Organisasi Profesi Kedokteran Desak Pemerintah Segera Merevisi PP No 109/2012
Kondisi darurat akibat dampak buruk rokok di Indonesia belum diimbangi dengan ketegasan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok. Organisasi profesi kesehatan pun mendesak adanya penguatan regulasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi profesi kedokteran mendesak pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Hal itu berdasar pada dampak buruk akibat konsumsi rokok konvensional dan rokok elektronik yang semakin nyata di masyarakat. Tanpa ada regulasi yang tegas, ancaman rokok pada masyarakat sulit dicegah.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi di Jakarta, Jumat (12/8/2022) mengatakan, komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat masih lemah. Padahal, pemerintah di negara lain sudah sejak lama sangat progresif melakukan pengendalian konsumsi produk dengan zat adiktif seperti rokok.
”Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok. Sampai saat ini pun Indonesia juga belum menandatangani FCTC (Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO). Tugas kita bersama, termasuk negara untuk melindungi rakyat tidak hanya untuk kepentingan saat ini, tapi di masa depan,” katanya.
Adib menuturkan, pengendalian konsumsi rokok harus dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir. Upaya pengendalian pun perlu ditekankan di sisi hulu. Jika saat ini pemerintah hanya menyiapkan dampak pengendalian konsumsi rokok pada sisi hilir, yakni dengan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, itu tidak akan efektif. Beban kesehatan akan semakin tinggi. Sumber daya manusia di Indonesia pun kian tidak berkualitas.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menambahkan, dampak konsumsi rokok pada anak harus menjadi perhatian lebih dari berbagai pihak. Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun pada 2018 mencapai 9,10 persen. Angka itu naik dari sebelumnya 8,80 persen pada 2016 dan 7,20 persen pada 2013.
”Kondisi saat ini sudah darurat. Dengan jumlah anak 0-18 tahun di Indonesia yang kira-kira 90 juta anak maka melihat prevalensi perokok anak yang sudah 9,1 persen artinya jumlah perokok anak di Indonesia sangat besar. Mau seperti apa generasi kita di masa depan?” ujarnya.
Menurut Piprim, kondisi ironi ketika pemerintah saat ini tengah gencar menekan angka tengkes (stunting), sedangkan tidak ada upaya tegas untuk mengendalikan konsumsi rokok. Tingginya belanja rokok di masyarakat membuat proporsi belanja keluarga untuk makanan bergizi bagi anak menjadi berkurang.
Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok. Sampai saat ini pun Indonesia juga belum menandatangani FCTC (Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO). (Adib Khumaidi)
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Radityo Prakoso menyampaikan, berbagai riset ilmiah telah membuktikan bahwa rokok memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Itu berlaku untuk rokok konvensional ataupun rokok elektronik. Merokok telah terbukti menjadi kontributor utama terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kandungan rokok juga telah terbukti dapat menyebabkan gangguan irama jantung. Ibu hamil yang terpapar asap rokok berisiko mengalami gangguan kehamilan. Anak yang dilahirkan pun berisiko mengalami penyakit bawaan, seperti penyakit jantung bawaan.
Ia berpendapat, kondisi saat ini sudah amat miris karena tidak sedikit masyarakat yang menganggap kebiasaan merokok merupakan hal yang wajar. Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada 2019 dalam The Tobacco Control Atlas ASEAN Region, Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asia Tenggara, yakni 65,19 juta orang.
Revisi aturan
Radityo mengatakan, upaya yang sudah berjalan kini belum mampu menekan angka perokok di Indonesia. Dibutuhkan sistem kesehatan nasional yang dapat secara efektif mengendalikan konsumsi rokok, terutama pada populasi anak dan remaja.
”Diperlukan peraturan yang tegas, bukan hanya lagi kata-kata untuk mengubah perilaku masyarakat secara total. Karena itu, revisi PP (peraturan pemerintah) Nomor 109 Tahun 2012 harus segera dilakukan,” ujar dia.
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dinilai perlu segera direvisi karena aturan tersebut sudah tidak relevan untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat. Setidaknya ada lima hal utama yang perlu diatur dalam revisi kebijakan tersebut, yakni memperluas peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, melarang iklan rokok yang menyeluruh termasuk di media sosial, melarang penjualan produk tembakau kepada anak, melarang penjualan rokok secara eceran, serta mengatur penjualan rokok elektronik.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) Sally Aman Nasution menuturkan, situasi darurat rokok di Indonesia semakin memperkuat desakan organisasi profesi kesehatankepada pemerintah untuk segera menyelesaikan revisi PP No 109/2012. Beban penyakit terkait konsumsi rokok yang mengancam seluruh siklus hidup manusia semakin besar.
Setidaknya, terdapat enam organisasi profesi kesehatan yang telah berkomitmen mendukung percepatan revisi PP No 109/2012. Organisasi tersebut meliputi, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Kardiovaskular Indonesia, dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
”Kami (organisasi profesi kesehatan) sepenuhnya mendukung revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 agar lebih kuat dan tegas demi melindungi masyarakat dari bahaya produk yang mengandung zat adiktif nikotin, baik berupa rokok konvensional maupun rokok elektronik,” katanya.