Mendaki Jalan Menuju Pendidikan Berkualitas dengan Tidak Muluk-muluk
Sistem pendidikan Indonesia harus berani fokus pada hal esensial dan tidak muluk-muluk. Semua aktor harus punya tujuan sama dan selaras bergerak untuk menguatkan fondasi belajar siswa.
Perjalanan sistem pendidikan Indonesia sejak kurun 1970-an yang berfokus meningkatkan akses dan partisipasi kini diarahkan untuk meningkatkan keterampilan dasar siswa agar menguasai keterampilan lebih lanjut. Tanpa berani fokus pada hal esensial dan tak muluk-muluk, sistem pendidikan saat ini belum mampu membawa Indonesia untuk naik ke level berikutnya.
Lama belajar siswa di kelas dan tingkat kehadiran guru tinggi di sekolah belum menjamin terjadi proses belajar bermutu yang membuat siswa paham hal-hal dasar sejak jenjang pendidikan dasar.
Berbagai riset menunjukkan penguasaan siswa Indonesia rendah pada literasi dan numerasi, terjadi di tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Bahkan, makin tinggi tingkat kelas, terjadi penurunan kemampuan menjawab soal-soal yang sudah dipelajari di kelas bawah.
Realitas itu bisa dipahami, kata Dhitta Puti Sarasvati dari Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas yang mendampingi para guru SD untuk terampil mengajar Matematika dan membaca, karena siswa tak benar-benar belajar. Belajar Matematika tidak belajar bernalar, sedangkan pelajaran membaca atau Bahasa Indonesia, misalnya, tapi tidak belajar memaknai.
Hal itu terjadi karena guru tidak menguasai kompetensi dasar pengetahuan konten pedagogi. Dari pendampingan guru melalui program Gerakan Pemberantasan Buta Matematika dan Gerakan Memberantas Buta Membaca, didapati banyak guru belum pernah mempelajari hal itu.
Baca juga : Mengapa Kurikulum Merdeka
Pendampingan guru SD untuk dapat mengajarkan Matematika dengan mengajak mereka belajar ulang cara mengajarkan prinsip Matematika yakni bilangan, geometri, pengukuran, probabilitas/statistika, dan asesmen. Adapun untuk membaca adalah menjadi pembaca aktif, membaca dasar, dan membaca bermakna. Pelatihan sekitar sekitar 36 jam.
”Dari hasil studi yang akan kami rilis tentang pelatihan matematika, lebih dari 50 persen berfokus pada pembuatan media belajar. Adapun pelatihan pada pedagogi kurang dari dua persen. Masuk akal jika guru sulit mengajar matematika dan membaca,” kata Dhitta.
Saat ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjalankan tranformasi pendidikan untuk membenahi proses belajar bermutu di ruang kelas dan sekolah. Kebijakan Merdeka Belajar dengan banyak episodenya jadi sentral, termasuk yang kini diyakini mengatasi krisis pembelajaran yang sudah lama terjadi melalui penerapan Kurikulum Merdeka.
Namun, dari berbagai kajian program Research on Improving System of Education (RISE) di Indonesia selama lima tahun terakhir yang disajikan di acara lokakarya RISE bertajuk ”Lawan Krisis Pembelajaran Tingkatkan Kemampuan Dasar Siswa”, di Jakarta, Selasa (2/8/2022), harus mulai ada tujuan baru bersama. Tujuannya, agar sistem pendidikan Indonesia jadi arah memperkuat sumber daya manusia yang relevan dengan kepentingan bangsa.
Pendidikan Indonesia harus mulai cepat mendaki tapi selaras untuk memastikan semua anak Indonesia yang lulus dari sistem pendidikan menguasai keterampilan dasar literasi dan numerasi. Dengan demikian, lulusan mampu menguasai kecakapan belajar selanjutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi.
