Kebijakan BRIN membebaskan peneliti untuk memilih tempat kerja menjadi buah simalakama. Para peneliti meninggalkan daerah yang membutuhkan mereka, menyebabkan terjadinya ”brain drain”, sebagaimana terjadi di Papua.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Setelah hampir dua tahun petani di Kelompok Tani Karya Tani, Kampung Nawa Mulya, Distrik Yapsi, Kabupaten Jayapura, Papua, belajar membuat bibit kakao unggul dengan bimbingan para peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua, tiba-tiba mereka ditinggalkan. Para petani itu kini harus berjuang sendiri untuk mengurus kebun benih dan kebun entres itu karena para peneliti telah pulang kampung, rata-rata ke Jawa, untuk bergabung dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
”Sekarang mimpi kami punya bibit kakao unggul jadi sulit rasanya. Su trada (sudah tidak ada) lagi peneliti yang mendampingi. Mereka pulang ke Jawa. Kami coba-coba saja sendiri,” kata Kusnan (48), anggota Kelompok Tani Karya Tani.
Menurut Kusnan, penyakit vascular streak dieback (VSD) selama beberapa tahun terakhir menjadi momok bagi petani kakao di Jayapura. Penyakit tanaman yang disebabkan jamur Oncobasidium theobromae ini bisa menurunkan produksi kakao hingga 50 persen, bahkan tak jarang mematikan tanaman.
Peneliti yang di Ambon, hanya akan menjadi penonton? Bukankah ini menjadi Jawa-sentris?
”Sejak 2019, kami didampingi BPTP Papua untuk mengatasi VSD ini, salah satunya dengan mengembangkan klon tanaman yang lebih tahan penyakit, yaitu MCC 02 (Masamba Cocoa Clone 02). Harusnya tahun depan mulai pemuliaan sehingga kami sudah bisa gunakan jadi bibit,” kata Kusnan.
Ia menyayangkan terhentinya program pendampingan kepada petani oleh para peneliti. ”Padahal, salah satu penelitinya itu doktor lulusan luar negeri yang memang sangat ahli dan kami hormati. Kami belajar banyak, tapi ibarat belum lulus sudah ditinggalkan,” katanya.
Kepala BPTP Papua Martina Sri Lestari mengatakan, lembaganya dalam proses dilikuidasi dan sebagian besar penelitinya bergabung dengan BRIN sehingga program riset dan pendampingan ke masyarakat terhenti.
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021, semua lembaga penelitian di bawah kementerian dan lembaga, termasuk BPTP Papua yang berada di bawah Badan Litbang Kementerian Pertanian, dilebur ke dalam BRIN.
”Dari 13 peneliti BPTP Papua, 11 orang sudah bergabung dengan BRIN, dan 7 di antaranya keluar dari Papua. Kebijakan di BRIN peneliti boleh memilih tinggal di mana saja, jadi yang di Papua tinggal 4 orang,” katanya.
Martina mengaku sedih, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. ”Kalau di BPTP, riset ditujukan untuk menjawab persoalan dan mendukung kebijakan. Selain peneliti ada juga penyuluh, jadi riset bisa diimplementasikan langsung kepada petani,” katanya.
Menurut Martina, selain meningkatkan produksi petani, BPTP juga dituntut mengembangkan teknologi pengolahan pangan. ”Beberapa tahun terakhir, kami mendampingi para petani untuk mengembangkan pangan lokal, seperti sagu, ubi jalar, dan gembili. Salah satu hasilnya, kami telah melepas varietas ubi jalar Papua Salosa dan Papua Patipi, yang sudah banyak dipakai petani di Wamena,” katanya.
Martina memilih tetap bertahan di Kementerian Pertanian walaupun harus melepaskan status sebagai peneliti. Sekalipun Badan Litbang Kementerian Pertanian telah dilebur ke dalam BRIN, dia berharap nantinya bisa bertransformasi untuk membantu memecahkan berbagai masalah di masyarakat, khususnya terkait persoalan pangan dan pertanian.
Kepergian para peneliti juga disampaikan Kepala BPTP Papua Barat Aser Rouw. Dari 13 peneliti, hanya tersisa empat orang yang masih bertahan di Papua Barat.
”BRIN tidak menyediakan CWS (coworking space/ruang kerja bersama) di Papua Barat. Setahu saya hanya ada satu CWS di Jayapura sehingga sebagian besar peneliti eks BPTP Papua Barat, terutama yang asalnya luar pulau, memilih pulang kampung,” katanya.
