Jumlah transpuan di Kota Surabaya mencapai ratusan orang. Namun, keberadaan mereka kurang diperhatikan karena kuatnya stigmatisasi di masyarakat.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
Jumlah transpuan di Kota Surabaya, Jawa Timur, mencapai ratusan orang. Namun, keberadaan mereka kurang diperhatikan karena kuatnya stigmatisasi di masyarakat. Akibatnya, hak-hak transpuan sebagai warga negara terabaikan, baik di bidang kependudukan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun agama.
Ketua Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) Sonya Vanessa (62) mengatakan, anggotanya saat ini berjumlah 460 orang. Mayoritas transpuan sebenarnya berusia produktif. Namun, karena pendidikan mereka rendah dan kuatnya stigmatisasi, lapangan pekerjaan yang bisa didapatkan sangat terbatas.
”Waria di Surabaya itu mayoritas pekerjaannya, salon, ngamen, dan mejeng. Kalau tidak bekerja di salon, ya ngamen. Namun, kebanyakan memilih mejeng atau menjadi pekerja seks karena selain dapat uang, mereka juga bisa memenuhi kebutuhan biologisnya,” ujar Sonya, Sabtu (16/7/2022).
Ketiga lapangan pekerjaan tersebut penuh tantangan dan tidak mudah dimasuki. Untuk bekerja di salon, misalnya, dibutuhkan keterampilan seperti memotong rambut dan merias wajah. Peluang kerja di salon juga sulit diraih karena tidak semua pemilik usaha mau mempekerjakan mereka.
Sekalipun diterima di salon bukan milik transpuan, mereka harus berpenampilan maskulin. Hal itu membuat transpuan yang berpenampilan feminin merasa tidak nyaman atau mengalami disforia.
Transpuan yang memiliki modal usaha dan bekal keterampilan memadai akan memilih membuka usaha salon sendiri, seperti yang dilakukan Irma Subekti (58) atau Mami Irma. Pemilik Irma Salon di Jalan Pacar Kembang, Surabaya, ini menekuni usaha tata rias pengantin sejak 1994.
Saat usahanya ramai pesanan, dia mempekerjakan beberapa transpuan sebagai asisten. Selain menerima upah, transpuan yang menjadi asisten juga bisa belajar menjadi perias pengantin sehingga kelak mereka bisa membuka usaha sendiri. Namun, hampir tiga tahun belakangan ini usaha salon Irma sepi karena dampak pandemi Covid-19 yang membatasi kegiatan masyarakat.
”Saya sekarang lebih banyak bekerja sendiri tanpa asisten karena usaha masih sepi meski hajatan sudah diperbolehkan. Usaha salon kecantikan sekarang juga bertambah banyak sehingga persaingan semakin ketat,” kata Irma.
Irma merupakan lulusan sekolah pendidikan guru (SPG) tahun 1983 jurusan ilmu keguruan, kesenian, dan keterampilan. Dia sempat mengajar di SDN 5 Kapasan dan SMP Wonokusumo 45 Surabaya. Saat mengikuti ujian CPNS, dia dinyatakan lulus dan ditempatkan di Pulau Sapudi, Madura.
Akan tetapi, dia memilih tak berangkat ke Sapudi karena lokasinya jauh di kepulauan. Irma lantas membuka usaha salon kecantikan dan rias pengantin untuk menopang kehidupan ekonominya. Dia mengontrak tempat di Pacar Kembang dan membangun usahanya dari bawah. Pasang surut dunia usaha telah menempanya menjadi pribadi yang ulet dan tidak mudah menyerah.
Irma mengatakan, wirausaha bisa menjadi jalan bagi transpuan meraih kemandirian ekonomi. Saat masih berusia muda, banyak transpuan yang bekerja keras menjadi pekerja seks untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Setelah terkumpul, uangnya dipakai untuk modal usaha, seperti buka salon.
Namun, jalan menjadi pekerja seks sekarang tidaklah mulus. Salah seorang transpuan pekerja seks, Erika (45), mengisahkan, tempat mangkal atau mejeng mereka semakin sempit karena prostitusi telah dilarang. Lokasi mangkal transpuan kerap dijaga ketat satuan polisi pamong praja sehingga mereka harus bermain kucing-kucingan.
Apabila tertangkap petugas, mereka akan dibawa ke lingkungan pondok sosial (liponsos) untuk dibina dan diminta agar tidak mangkal lagi. Untuk keluar dari liponsos disyaratkan dijemput oleh keluarga, padahal mayoritas transpuan lari dari keluarga karena merasa tidak nyaman.
Sebagian keluarga transpuan menganggap mereka sebagai aib sehingga mereka diminta berubah sesuai kemauan keluarga. Transpuan biasanya menolak dan memilih pergi dari rumah. Mereka pun tinggal di tempat kos atau menyewa rumah dengan sesama transpuan.
Wirausaha bisa menjadi jalan bagi transpuan meraih kemandirian ekonomi. Saat masih berusia muda, banyak transpuan yang bekerja keras menjadi pekerja seks untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Setelah terkumpul, uangnya dipakai untuk modal usaha, seperti buka salon.
Di rumah Sonya Vanessa, misalnya, ada delapan transpuan yang menghuni kamar kos dengan tarif Rp 400.000–Rp 500.000 per kamar. Semuanya bekerja sebagai pekerja seks di malam hari sehingga rentan terinfeksi penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS.
Berdasarkan data Perwakos, jumlah anggota pada tahun 2003 mencapai 1.596 orang. Namun, saat ini tinggal 460 orang. Penurunan ini akibat banyak yang meninggal dan pindah tempat kerja. ”Sebanyak 80 persen meninggal dunia karena sakit. Hanya 20 persen yang pindah lokasi kerja, seperti ke Jakarta atau Bali,” ucap Sonya.
Selain tinggal di tempat kos, transpuan yang sudah berusia lanjut tinggal di panti jompo. Salah satunya di panti jompo yang dikelola oleh Handayani (68), seorang transpuan yang mendedikasikan diri melayani kegiatan keagamaan dan sosial bagi kelompok minoritas.
Ide membuka panti jompo itu berawal saat ada seorang transpuan berusia lanjut yang ditolak oleh pemilik rumah kos. Handayani lantas meminta bantuan kepada Yayasan Pondok Kasih agar dibangunkan loteng berbahan kayu untuk menambah ruang yang akan difungsikan sebagai tempat tidur.
Pembangunan panti jompo terealisasi pada 2014. Awalnya hanya empat lansia transpuan yang tinggal. Seiring waktu, jumlahnya bertambah menjadi belasan orang. Namun, kini panti jompo itu kosong karena semua penghuninya sudah meninggal.
Sonya mengatakan, mayoritas transpuan lansia dirawat dan dihidupi oleh transpuan muda di tempat kos. Sedikit sekali yang kembali kepada keluarga karena biasanya sudah tidak diakui oleh keluarga sendiri.
Fenomena transpuan di Surabaya mengonfirmasi betapa keberadaan mereka sebagai warga bangsa belum diakui sepenuhnya. Hak-hak kemanusiaan pun digerogoti oleh stigmatisasi yang melekat kuat di masyarakat. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh dari segenap pemangku kepentingan, sulit rasanya bagi transpuan untuk merenda masa depan.