ujung Revolusi” (kisah Ismail Marzuki), dan ”Yang Tertinggal di Jakarta” (kisah perempuan pelukis, Emiria Soenassa).
“Di Tepi Sejarah menjadi salah satu medium alternatif itu. Hal ini bisa membuka wawasan sejarah guru dan siswa serta membuka ruang diskusi,” katanya.
Pendiri Titimangsa sekaligus produser pementasan Di Tepi Sejarah, Happy Salma, mengatakan, monolog itu tidak hanya menjadi ajang untuk mengenal sosok bersejarah, tetapi juga menjadi ruang belajar bagi semua pihak. Oleh karena itu, pihaknya sangat terbuka menerima perspektif lain mengenai sosok atau kisah yang dipentaskan.
”Senang sekali kalau ada sanggahan, tetapi menjadi sesuatu yang positif dalam ruang diskusi,” ucapnya. Serial monolog Di Tepi Sejarah direncanakan berlanjut tahun depan. Ia berharap monolog dipentaskan di berbagai daerah dan naskahnya dimainkan di sekolah dan kampus.
Happy menambahkan, penayangan monolog pada Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus untuk menyesuaikan dengan momen kebangsaan ketika masyarakat mengenang jasa para pahlawan. Momen tersebut dinilai tepat untuk menggelar menonton bersama monolog yang mengisahkan kehidupan pahlawan di berbagai bidang.
”Sjafruddin dipinggirkan dari sejarah kita dan disebut pengkhianat. Padahal, ia pernah memimpin pemerintahan Indonesia,” katanya.
Di Tepi Sejarah 2022 merupakan penayangan kedua. Produser Kawan Kawan Media, Yulia Evina Bhara, mengatakan, saat penayangan pertama pada 2021, guru-guru yang menonton membuat resensi kisahnya lalu mendiskusikannya. Sementara para murid memperoleh pengalaman baru dalam belajar sejarah.
”Tujuan kami sebetulnya sampai di situ saja, membuka ruang-ruang diskusi mengenai sejarah Indonesia melalui pelaku-pelaku yang belum dikenal atau diketahui sepintas karena panggung sejarah kerap hanya memberi tempat bagi nama-nama besar,” katanya.
Monolog itu tidak hanya menjadi ajang untuk mengenal sosok bersejarah, tetapi juga menjadi ruang belajar bagi semua pihak. Oleh karena itu, pihaknya sangat terbuka menerima perspektif lain mengenai sosok atau kisah yang dipentaskan
Serial monolog Di Tepi Sejarah melibatkan sejumlah kalangan, mulai dari sastrawan, aktor, penulis, penyanyi, hingga jurnalis. Naskah monolog ”Kacamata Sjafruddin”, misalnya ditulis Ahda Imran. Sementara naskah ”Senandung di Ujung Revolusi” ditulis Putu Fajar Arcana dan Agus Noor.
Aktor Lukman Sardi menjadi pemain dalam monolog itu. Adapun monolog ”Yang Tertinggal di Jakarta” ditulis Felix K Nesi dan dimainkan penyanyi Dira Sugandi.
Beragam perspektif
Ahda Imran menuturkan, sejarah mempunyai beragam perspektif dengan interpretasi yang tidak selalu sama. Sjafruddin, misalnya, dianggap sebagai penyelamat RI saat berperan menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi pada 1948-1949.
Akan tetapi, Sjafruddin juga dianggap sebagai pengkhianat karena terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). ”Dia kontroversi, dianggap penyelamat sekaligus pengkhianat,” ucapnya.
Ahda mengangkat kisah Sjafruddin di PDRI. Menurut dia, sosok Sjafruddin mengajarkan moral politik dalam mengutamakan kepentingan bangsa.
”Setelah PDRI berakhir, dia mengembalikan mandat kekuasaan kepada Soekarno dan (Mohammad) Hatta. Dia berbesar hati melakukannya. Moral politik seperti itu yang sudah langka saat sekarang,” katanya.
Menurut Ahda, kisah Sjafruddin dari kacamata PRRI juga menarik diulik menjadi naskah monolog. Begitu juga jika ada tulisan versi lain dari sudut pandang PDRI sehingga memperkaya sejarahnya.
”Sejarah itu perbincangan yang tidak akan pernah berhenti. Kalau ada interpretasi lain, ini akan membuat kisahnya lebih lengkap. Kedua momentum (PRRI dan PDRI) sangat relevan untuk zaman sekarang,” ujarnya.
Serial monolog ini menghadirkan tantangan berbeda, baik bagi penulis naskah, sutradara, maupun pemainnya. Felix K Nesi, misalnya, cukup kesulitan mendapatkan referensi tentang Emiria Soenassa.
”Selain referensi yang minim, juga terdapat beberapa versi tentang kisahnya. Akhirnya kami memilih dari sumber-sumber yang bisa dipercaya, bukan sebatas dari mulut ke mulut,” ucapnya.