Menurut Aser, integrasi BPTP ke BRIN yang diikuti kepergian para peneliti merugikan masyarakat di Papua Barat. ”Saya hanya berharap, masyarakat yang jauh dari pusat seperti di Papua Barat ini tidak ditinggalkan. Masyarakat membutuhkan riset dan peneliti untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, terutama terkait pangan dan pertanian,” katanya.
Pemusatan fasilitas
Sistem kerja melalui CWS dan kebebasan peneliti BRIN memilih tempat kerja telah disampaikan berulang kali oleh pimpinan BRIN. Sekretaris Utama BRIN Nur Tri Aries Suestiningtyas, dalam sosialisasi tindak lanjut penetapan surat keputusan pengalihan pegawai dari 28 kementerian/lembaga ke BRIN secara daring, Kamis (30/12/2021), menyebutkan, hal ini dilakukan agar BRIN menjadi organisasi yang lincah karena sebagian besar layanannya dilakukan secara daring.
Melalui sistem kerja ini, menurut Nur, peneliti BRIN bisa bekerja di CWS yang disediakan BRIN di sejumlah lokasi atau bahkan bekerja dari rumah. Basisnya adalah output, dalam hal ini karya tulis ilmiah.
Faktanya, kekosongan peneliti dialami daerah. Selain di BPTP, para peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Biomedis Papua, sebelumnya di bawah Kementerian Kesehatan, juga ramai-ramai meninggalkan Papua. Dari 11 orang peneliti di balai ini, hanya dua orang yang bertahan di Papua. Sebanyak sembilan orang lainnya yang bergabung dengan BRIN meninggalkan Papua.
”Di Papua banyak masalah terkait kesehatan yang perlu penelitian dan pendampingan. Namun, karena di BRIN dibebaskan memilih home base, ini jadi kesempatan untuk pulang kampung,” kata salah satu peneliti, eks-Balitbang Papua, yang meminta namanya tidak disebut.
Tak semua peneliti sebenarnya ingin meninggalkan daerah riset mereka di luar Jawa. Namun, pemusatan peralatan dan fasilitas penelitian telah menyulitkan peneliti yang ingin bertahan di daerah.
Hal ini, misalnya, dialami para peneliti di Pusat Riset Laut Dalam, BRIN di Ambon, Maluku. Sebelumnya, lembaga riset ini di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan menjadi pusat riset yang dilengkapi sejumlah fasilitas riset.
Menurut penuturan salah satu peneliti BRIN, yang meminta namanya tidak disebutkan, pada tahun 2021 telah direncanakan pembangunan laboratorium khusus untuk memperkuat pusat riset laut dalam satu-satunya di Indonesia ini. Namun setelah bergabung dengan BRIN, rencana ini tiba-tiba dihentikan.
”Dalam salah satu apel pagi, tiba-tiba Kepala BRIN mengumumkan home base para peneliti laut dalam harus pindah ke Jakarta, bergabung dengan di Ancol,” katanya.
Kepindahaan home base ini membuat peralatan dan fasilitas pendukung riset juga ditarik ke Jakarta. ”Padahal dari awal, dari 11 peneliti di Pusat Riset Laut Dalam telah memutuskan bertahan di Ambon agar lebih dekat dengan wilayah penelitian,” katanya.
Pemusatan fasilitas riset ini pada akhirnya mengganggu para peneliti yang masih bertahan di Ambon. ”Misalnya, kalau mau isolasi bakteri, sesuatu yang sangat dasar dalam penelitian di laut dalam ini, terpaksa harus dilakukan di Ancol? Sebaliknya, kalau peneliti pindah ke Jakarta, untuk mengakses lokasi penelitian di area laut dalam seperti di Ambon tentu tidak mudah, apalagi dana riset juga terbatas,” katanya.
Secara teori, peneliti dari Jakarta bisa mengambil sampel di perairan sekitar Maluku dan kemudian kembali ke Jakarta. ”Lalu, peneliti yang di Ambon, hanya akan menjadi penonton? Bukankah ini menjadi Jawa-sentris?” katanya.
Selain memicu terjadinya brain drain dari daerah, pemusatan riset bisa menjauhkan peneliti dari lapangan dan juga masyarakat yang membutuhkan pendampingan mereka. Hal ini juga bisa menghambat pemerataan riset di daerah-daerah.