Pemerhati pendidikan Darmaningtyas yang meluncurkan kembali tulisannya tentang kondisi pendidikan Indonesia di masa reformasi hingga tahun 2022 dalam buku berjudul Pendidikan Rusak-rusakan (Edisi Revisi) menuturkan pendidikan Indonesia belum mengarah pada cita-cita konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, pascareformasi pendidikan dinilai rusak-rusakan akibat komersialisasi, liberalisasi, dan politisasi pendidikan di daerah.
”Otonomi daerah yang diharapkan jadi jembatan untuk mempercepat pemerataan, kenyataannya justru menciptakan kesenjangan. Ada pemda yang berkomitmen kuat pada kemajuan pendidikan di daerahnya dan ada yang tidak. Kesenjangan pendidikan makin lebar, kebijakan masih tidak adil untuk memastikan pendidikan berkulitas bagi semua anak bangsa tanpa terkecuali,” kata Darmaningtyas.
Baca juga: Inovasi Kurikulum Merdeka
Direktur Riset Program RISE Profesor Lant Pritchett memberikan panduan untuk membuat jalan mendaki pendidikan Indonesia saat ini menuju pendidikan berkualitas dengan melakukan lima aksi. ”Meskipun lima aksi ini lazim diketahui, sering tidak dilakukan dalam sistem pendidikan dan menuntut perubahan yang mendalam untuk mencapai dan mengimplementasikannya,” kata Lant.
Lima aksi tersebut meliputi berkomitmen pada fondasi belajar sebagai tujuan untuk melengkapi anak-anak kemampuan yang mereka butuhkan; mengukur pembelajaran untuk memberi umpan balik pada pembelajaran sehingga tahu kemajuannya; menyelaraskan sistem; mendukung pengajaran; serta mengadaptasi kebijakan dan praktik guna mencapai kemajuan berkelanjutan sesuai konteks lokal.
Lant menjelaskan, di Indonesia, negara luas dengan 514 kota/kabupten, pendekatan adaptif sangat penting agar sesuai kondisi lokal. Riset RISE menunjukkan, Indonesia berusaha menemukan inovasi pendidikan yang bisa diadaptasi dengan baik sesuai kondisi lokal agar mampu menghadapi gunung tinggi dan ketidakpastian di depan.
”Seperti besi dan magnet, perlu menyelaraskan molekul. Kalau ke arah sama bisa mencapai hal yang luar biasa,” kata Lant.
Peneliti RISE Emilie Berkhout Tantangan menambahkan, membangun fondasi belajar sangat penting karena literasi dan numerasi sebagai prasayart untuk mempelajari kompetensi lebih lanjut. Penguasaan belajar fondasional itu emncakup prosedur dan memahami konseptual.
”Untuk menguasai kemampuan belajar fondasi butuh banyak pengulangan dan waktu. Namun, di Kurikulum 2013, siswa saja sudah diharapkan bisa membaca dan menghitung. Padahal, hanya sepertiga anak usia 3-6 tahun masuk pendidikan anak usia dini (PAUD). Jadi tidak jelas di mana mereka belajar sehingga mereka tertinggal dari kurikulum,” kata Emilie.
Belajar dari perjalanan bangsa
Peneliti RISE Niken Rarasati Rasti memaparkan, ketika Indonesia hendak mulai menuju pendidikan bermutu yang fokus pada penguasaan keterampilan dasar siswa, sebenarnya Indonesia bisa belajar dari perjalanan panjang bangsa ini.
Pada tahun 1970-an, ada tujuan bersama meningkatkan akses dan partisipasi. Semua elemen bangsa bergerak ke arah sana, dari pemerintah, organisasi, garda terdepan, guru/sekolah, dan siswa/masyarakat. Hasilnya, akses dan partisipasi pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah meningkat.
Baca juga: Membuka Tabir Kurikulum Merdeka
”Sekarang dari penelitian RISE, Indonesia mendaki gunung untuk menuju penguasaan keterampilan dasar bagi semua anak yang masuk sistem pendidikan. Banyak hal perlu diselaraskan untuk mencapai tujuan, tapi ada tiga hal yakni siapa yang berperan menyelaraskan, relasi antaraaktor, dan apakah relasi antaraktor sejalan,” kata Niken.
