Pengendalian Karhutla Sangat Krusial dalam Penyerapan Karbon Bersih 2030
Pengendalian karhutla sangat krusial untuk mewujudkan target FoLU Net Sink 2030. Ini karena pelepasan emisi dari karhutla sangat tinggi.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia telah menetapkan target penyerapan karbon bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahanatau FoLU Net Sink pada 2030. Cara mencapai target ini di antaranya dengan berfokus pada peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.
Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Lailan Syaufina mengemukakan, hampir 100 persen penyebab karhutla terjadi karena faktor manusia, seperti penebangan liar dan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Mengingat bukan kejadian alam, karhutla saat ini juga telah dimasukan ke dalam deforestasi yang tak direncanakan.
”Karhutla berkontribusi terhadap peningkatan emisi dari karbon dioksida, metana, dan gas berbahaya lainnya. Dalam lima tahun terakhir, ada peningkatan dan penurunan emisi Indonesia dari karhutla,” ujarnya dalam webinar tentang pengendalian karhutla dalam mendukung FoLU Net Sink 2030, Kamis (7/4/2022).
KLHK harus mengambil tindakan korektif, mempertimbangkan, dan merekalkulasi area yang terbakar meski terdapat faktor cuaca ekstrem yang dapat memengaruhi karhutla. (Lailan Syaufina)
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2017 emisi yang dihasilkan dari karhutla sebanyak 24,56 juta ton setara karbondioksida (CO2e). Karhutla besar pada 2019 membuat emisi meningkat signifikan hingga 603,81 juta ton CO2e. Sementara pada 2021, emisi dari karhutla turun menjadi 127,34 juta ton CO2e.
KLHK juga mencatat, luas areal karhutla sepanjang 2021 mencapai 354.582 hektar atau meningkat 19,4 persen dibandingkan tahun 2020, yakni 296.942 hektar. Wilayah dengan luas karhutla terbesar di Nusa Tenggara Timur, yakni 137.297 hektar, disusul Nusa Tenggara Barat dengan luasan 100.908 hektar.
Area karhutla di NTT banyak terjadi di lahan savana atau padang rumput, semak belukar, dan pertanian lahan kering campur semak. Adapun karhutla di NTB didominasi oleh kejadian di area pertanian lahan kering, padang rumput, dan semak belukar.
Lailan menegaskan bahwa pemerintah harus meningkatkan upaya pengendalian karhutla karena dampaknya yang sangat signifikan terhadap pelepasan emisi karbon. Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sesuai dokumen kontribusi nasional (NDC) Kesepakatan Paris sekaligus menargetkan FoLU Net Sink pada 2030. Folu Net Sink 2030 yaitu pada tahun 2030 tercapai emisi yang diserap lebih tinggi dari emisi yang dilepaskan dari sektor pemanfaatan hutan dan lahan (forestry and land uses).
”Pengendalian karhutla sangat krusial untuk mewujudkan FoLU Net Sink 2030. KLHK harus mengambil tindakan korektif, mempertimbangkan, dan merekalkulasi area yang terbakar meski terdapat faktor cuaca ekstrem yang dapat memengaruhi karhutla,” ujarnya.
Menurut Lailan, upaya pengendalian karhutla juga harus mulai difokuskan pada wilayah di Indonesia timur. Sebab, karhutla yang kerap terjadi di Indonesia barat, seperti Kalimantan dan Sumatera, kini cenderung bergeser ke wilayah timur, terutama NTT, NTB, dan Papua.
”Diperlukan perubahan paradigma dalam mengendalikan karhutla untuk dapat memprioritaskan upaya pencegahan. Diperlukan juga pendekatan lewat kebijakan dan praktik pengendalian karhutla ke depan. Di samping itu, perlu dilakukan pendekatan kemitraan multipihak dan mengintegrasikan inovasi serta teknologi,” tuturnya.
Pengelolaan gambut
Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK SPM Budisusanti mengatakan, karhutla bisa disebabkan oleh pengelolaan yang tidak optimal di daerah lahan gambut khususnya terkait manajemen air. Oleh karena itu, target FoLU Net Sink 2030 juga perlu ada upaya pengelolaan lahan gambut agar tidak menyebabkan karhutla dan melepaskan emisi karbon.
Budisusanti menjelaskan, dari sejumlah regulasi dan ketentuan yang telah dibuat, pengendalian karhuta dengan mengelola lahan gambut dilakukan dengan tiga konsep. Konsep tersebut yakni konservasi sumber daya air atau pengelolaan hidrologis dengan sekat kanal, merehabilitasi vegetasi tanaman, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Sampai saat ini, ekosistem lahan gambut yang telah direstorasi mencapai 3,6 juta hektar. Dari jumlah tersebut, seluas 2,6 juta hektar lahan gambut berada di hutan tanaman industri dan 1,3 juta hektar di perkebunan kelapa sawit serta 45.950 hektar di area masyarakat.
”Dari hasil kalkulasi, total pengurangan emisi melalui pengelolaan tinggi muka air gambut mencapai 266 juta ton setara karbondi oksida. Ini merupakan capaian yang sudah cukup baik. Namun, kami masih berupaya untuk mendapatkan persetujuan dalam melakukan metode kalkulasi penurunan emisi dari pengelolaan tinggi muka air gambut,” katanya.