Transpuan Punya Hak yang Sama dengan Warga Negara Lain
Sejumlah transpuan akhirnya mendapat kesempatan mengurus KTP. Namun, di berbagai bidang, mereka masih mengalami diskriminasi dan penolakan. Padahal, sebagai warga negara, mereka berhak untuk mendapatkan hak-haknya.
JAKARTA, KOMPAS — Transpuan umumnya didiskriminasi dan kesulitan memperoleh hak-hak dasarnya sebagai warga negara akibat ekspresi jender yang berbeda dengan jenis kelaminnya. Negara perlu lebih hadir untuk memenuhi hak-hak mereka tanpa diskriminasi.
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menyatakan, Komnas HAM selalu mendorong negara agar siapa pun warga negara Indonesia memperoleh hak sama, tanpa memandang orientasi seksual atau apa pun. ”Kami sepakat bahwa kawan-kawan transjender adalah manusia yang harus dihormati martabatnya,” kata Sandra, Selasa (26/7/2022).
Sandra menegaskan, hak-hak transpuan sebagai warga negara diakui oleh UUD 1945. Antara lain, hak untuk hidup, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Baca Juga: Transpuan Terdiskriminasi di Negeri Sendiri
Selain itu, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
”Cerita sedih dari saudara-saudara kita transpuan atau waria adalah potret kegagalan negara memenuhi dan melindungi hak asasi dan hak konstitusional dari sebagian warga yang sangat rentan. Realitasnya, bangsa kita merupakan bangsa yang sangat beragam dari segi agama, suku, kondisi ekonomi, kondisi kedisabilitasan dan orientasi seksual serta banyak aspek lain,” papar Sandra.
Karena itulah, keragaman adalah keniscayaan yang semestinya disyukuri dan dirawat dengan baik oleh bangsa Indonesia. Negara mestinya menghormati, melindungi, dan memenuhi setiap orang tanpa terkecuali.
Sandra mengaku, negara memang sudah mulai melakukan langkah-langkah positif untuk anak-anak, perempuan, dan orang penyandang disabilitas. Negara juga sudah memfasilitasi pembuatan kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) bagi transjender. Langkah positif tersebut perlu dibarengi dengan pemenuhan hak-hak lainnya serta penegasan sikap nondiskriminatif di seluruh tataran.
Keragaman adalah keniscayaan yang semestinya disyukuri dan dirawat dengan baik oleh bangsa Indonesia.
Di samping itu, negara juga perlu secara aktif mengubah cara pandang warga terhadap warga transjender melalui berbagai langkah, antara lain, pendidikan dan penegakan hukum. ”Negara harus mulai mengambil langkah tegas untuk memberikan sanksi hukum kepada mereka yang melakukan tindakan diskriminatif, apalagi kekerasan berbasis diskriminasi,” tutur Sandra.
Akses terbatas
Komnas Perempuan sampai saat ini terus membangun dialog dengan transpuan untuk mendengarkan aspirasi mereka. Mereka juga dilibatkan dalam beberapa acara di Komnas Perempuan.
Nahe’i, komisioner Komnas Perempuan, mengakui, selama ini akses para transpuan ke sejumlah bidang sangat terbatas, terutama pendidikan, kesehatan, serta dokumen kependudukan.
Di dunia pendidikan, kalaupun transpuan bisa masuk mengikuti proses pendidikan, pada umumnya mereka mendapatkan perundungan karena sifat feminin mereka. ”Mereka meminta Kementerian Riset dan Teknologi agar tidak hanya mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan seksual di dunia pendidikan, tetapi juga mengeluarkan kebijakan antiperundungan,” papar Nahe’i.
Di bidang administrasi dan kependudukan, Komnas Perempuan mendapati para transpuan masih kesulitan mendapatkan hak-haknya. Saat ini, memang sudah ada beberapa contoh baik, yakni ada sejumlah transpuan mendapatkan KTP dengan tetap mencantumkan jenis kelamin saat dia dilahirkan, yakni laki-laki.
Theresia Iswarini, anggota Dewan Pengawas Perkumpulan Suara Kita, dalam tulisannya di Jurnal Perempuan, 3 Desember 2021 berjudul ”Kartu Tanda Penduduk: Penantian Panjang Transpuan atas Akses Keadilan dan Kesetaraan” menyebutkan, meski para transpuan tidak tercatat sebagai ’waria/ transpuan’ di kolom jenis kelamin, tetapi layanan KTP elektronik ini merupakan sebuah catatan kemajuan bagi upaya pemenuhan hak sipil transpuan sebagai warga negara.
Hal tersebut dinilai penting karena dengan memiliki KTP merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan transpuan yang bahkan dalam UU Adminduk pun tidak dikenali.
Di luar isu KTP, menurut Theresia, transpuan telah menghadapi kesulitan berlapis, mengalami ketidakadilan dari aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ketiadaan KTP membuat mereka mengalami kerentanan berlapis dengan tidak jelasnya posisi mereka sebagai warga negara Indonesia.
Implikasi lebih lanjut dari tidak adanya pengakuan secara administratif adalah tidak ada regulasi yang mengatur secara jelas layanan bagi para transpuan yang berkebutuhan khusus. Dampaknya, mereka tidak dapat mengakses sejumlah layanan yang mereka butuhkan.
