Meskipun sering diabaikan, transpuan mencoba berdaya dengan berkarya di berbagai bidang. Mereka bekerja tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga mengikis stigma dengan berdaya guna di tengah masyarakat.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Meskipun sering diabaikan, sejumlah transpuan mencoba berdaya dengan berkarya di berbagai bidang. Mereka bekerja tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk mengikis stigma dengan menjadi berdaya guna di tengah masyarakat.
Pendiri sekaligus Direktur Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) Vinolia Wakidjo (66) mengatakan, transpuan identik bekerja di dunia malam sebagai pekerja seks, perias, dan pengamen. Padahal, menurut dia, transpuan juga punya banyak potensi untuk bekerja di beragam bidang.
”Waria enggak harus terus hidup di zona nyaman. Kembangkan potensi yang dimiliki untuk berkarya,” ujarnya saat ditemui di Rumah Singgah Kebaya, Yogyakarta, Kamis (21/7/2022).
Bersama rekan-rekan waria lainnya, Vinolia mendirikan Yayasan Kebaya pada 18 Desember 2006. Lima bulan berselang, kantor yayasan itu juga digunakan sebagai rumah singgah bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Sudah lebih dari 200 orang pernah mampir di rumah singgah itu, baik transpuan maupun individu nontranspuan dengan HIV/AIDS. Selain diberi makan, ODHA juga mendapatkan pengobatan secara teratur. Mereka pun didampingi saat berkonsultasi dengan dokter di rumah sakit.
Sejak 2015, Yayasan Kebaya mendapatkan pendanaan dari Dinas Sosial DI Yogyakarta untuk merawat orang dengan HIV/AIDS. Bantuan yang diterima untuk biaya makan dan perawatan sekitar Rp 40 juta per bulan untuk lima orang dengan HIV/AIDS.
”Akan tetapi, di lapangan, dana itu digunakan untuk orang yang lebih banyak. Misalnya saja, saat ini, ada delapan orang yang tinggal di rumah singgah,” katanya.
Beragam cara dilakukan agar tetap bisa berkarya. Rully, misalnya, menjadi konsultan sejumlah lembaga yang fokus pada isu transpuan, anak, dan lingkungan. Namun, sesekali ia masih mengamen di jalan.
Konsistensi selama 15 tahun mendampingi ODHA membuat Vinolia sering diundang berbagai lembaga, termasuk perguruan tinggi, untuk menjadi narasumber mengenai transpuan dan kehidupan jalanan. Honor sebagai pembicara ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyokong operasional Yayasan Kebaya.
Ia juga menerima sejumlah penghargaan dari berbagai lembaga, di antaranya Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta atas dedikasi membantu pengendalian epidemi HIV/AIDS dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) karena telah membimbing mahasiswa fakultas tersebut dalam manajemen integrasi pasien.
”Meskipun waria, saya masih dianggap mampu menjadi pembicara. Tentu ini juga berkat pengalaman dan pembelajaran selama hidup di jalan,” ujar lulusan sekolah menengah pertama itu.
Rully Mallay (62), transpuan asal Sulawesi Selatan yang sudah tinggal di Yogyakarta selama 19 tahun terakhir, menuturkan, transpuan masih terkendala mengakses hak-hak sipilnya, seperti terkait administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. ”Banyak transpuan yang tidak melanjutkan sekolah karena cemas akan di-bully. Ujungnya, susah mengakses pekerjaan,” ucapnya.
Akan tetapi, beragam cara dilakukan agar tetap bisa berkarya. Rully, misalnya, menjadi konsultan sejumlah lembaga yang fokus pada isu transpuan, anak, dan lingkungan. Ia juga sesekali masih mengamen di jalan.
Sebelum merantau ke Yogyakarta, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar di Sulsel pada 1978-1987. Bahkan, ia mengaku pernah menjadi anggota DPRD salah satu kabupaten di Sulsel periode 1987-1993.
”Agar lebih bisa didengar (mengangkat isu transpuan) dan lebih bebas, saya memutuskan bekerja di NGO (lembaga swadaya masyarakat). Namun, di mana pun, transpuan tetap bisa berkarya,” ucapnya.
Stigma dan perundungan membuat banyak transpuan dari sejumlah daerah merantau ke kota-kota di Pulau Jawa, salah satunya Yogyakarta. Menurut Rully, hal itu karena mereka tidak diterima keluarga dan ditolak lingkungan sekitarnya. Bahkan, tidak jarang mereka mendapatkan kekerasan fisik dari orang-orang terdekatnya.
Oleh sebab itu, mereka saling membantu dan terlibat dalam kerja-kerja sosial di perantauan. ”Saat awal pandemi Covid-19 pada 2020, kami membuka dapur umum di sembilan tempat. Ini bentuk kepedulian terhadap masyarakat sekitar,” ujarnya.