Yang lebih penting di saat krisis pembelajaran dan ”learning loss” adalah upaya penyesuaian dan menciptakan pembelajaran yang hilang, bukan menyeragamkan masalah pendidikan dengan satu aplikasi mengajar.
Oleh
IMAN ZANATUL HAERI
·5 menit baca
Menurut dokumen ”Kajian Akademik Kurikulum Pemulihan untuk Pembelajaran”, dua hal yang menjadi dasar perubahan kurikulum adalah krisis pembelajaran dan learning loss atau hilangnya kesempatan belajar selama pandemi Covid-19 (Anggraena dan kawan-kawan, 2022). Ukuran krisis pembelajaran yang dipakai Kemendikbudristek adalah skor Programme International Student Assessment (PISA) anak Indonesia yang terus menurun. Padahal, model format PISA sudah banyak dikritik berbagai kalangan pendidikan.
Pasi Sahlberg yang memperkenalkan pemikiran finnish lessons menyebut beberapa masalah PISA. Pertama, PISA memberi dampak negatif terhadap sistem sekolah. Kedua, hal itu menyebabkan penekanan untuk mengejar standar literasi-numerasi yang ditetapkan lembaga penyelenggara PISA, yaitu Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Apalagi, OECD memiliki bias ekonomi karena merupakan aliansi perusahaan yang mencari peluang ekonomi dalam dunia pendidikan (Sahlberg, 2015). Bias ekonomi ini bertujuan untuk menyeragamkan produk pendidikan sehingga mendorong standardisasi secara global. Dr Yong Zhao dari Fakultas Pendidikan di Universitas Oregon menyebut PISA sebagai pandangan monolitik terhadap dunia pendidikan (Zhao, 2019).
Istilah learning loss juga patut dipertanyakan. Misal, salah satu indikator learning loss adalah naiknya angka putus sekolah. Faktanya, angka putus sekolah tingkat SD sampai dengan SMA tahun 2018-2019 mencapai 301.127 siswa, sedangkan tahun 2019-2020 lebih rendah, yaitu 157.166 siswa. (Statistik, Kemendikbud; Kertas Posisi KSAI, 2021). Artinya tren putus sekolah sebenarnya menurun selama pandemi Covid-19.
Selain itu, istilah learning loss dipopulerkan kajian Mckinsey (Dorn, 2020), lembaga konsultan bisnis yang didukung oleh Bank Dunia untuk melihat dampak kerugian Indonesia karena siswa tidak belajar (Noah, 2020). Lebih jauh sejak 1996, Istilah ini pada awalnya berasal dari summer learning loss, yaitu berhentinya kegiatan belajar mengajar (KBM) karena libur musim panas di Amerika Serikat. Merujuk pada kedua definisi ini, tidak ada yang mengajukan opsi perubahan kurikulum sebagai jawaban.
Justru yang lebih penting di saat krisis pembelajaran dan learning loss adalah upaya penyesuaian dan menciptakan pembelajaran yang hilang. Bukan malah menyeragamkan masalah pendidikan dengan satu aplikasi mengajar yang belum tentu memerdekakan.
Datakrasi pendidikan
Laporan Bank Dunia mengenai masa depan perusahaan teknologi digital (edtech) di Indonesia juga menilai Kemendikbudristek tidak memberikan kedudukan yang jelas terhadap layanan pembelajaran digital swasta. Namun, Bank Dunia mencatat bahwa ada antusias signifikan dari Kemendikbudristek untuk memasukkan produk dan layanan edtech ke dalam sistem pendidikan di Indonesia (Bhardwaj & Yarrow, 2020).
Dengan terintegrasinya seluruh data sekolah, guru, siswa, kegiatan belajar dan mengajar dalam platform Merdeka Mengajar, maka akan terjadi pemusatan sistem data pendidikan. Dengan jumlah lebih dari 500.000 sekolah, 2,6 juta guru, dan 45,21 juta siswa, Indonesia adalah pasar edtech paling menjanjikan.
