Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan Dinilai Masih Terkendali
Penanganan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan dinilai masih terkendali. Pada periode 1 Januari-11 Juli telah terpantau 258 titik panas di sejumlah daerah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki musim kemarau, potensi kebakaran hutan dan lahan atau karhutla kian meningkat di sejumlah wilayah Indonesia. Bahkan, beberapa daerah di Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat sudah terdeteksi titik panas hingga mengakibatkan kebakaran yang cukup besar.
Menanggapi upaya penanganan karhutla di beberapa daerah ini, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Basar Manullang menyampaikan, secara umum kejadian karhutla saat ini masih sangat terkendali. Hal ini karena upaya pemadaman dilakukan lebih cepat melalui pemantauan.
”Manggala Agni dan para petugas di lapangan lainnya tidak pernah kenal lelah untuk memadamkan karhutla yang terjadi. Saat ini mereka telah berhasil melakukan pemadaman seperti di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (14/7/2022).
Pantauan hotspot atau titik panas dari situs sipongi.menlhk.go.id melalui satelit Terra/Aqua dengan tingkat kepercayaan 80 persen atau lebih, pada periode 1 Januari-11 Juli 2022 telah terpantau 258 titik panas. Angka ini lebih rendah 12,54 persen dibandingkan tahun 2021 pada periode yang sama dengan jumlah 295 titik panas.
Menurut Basar, para pakar menyebut bahwa 99 persen kebakaran yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor manusia baik secara sengaja maupun karena kelalaian. Di sisi lain, kebakaran yang sebagian terjadi di kawasan gambut akan membutuhkan upaya pemadaman yang jauh lebih besar dibandingkan kebakaran di kawasan tanah mineral.
Para pakar menyebut bahwa 99 persen kebakaran yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor manusia baik secara sengaja maupun karena kelalaian.
”Lahan gambut akan mudah terbakar jika dalam kondisi kering apalagi dipicu juga cuaca terik tanpa hujan di beberapa daerah sehingga berpotensi besar meningkatkan kerawanan karhutla,” katanya.
Basar memastikan, upaya pengendalian karhutla terus dilakukan pemerintah bersama para pihak. Upaya tersebut meliputi pencegahan, penanggulangan, dan penanganan pasca-karhutla. Dari aspek pencegahan, upaya yang dilakukan meliputi pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan dan pelatihan Masyarakat Peduli Api serta melakukan patroli berkala.
Dalam upaya pencegahan, juga dilakukan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) di beberapa wilayah. Sejak 2020, KLHK menjadikan operasi TMC sebagai salah satu solusi permanen pencegahan karhutla. Tujuannya, membasahi lahan gambut agar terjaga kelembabannya dan menjaga tinggi muka air tetap stabil.
Dari aspek penanggulangan, upaya yang dilakukan yakni groundcheck atau verifikasi lapangan dari titik panas yang terpantau. Pemadaman darat secara dini dan pemadaman udara juga dilakukan bila diperlukan terutama di lokasi yang sulit dijangkau.
Sementara upaya pasca-penanganan, dilakukan dengan menghitung luas areal terbakar dan emisi karhutla serta penegakan hukum. Penghitungan luas karhutla ini menggunakan data sebaran titik panas dari empat satelit resolusi menengah, yakniLandsat 8 dan 9 serta Sentinal 2a dan 2b. Proses penghitungan juga divalidasi melalui sebaran titik panas dari empat satelit, yakni Terra, Aqua, SNPP, NOAA20 serta laporan langsung dari petugas pemadaman karhutla di lapangan.
Perhitungan luas areal terbakar sangat penting untuk mengetahui kontribusi pengendalian karhutla dalam pencapaian target Indonesia dalam penyerapan emisi bersih sektor kehutanan dan tata guna lahan (FoLU Net Sink) 2030.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Deputi Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko menyatakan bahwa tahun ini musim kemarau diperkirakan dominan bersifat normal. Bahkan, sebagian kecil musim kemarau berada di bawah normal.
”Tahun lalu, kemarau bersifat di atas normal atau cenderung basah. Jadi, jika dibandingkan tahun 2021, potensi karhutla di tahun 2022 akan lebih besar,” tuturnya.
Sebagai upaya antisipasi, Urip mengingatkan semua pihak untuk dapat memanfaatkan kondisi awal musim kemarau yang diperkirakan mundur 47,7 persen zona musim. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk menampung ketersediaan air untuk berbagai keperluan.