Pembangunan Menyeluruh Berangkat dari Kehidupan Sosial Budaya
Penerbit Buku Kompas meluncurkan buku ”Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosietal” karya Paulus Wirutomo. Buku ini menawarkan pendekatan pembangunan yang holistik.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan yang dilakukan di Indonesia dinilai masih sektoral. Pembangunan didorong agar menyeluruh dengan menjadikan kehidupan sosial dan budaya masyarakat sebagai titik tolaknya. Pembangunan juga agar dilakukan dengan pendekatan struktur, kultur, dan proses.
Hal ini mengemuka pada peluncuran buku Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Sosietal karya Paulus Wirutomo, guru besar purnabakti di bidang ilmu sosiologi Universitas Indonesia. Peluncuran buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini dilakukan secara daring dan luring di UI, Depok, Selasa (2/8/2022).
Peluncuran buku dilanjutkan dengan diskusi. Sejumlah orang hadir untuk menyampaikan pandangannya terhadap buku ini, antara lain Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas Subandi; serta Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Andi Widjajanto.
Paulus mengatakan, pembangunan yang berlangsung selama 80 tahun terakhir berorientasi ke pertumbuhan. Hal ini menyebabkan kesenjangan ekonomi dan kekuasaan di masyarakat sehingga menimbulkan sejumlah masalah sosial. Akibatnya, kualitas kehidupan sosial budaya turun.
”Untuk meningkatkan kehidupan sosial budaya, kita harus mengganti pendekatan pembangunan. Tidak lagi sektoral, tetapi lebih sistemik-holistik atau disebut sosietal,” ucap Paulus.
Pembangunan sosial, menurut dia, selama ini diartikan sebagai pembangunan yang tidak menghasilkan uang. Produk pembangunan sosial antara lain pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pembangunan sosial dipandang sebagai salah satu sektor dari sekian banyak sektor pembangunan lain.
Kehidupan sosial semestinya diletakkan sebagai dasar pembangunan yang setara dengan sektor-sektor lain, misalnya sektor ekonomi, lingkungan, agama, kesehatan, dan hukum. Dengan demikian, pembangunan negara sesuai dengan apa yang dicita-citakan masyarakat.
Indikator pembangunan sosietal pun mesti disesuaikan. Paulus mengusulkan indikator struktur, kultur, dan proses (SKP). Aspek struktural mencerminkan hubungan kekuasaan di masyarakat, seperti kebijakan dan regulasi. Aspek kultural antara lain sistem nilai, norma, kepercayaan, dan gaya hidup. Sementara itu, Aspek prosesual mencerminkan di antaranya dinamika interaksi sosial.
Menurut Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Brigjen Polisi Bakharuddin Muhammad Syah, buku ini dapat menjadi pedoman bagi kepolisian untuk memahami dan menyikapi kondisi sosial masyarakat. Ia mencontohkan, jika suatu daerah mengeluarkan kebijakan pengembangan wilayah untuk kawasan wisata, polisi mesti bersiap dengan potensi gangguan keamanan. Ini karena penataan wilayah bisa mengubah aktivitas spasial masyarakat.
”Buku ini tidak hanya memahami polisi memahami duduk persoalan sebenarnya. Dengan pendekatan struktur, kultur, dan proses, polisi di lapangan bisa mendapat panduan untuk menangani dan memecahkan masalah sosial,” katanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Femmy Eka Kartika, kajian sosiologis dengan pendekatan SKP pernah dilakukan untuk mengkaji pembangunan SDM di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Pembangunan SDM sulit karena kasus perkawinan anak yang tinggi, anak-anak tidak sekolah, dan kurangnya pemberdayaan pemuda dan perempuan.
Salah satu hasil kajian adalah adanya kultur kawin muda di kalangan petani. Selain itu, ada tradisi pamali menolak lamaran, serta kawin muda untuk menghindari zinah.
”Hasil kajian dan solusi cepat dari Prof Paulus telah dipaparkan di hadapan Pemda Kabupaten Temanggung, Bappenas, Kemendagri, dan kementerian/lembaga terkait. Ini akan jadi bahan masukan bagi penyusunan RPJMN dan RPJPD Kabupaten Temanggung serta jadi masukan bagi penyusunan RPJMN ke depan,” kata Femmy.