”Dalam konteks Indonesia, transpuan tersingkirkan secara sistematis dari akses adminduk. Hal ini dibuktikan dengan sulitnya akses KTP bagi mereka,” kata Theresia yang juga Komisioner Komnas Perempuan.
Selain persoalan tersebut, hingga kini, Nahe’i Komnas Perempuan juga menaruh perhatian khusus pada kebijakan dikriminatif yang berkaitan dengan kelompok-kelompok rentan, termasuk minoritas seksual. Kendati belum memuaskan, sejauh ini berbagai upaya untuk mencegah dan menangani kebijakan diskriminatif dilakukan Komnas Perempuan dan lembaga lain.
”Komnas Perempuan telah lama berupaya bagaimana kebijakan kebijakan diskriminatif karena orientasi seksual harus dievaluasi baik melalu executive review oleh pembuat kebijakan itu atau upaya konstitusional seperti uji materi di Mahkamah Agung misalnya,” ujar Nahe’i.
Baca Juga: Transpuan Berdaya Mengikis Stigma
Untuk menghentikan diskriminasi terhadap transpuan dan kelompok minoritas jender lainnya, Komnas Perempuan menempuh upaya kultural dan struktural. Secara kultural transpuan diajak membuka diri dan berdialog dialog dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
”Para tokoh agama dan masyarakat juga penting melihat transpuan sebagai fakta sosial, bagaimana mencari ruang ruang perjumpaan untuk membangun perspektif yang sama sehingga tidak terjadi saling mencurigai dan ahirnya lahir kebencian,” tutur Nahe’i.
Secara struktural, sangat penting negara/pemerintah hadir dengan kebijakan kebijakan yang nondiskriminatif atas nama apa pun. Negara juga harus menjamin, melindungi, hak-hak transpuan sebagai manusia dan warga negara.
”Ada pertayaan juga dari mereka, yakni siapa yang akan mendukung jika mereka berani menyuarakan hak-haknya. Jadi, mereka merasa ketakutan jika menyampaikan suaranya ke publik karena mereka menyakini tidak ada yang mem-backup-nya,” kata Nahe’i menambahkan.
Baca Juga: Menjadi Berbeda Bukan Penghalang Berkarya
Perda diskriminatif
Pada Maret 2022, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari sekitar 150 organisasi masyarakat sipil lainnya, mempertanyakan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S).
Perda tersebut dinilai mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender di Kota Bogor. Perda tersebut jelas disebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksud menyimpang adalah homoseksual, lesbian, dan waria.
”Perda tersebut berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas seksual dan jender,” ujar Aisya Humaida, dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Perda tersebut juga bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan. Di dalam PPDGJ poin F66 jelas disebutkan bahwa orientasi seksual jangan dianggap sebagai sebuah gangguan. Bahkan, dalam klasifikasi internasional, yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah dinyatakan bahwa transjender bukan merupakan gangguan kejiwaan.
Data terpadu
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Pepen Nazaruddin mengungkapkan, pemerintah akan memberikan bantuan sosial jika para transpuan dalam kondisi miskin atau disabilitas. ”Kita mempersoalkan transpuan ketika dia membutuhkan pertolongan khusus sosial. Bisa melalui bantuan Program Keluarga Harapan dan sebagainya,” ujar Pepen.
Untuk mendapatkan akses bantuan sosial, para transpuan harus masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diusulkan pemerintah daerah. Jika sudah masuk DTKS, Kemensos akan proses. Bagi yang tidak memiliki identitas kependudukan, perlu ada kerjasama dengan pemda.
”Kewenangan untuk mengeluarkan KTP, NIK oleh pemda. Kalau untuk pertolongan pertama, dia miskin, terkena bencana kita akan tolong terlebih dahulu, baru kemudian kita masukkan ke DTKS,” kata Pepen.
Baca Juga: Transpuan Surabaya Merenda Masa Depan
Ia juga menambahkan, Kemensos akan mengupayakan agar transpuan masuk dalam DKTS. Hal itu terbuka, apalagi saat ini pembaruan DTKS terus berlangsung, bahkan bisa sebulan sekali dilakukan. ”Kalau dulu, enam bulan sekali. Masak dalam sebulan itu, pemda tidak bisa memasukkan datanya,” katanya.
Soal pelatihan keterampilan, Pepen menyatakan, pemerintah terbuka untuk hal tersebut. Apalagi, Kemensos memiliki balai-balai multilayanan. Pelayanan yang diberikan tanpa memandang orientasi seksual dari penerima layanan. ”Kami tidak melihat orientasi seksualnya, tetapi sepanjang miskin, disabilitas, kita akan terima,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Femmy Eka Kartika menyatakan, para transpuan yang terhambat sekolah bisa mengikuti program Kejar Paket A, B, C. ”Jadi, tidak harus di pendidikan formal atau sekolah, justru peluangnya sangat besar untuk mendapatkan layanan pendidikan nonformal karena ijazahnya setara dengan pendidikan formal,” ujar Femmy.