Data Pendidikan Nasional (PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, SLB) Infografik
Aktor yang mendukung sistem pendidikan adalah pemerintah (politisi dan pengambil kebijakan), organisasi (lembaga pendidik dan tenaga kependidikan /LPTK), garda terdepan (pelatih guru) guru, sekolah, siswa, dan masyarakat.
Indonesia mendaki gunung untuk menuju penguasaan keterampilan dasar bagi semua anak yang masuk sistem pendidikan.
Belajar dari tahun 1970-an yang sukses meningkatkan akses dan partisipasi, semua elemen ini selaras. Pemerintah menetapkan tujuan, LPTK menyiapkan pendidikan guru yang cepat dari Sekolah Pendidikan Guru sehingga tersedia banyak guru. Para pelatih guru menyiapkan guru dengan cepat sehingga siap disebar untuk mengajar ke penjuru negeri.
Sekolah dan guru pun mendukung. Sementara para siswa dan masyarakat memahami apa yang menjadi tujuan pemerintah sehingga ketika butuh pergi ke sekolah sudah mulai tidak menjadi masalah serius.
”Semua elemen bekerja untuk tujuan yang sama bahwa negara ini butuh kemudahan bagi anak-anak untuk pergi ke sekolah. Lama belajar anak-anak Indonesia terus meningkat, pendidikan dasar semakin kuat, lalu ke pendidikan menengah,” kata Niken.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya untuk mencapai kualitas pendidikan. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, tetap ada ketidakselarasan antara tujuan yang ditetapkan dengan berjalannya sistem dari semua aktor yang berdampak pada perubahan untuk mencapai tujuan pendidikan berkualitas.
Niken menggambarkan situasi tidak selaras tersebut. Suara ke pemerintah menyampaikan masalah kesejahteraan dan jaminan kelangsungan kerja, serta guru muda butuh pendampingan mengajar. Mimpi pemerintah menyelesaikan krisis pembelajaran, salah satunya dengan meningkatkan kualitas guru.
Pemerintah mendapat dukungan LPTK yang hendak mencetak guru handal dan menguasai empat kompetensi guru (pedagogi, profesional, sosial, dan kepribadian). Namun, keinginan ini dinilai ambisius karena semua aspek hendak ditingkatkan
Ketika disampaikan pada pelatih guru, yang dikerjakan malah pelatihan berbasis subyek mata pelajaran, bukan kompetensi pedagogi guru.
Sementara untuk guru, sekolah, siswa, dan orangtua juga tidak selaras. Siswa dan ornagtua ingin pendidikan menyiapkan penguasaan komeptensi sehingga mampu bersaing di dunia kerja. Keterlibatan orangtua sebenarnya bisa mendukung guru dan sekolah jika selaras.
“ Namun, guru/sekolah bukan menyiapkan kompetensi yang dibutuhkan siswa untuk berkembang dan menguasai kecakapan lebih lanjut, tapi justru menyelesaikan materi kurikulum, karena yang dilatihkan pada mereka berbasis mata pelajaran,” kata Niken.
Jika fokus disempitkan pada kecakapan belajar dasar , pemerintah akan jadi fokus membekali seluruh siswa yang lulus dari sistem pendidikan negara ini untuk mempunyai keterampilan fondasi. Kemudian mandat tersebut disampaikan pada aktor lain agar sejalan.
“Namun, menyelaraskan sistem yang fokus pada hal mendasar bukan hal mudah. Butuh perubahan tiap aktor dan semua aktor secara koheren. Tidak cukup dengan mengukur pembelajaran dan menyesuaikan pembelajaran dengan kemampuan siswa lewat Asesmen Kompetensi Minimum sebagai instrumen yang baik. Butuh kerja sama semua aktor, mimpi dan tujuan disatukan secara koheren,” kata Niken.