Stigmatisasi membuat banyak transpuan kesulitan mengakses pekerjaan. Imbasnya, mereka bekerja di jalanan, mulai dari mengamen hingga menjadi pekerja seks.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Stigmatisasi membuat banyak transpuan kesulitan mengakses pekerjaan. Imbasnya, mereka terpaksa bekerja di jalanan, mulai dari mengamen hingga menjadi pekerja seks. Hidup di jalan tidak mudah karena mereka sering menjadi korban kekerasan dan dirazia.
Kondisi itu memaksa transpuan harus tetap bekerja di jalan hingga lanjut usia. Salah satunya Eyang Erna (70), transpuan asal Kediri, Jawa Timur, yang telah mengamen di DI Yogyakarta sejak lebih dari 25 tahun lalu.
”Kalau kerja kantoran, apalagi waktu dulu, (transpuan) sangat sulit diterima. Jadi, pilihannya kerja berkesenian, termasuk di jalan,” ujarnya disertai batuk saat mengamen di bawah Jembatan Layang Janti, Yogyakarta, Rabu (20/7/2022) malam.
Saat mengamen, Erna berdandan layaknya perempuan. Lipstik merah yang menghiasi bibirnya selaras dengan warna kebaya yang dikenakan. Bulu mata palsu dan alis tebal melengkapi riasan wajahnya malam itu. Ia juga menyanggul rambutnya.
Bersama dua rekannya, Rully Mallay (62) dan Tata (58), Erna menghibur warga yang makan di warung-warung lesehan di bawah Jembatan Layang Janti. Rully memakai kebaya merah muda, sementara Tata mengenakan selendang dengan anting menggantung di telinganya.
Ketiganya berbagi tugas menghibur warga. Erna memainkan bas betot kotak dan bernyanyi dengan langgam Jawa. Rully memainkan kecrek sambil berlenggok-lenggok, sementara Tata ikut bernyanyi dan mengumpulkan pemberian uang dari pengunjung warung.
Malam itu, tidak ada warga yang mengusir mereka. Namun, tetap lebih banyak yang mengabaikan kehadiran ketiganya dibandingkan dengan memberikan uang secara sukarela.
Setelah berjalan sekitar 300 meter dan mengamen di belasan warung selama setengah jam, mereka memperoleh Rp 23.700. ”Tetap disyukuri. Kalau mau dapat lebih banyak, bisa kembali mengamen lagi. Namun, tunggu pengunjung warungnya berganti supaya mereka enggak terganggu,” tuturnya. Biasanya, ia memperoleh Rp 100.000-Rp 200.000 per malam dari hasil mengamen.
Sebelum menjadi pengamen, Erna bergabung dengan grup ludruk di Yogyakarta. Namun, pada pertengahan 1990-an, ludruk kurang diminati sehingga membuatnya harus beralih ke pekerjaan lain untuk menyambung hidup.
Transpuan memilih merantau karena tidak diterima keluarga dan ditolak lingkungan sekitarnya. Bahkan, tidak jarang mereka mendapatkan kekerasan fisik dari orang-orang terdekatnya.
”Orang seperti kami (transpuan) tidak punya banyak pilihan. Apalagi, saat itu masih ada yang menganggap waria itu najis. Pada akhirnya turun (bekerja) di jalanan,” ucapnya.
Akan tetapi, menjadi pengamen pun tidak mudah bagi mereka. Kekerasan verbal dan fisik kerap dialami. Belum lagi dirazia oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja.
Rully, misalnya, mengaku sudah tiga kali terjaring razia dan dibawa ke dinas sosial. Ia juga pernah ditendang oleh orang yang risi dengan kehadirannya. Kekerasan verbal seperti ejekan dan intimidasi pun sering dialami.
”Padahal, kami bukan sengaja ingin menjadi transpuan. Ini adalah sesuatu yang given (pemberian),” katanya.
Menurut Rully, stigma dan diskriminasi menjadi akar utama masalah kekerasan terhadap transpuan. Stigma itu di antaranya menganggap transpuan sebagai penyakit atau kelainan sehingga kerap dipandang negatif.
Hal itu membuat transpuan terkendala mengakses hak-hak sipilnya, seperti terkait administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. ”Banyak transpuan yang tidak melanjutkan sekolah karena cemas akan di-bully. Ujungnya, susah mengakses pekerjaan,” ucapnya.
Rully yang juga sukarelawan Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) menuturkan, stigma dan perundungan membuat banyak transpuan dari sejumlah daerah merantau ke kota-kota di Pulau Jawa, salah satunya Yogyakarta. Mayoritas di antara mereka tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) saat masa awal merantau.
”Berkat advokasi beberapa lembaga, barulah pada 2013 teman-teman transpuan di DI Yogyakarta bisa memiliki KTP. Namun, masih ada juga yang belum punya, terutama yang tidak bergabung ke komunitas,” ucapnya.
Menurut Rully, transpuan memilih merantau karena tidak diterima keluarga dan ditolak lingkungan sekitarnya. Bahkan, tidak jarang mereka mendapatkan kekerasan fisik dari orang-orang terdekatnya.
Oleh sebab itu, mereka saling membantu dan terlibat dalam kerja-kerja sosial di perantauan. ”Saat awal pandemi Covid-19 pada 2020, kami membuka dapur umum di sembilan tempat. Ini bentuk kepedulian terhadap masyarakat sekitar,” ujarnya.
Kehadiran transpuan ditanggapi beragam oleh warga. Maulana (32), warga Kota Yogyakarta, misalnya, tidak mempersoalkan aktivitas transpuan mengamen di jalanan.
”Asalkan mereka tidak memaksa untuk diberi uang, tidak ada masalah. Terkait (menjadi) transpuan, itu urusan pribadi mereka,” ujarnya.
Sementara itu, Armadi, warga Kabupaten Bantul, mengaku merasa geli saat berdekatan dengan transpuan. Ia pun punya pengalaman kurang menyenangkan saat duduk di samping transpuan di dalam bus.
”Mungkin dia (transpuan) memperhatikan gelagat saya. Malah dia merapatkan badannya ke saya. Itu membuat saya marah dan dia pun juga marah,” katanya.