Panggung kesenian menjadi tempat ekspresi transpuan yang jauh dari stigma yang kerap melukai harga diri. Sayang, kini ruang-ruang ekspresi itu hilang.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI, TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Panggung hiburan tak hanya membuka ruang bagi para transpuan untuk mengekspresikan diri dalam berkesenian. Di atas pentas mereka bisa menerima apresiasi atas kreasi atau karya seni yang ditampilkan. Dunia hiburan juga jauh dari stigmatisasi yang kerap melukai harga diri transpuan.
Di Jawa Timur, banyak transpuan yang berkecimpung di dunia seni ludruk. Salah satunya Kasiyanto (53), anggota Ludruk Irama Budaya Surabaya. Ditemui di kosnya di Jalan Pulo Wonokromo, Rabu (20/7/2022) sekitar pukul 09.00, pemain dengan nama panggung Kasiyati ini baru bangun tidur.
Dia mengaku sedikit lelah karena begadang hingga larut malam. Bukan untuk bermain ludruk, melainkan melatih sejumlah ibu rumah tangga dan anak-anak karang taruna di daerah Pagesangan, Surabaya. Menjadi pembina atau pelatih pemain ludruk merupakan pekerjaan sambilan di tengah sepinya panggung hiburan.
”Jadwal latihannya seminggu dua kali. Sekali latihan dikasih Rp 50.000. Lumayan untuk menyambung hidup meskipun masih jauh dari cukup,” ujar Kasiyanto.
Di kamar kos yang ukurannya hanya sekitar 3 meter x 4 meter itu dia hidup seorang diri. Keluarga besarnya tinggal di Kabupaten Kediri, Jatim. Kasiyanto merantau di Surabaya sejak 1999 setelah bergabung dengan kelompok Ludruk Irama Budaya. Sebelum itu, dia bermain ludruk keliling kampung di Kediri, Tulungagung, dan Blitar.
Sebagai pemain lawas, Kasiyanto yang hanya tamat SMP ini bisa memainkan peran yang beragam. Dia terampil menjadi tandak atau biduan ludruk dan sinden atau orang yang menembang lagu-lagu dalam bahasa Jawa. ”Saya juga bisa menari remo dan bermain musik karawitan. Campur sari juga oke,” kata Kasiyanto.
Kehidupan seniman ludruk pada zaman dulu cukup menjanjikan. Kelompok ludruk bahkan memiliki panggung sendiri di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, termasuk Irama Budaya yang berada di sana sejak 2010. Setelah Pemkot Surabaya membubarkan THR, kesempatan tampil bagi pemain ludruk menjadi berkurang signifikan.
Pemain ludruk pun mencari panggung di tempat lain, seperti saat ada hajatan, ruwatan desa, dan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Rata-rata pendapatan yang diperoleh dari panggung hiburan Rp 400.000 hingga Rp 500.000 untuk sekali pentas. Namun, karena kegiatan yang mengundang massa dilarang selama pandemi Covid-19, pemain ludruk kehilangan sumber pendapatannya. Selama lebih dari dua tahun mereka mencari pekerjaan sambilan untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar.
Kasiyanto bertahan sekuat tenaga berada di jalur seni yang ditekuninya. Dia pun berjuang keras mencari pekerjaan sampingan dan menekan pengeluarannya secara ketat. Menurut dia, transpuan yang memilih jalan kesenian jauh lebih dihargai dibandingkan yang bekerja menjajakan diri.
”Transpuan itu stigmanya sudah negatif. Kalau kita tidak pintar menjaga diri, stigma di masyarakat akan makin buruk,” ucap Kasiyanto.
Meski dunia hiburan mampu menopang kehidupan transpuan, kondisi mereka masih jauh dari sejahtera. Alih-alih menabung untuk masa tua, buat makan setiap hari saja masih susah. Apalagi tinggal di kota membutuhkan biaya yang besar. Menyikapi hal itu, Kasiyanto berencana pulang ke kampung halamannya di Kediri dan menghabiskan masa tua di sana.
Dia telah menyusun rencana untuk tinggal bersama saudara di kampung. Oleh karena itulah dia berupaya membangun citra positif sebagai pekerja seni yang layak diapresiasi oleh masyarakat. Sejauh ini, Kasiyanto tak menjumpai penolakan dari warga sekitarnya maupun di tempat dia berkesenian.
Transpuan yang memilih jalan kesenian jauh lebih dihargai dibandingkan yang bekerja menjajakan diri.
Meredupnya ludruk juga telah membuat Eyang Erna (70), transpuan asal Kediri, Jawa Timur, turun ke jalanan Yogyakarta menjadi pengamen. ”Kalau kerja kantoran, apalagi waktu dulu, (transpuan) sangat sulit diterima. Jadi, pilihannya kerja berkesenian, termasuk di jalan,” ujarnya disertai batuk saat mengamen di bawah Jembatan Layang Janti, Yogyakarta, Rabu (20/7/2022) malam.
Malam itu, setelah berjalan sekitar 300 meter dan mengamen di belasan warung selama setengah jam, Erna dan dua transpuan lainnya memperoleh Rp 23.700. ”Tetap disyukuri. Kalau mau dapat lebih banyak, bisa kembali mengamen lagi. Namun, tunggu pengunjung warung berganti supaya mereka enggak terganggu,” tuturnya. Biasanya, ia memperoleh Rp 100.000-Rp 200.000 per malam dari hasil mengamen.
Fitria Rahmawati (45), warga Wonokromo, mengatakan, sejak kecil ia telah mengenal kesenian ludruk. Dia juga tahu sebagian besar pemainnya adalah laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Kehadiran transpuan ini sangat menghibur karena mereka dianggap lucu.
”Saya senang lihat penampilan transpuan karena membuat ludruk menjadi lebih hidup. Mereka lucu banget. Kadang pas nyanyi keluar suara laki-lakinya dan hal itu membuat para penonton tertawa lepas,” ucap Fitria.
Pendapat senada disampaikan Carolina (50), warga Gunungsari, Surabaya. Dia mengaku tidak risi dengan penampilan transpuan pemain ludruk karena berkebaya dan berkain panjang. Menurut dia, yang membuat tidak nyaman jika melihat transpuan mejeng di jalan dengan dandanan rok mini.
Dalam diskusi tentang transpuan bersama Kompas, pekan lalu, Direktur Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat yang juga Koordinator Wilayah Selatan (Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) Asosiasi Antropologi Indonesia Inang Winarso mengatakan, transpuan ada, tetapi dianggap tidak ada. Hak-hak mereka sebagai warga negara banyak yang dilanggar negara. Hak pendidikan, pekerjaan dan penghidupan layak, kesehatan dan kesejahteraan sosial, hingga hak beragama pun banyak yang tidak dipenuhi negara.
”Nasib transpuan buruk karena ruang publik yang menampung mereka tertutup,” katanya.