Transpuan Sulit Mengakses Pendidikan karena Diskriminasi
Ketua Sanggar Waria Remaja Kanzha Vinaa adalah penyintas kekerasan yang dialami sejak belia. Kekerasan itu membuatnya putus sekolah. Namun, kini sanggarnya menyediakan pendidikan alternatif untuk transpuan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian transpuan kesulitan belajar di sekolah karena menerima diskriminasi dari berbagai pihak. Akibatnya, mereka putus sekolah dan tidak memiliki cukup bekal untuk bersaing di dunia kerja saat dewasa.
Penelitian Arus Pelangi pada 2013 mencatat, 35 persen kasus kekerasan dialami transpuan. Menurut laporan Jalan Panjang untuk Penerimaan; Analisis Situasi Transpuan di Indonesia yang dipublikasi Sanggar Waria Remaja (Swara) pada 2020, diskriminasi terhadap transpuan merupakan dampak dari ekspresi fisik atau jender mereka yang dianggap tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka. Hal ini dinilai menyimpang.
Ketua Swara Kanzha Vinaa juga tak asing dengan kekerasan fisik dan psikis sejak kecil. Keluarga, teman, dan lingkungan sosial merundungnya karena dia ”berbeda”. Kanzha jadi sering tidak masuk sekolah karena tak tahan dengan perisakan. Ia akhirnya putus sekolah saat kelas II SMP. Beberapa tahun kemudian, ia lari dari rumahnya di Bengkulu ke Jakarta.
Hal serupa kerap dialami transpuan-transpuan lain. Begitu tiba di Ibu Kota, para transpuan sulit mencari pekerjaan karena tak punya bekal pendidikan atau keterampilan. Banyak dari mereka yang akhirnya bekerja sebagai pekerja salon, pengamen, ataupun pekerja seks.
”Ini (putus sekolah) tidak hanya memengaruhi peluang kerja transpuan. Putus sekolah juga memengaruhi pemahaman transpuan tentang berbagai hal, termasuk pengetahuan umum,” kata Kanzha saat diwawancarai secara virtual dari Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Kanzha akhirnya menyelesaikan pendidikan dengan mengambil Paket B dan C (setara SMP dan SMA) masing-masing pada 2018 dan 2019. Saat itu, ia menyadari ada banyak ketertinggalan akibat putus sekolah, seperti pengetahuan soal geografi serta cara menulis makalah yang baik dan benar.
Ini (putus sekolah) tidak hanya memengaruhi peluang kerja transpuan. Putus sekolah juga memengaruhi pemahaman transpuan tentang berbagai hal, termasuk pengetahuan umum.
Ia menambahkan, beberapa transpuan bahkan ada yang belum lancar membaca, menulis, dan berhitung. Ketertinggalan ini membuat mereka sulit menaikkan posisi tawar di dunia kerja.
Menurut Kanzha, minat transpuan untuk mendapat ijazah melalui Paket B atau C cukup tinggi. Namun, sebagian besar transpuan adalah tenaga kerja. Mereka sulit memprioritaskan pendidikan karena mesti bekerja demi membayar tagihan.
”Meskipun kami mengambil Paket C dan mendapat ijazah, belum tentu kami bisa diterima kerja,” ucap Kanzha.
Walau demikian, ia tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Ia mengambil jurusan hukum. Katanya, kuliah akan membuatnya paham konsep dan teori hukum. Hal itu bakal melengkapi pengalaman praktisnya selama aktif di Swara.
”Pekerjaan di Swara sering bersinggungan dengan hukum, misalnya pendampingan dan advokasi. Kalau saya mengerti teori dan konsep hukum, saya akan punya pemahaman komprehensif untuk kerja-kerja advokasi ke depan,” katanya.
Sekolah alternatif
Swara lantas membuat Transchool, yaitu sekolah alternatif untuk para transpuan. Program Transchool diselenggarakan setiap tahun sejak 2010. Transchool hanya menerima sejumlah transpuan yang lolos seleksi dalam satu angkatan.
Para peserta akan belajar dan mendalami sejumlah materi selama 3 bulan. Materi tersebut, antara lain, hak sebagai warga negara, feminisme, serta orientasi seksual, identitas jender, ekspresi, dan karakteristik jenis kelamin (sexual orientation, gender identity, expression, sex characteristic/SOGIE-SC). Adapun kelas Transchool tahun ini dimulai setiap Juli.
”Pengetahuan ini buat meningkatkan posisi tawar mereka di kehidupan bermasyarakat. Selain itu, kami juga ada program peningkatan keterampilan, misalnya tata boga dan bahasa Inggris. Ini disesuaikan dengan kebutuhan teman-teman,” ucap Kanzha.
Ia berharap agar pemerintah berkomitmen melindungi setiap warga negara dari diskriminasi dan kriminalisasi, termasuk melindungi transpuan. Dengan perlindungan, ada banyak hak yang dapat diakses transpuan, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan hunian yang layak.