Dengan terintegrasinya seluruh data sekolah, guru, siswa, kegiatan belajar dan mengajar dalam platform Merdeka Mengajar, maka akan terjadi pemusatan sistem data pendidikan.
Jika benar edtech akan mengambil porsi layanan dalam sistem pendidikan, maka platform Merdeka Mengajar hanya menjadi tempat broker data pendidikan. Potensi ini bernilai tiga kali lipat pengguna Twitter di Tanah Air (Katadata, 2021). Sayangnya, situasi ini tidak berhubungan dengan kepentingan pendidikan nasional dan upaya meningkatkan kualitas guru yang selama ini digembor-gemborkan.
Misal, berkaca pada laman ”Guru Berbagi” dari Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek. Semua guru bisa mengunggah (upload) semua jenis dokumentasi pembelajaran pada laman tersebut, baik rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP), langkah-langkah, model, metode, maupun tulisan. Namun, tidak ada format seleksi atau penilaian kelayakan, serta uji redaktur sehingga apa pun konten yang diunggah bisa diterbitkan.
Penulis sering kali menemukan berbagai konten pembelajaran pada laman tersebut yang terbit tanpa editorial dan pengawasan sehingga sulit membedakan antara produk guru yang berkualitas dan produk asal jadi. Tentu, bagaimanapun aplikasi semacam itu akan membantu guru. Dengan syarat, teknologi yang dipakai dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Namun, semangat pemusatan data yang asal-asalan bisa menghambat pembelajaran.
Menutupi kegagalan
Jika benar premis Kurikulum Merdeka merujuk pada saran studi Pritchett dan Beatty (2015) bahwa materi padat menghambat pembelajaran, maka pergantian kurikulum jelas bukan jawaban. Merujuk pada penelitian yang sama, bukankah percepatan dalam penerapan kurikulum ini bertentangan dengan tesis studi tersebut bahwa ”kurikulum yang bergerak lebih cepat malah membuat pembelajaran semakin dangkal”?
Jika dihitung dengan jelas, dari tiga kurikulum yang diterbitkan dua di antaranya berasal dari K13 (K13 penuh dan Kurikulum Darurat). Porsi untuk K13 menunjukkan keadaan sesungguhnya bahwa K13 lebih layak dijalankan. Tentu akhirnya kita menyadari porsi kecil bagi Kurikulum Merdeka adalah sinyalemen besarnya potensi kegagalan.
Umum kita temui bahwa sekolah yang menjalankan program sekolah penggerak atau sedang melaksanakan Kurikulum Merdeka adalah sekolah yang pada masa lalu mendapatkan julukan ’unggul’ dan ’favorit’.
Padahal, Kurikulum Merdeka sedemikian rupa diterapkan pada sekolah yang sudah disesuaikan. Umum kita temui bahwa sekolah yang menjalankan program sekolah penggerak atau sedang melaksanakan Kurikulum Merdeka adalah sekolah yang pada masa lalu mendapatkan julukan ”unggul” dan ”favorit”. Lantas, mengapa Kemendikbudristek tidak berani membandingkan langsung Kurikulum Merdeka yang sudah dicoba pada 2.449 sekolah dengan sekolah-sekolah yang memakai K13?
Bukankah perbandingan langsung ini akan menunjukan keunggulan kurikulum merdeka yang selama ini dikampanyekan? Jika hal semacam ini saja tidak dilakukan, dari mana kita mendapatkan jaminan bahwa Kurikulum Merdeka layak dilanjutkan? Atau jangan-jangan Kurikulum Merdeka memiliki banyak keterbatasan untuk diterapkan secara masal yang menjadi indikasi kurikulum ini tidak layak diberlakukan secara nasional.
Kita tidak bisa menanggung lebih banyak kegagalan dari ambisi bahwa perubahan sistemik adalah solusi krisis belajar yang argumennya telah dipatahkan.
Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru; Facebook: Iman Zanatul Haeri; Twiter: @zanatul_91; Instagram: zanatul_91