Capaian imunisasi campak rubela pada pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional di luar Pulau Jawa-Bali baru 43 persen, Percepatan perlu dilakukan dengan diiringi komunikasi dan edukasi yang lebih masif.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cakupan imunisasi campak-rubela di luar Pulau Jawa-Bali pada pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional masih rendah. Informasi yang minim serta layanan yang tidak optimal menjadi kendala yang dihadapi. Karena itu, komunikasi dan edukasi perlu lebih masif dilakukan.
Kementerian Kesehatan mencatat 1,7 juta anak di Indonesia belum mendapatkan imunisasi dasar lengkap selama pandemi Covid-19. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mencanangkan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) bagi seluruh anak Indonesia.
Pada tahap pertama, pelaksanaan BIAN dimulai sejak 18 Mei 2022 di seluruh provinsi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pelaksanaan BIAN di luar Pulau Jawa-Bali ini awalnya diselenggarakan selama satu bulan sampai 18 Juni 2022. Namun, karena cakupan yang rendah, pelaksanaannya diperpanjang hingga akhir Juli 2022. Per 11 Juli 2022 cakupan imunisasi pada tahap pertama, khususnya untuk imunisasi campak-rubela, baru 43,5 persen.
Imunisasi juga dapat memberi kesempatan bayi dan anak untuk tumbuh kembang secara optimal tanpa gangguan episode penyakit fatal. (Piprim Basarah Yanuarso)
”Angka ini memang masih jauh dari target yang kita harapkan, yakni minimal 95 persen. Beberapa kendala yang didapat dari lapangan, salah satunya karena belum optimalnya promosi dan intensifikasi layanan yang belum menjangkau semua sasaran,” kata Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine, Selasa (12/7/2022), di Jakarta.
Ia mengatakan, total sasaran imunisasi tambahan campak-rubela pada pelaksanaan BIAN tahap pertama sekitar 27 juta anak. Namun, saat ini, capaian imunisasi tersebut baru menyasar 11,7 juta anak.
Dari seluruh provinsi di luar Jawa-Bali, capaian terendah ditemukan di Provinsi Aceh (9,2 persen), Papua (14,0 persen), dan Sumatera Barat (28,7 persen). Sementara cakupan tertinggi berada di Provinsi Lampung (68,5 persen), Sulawesi Selatan (60,3 persen), dan Kalimantan Timur (57,1 persen).
Prima menuturkan, cakupan imunisasi yang masih rendah di sebagian daerah disebabkan ketidaktahuan orangtua mengenai pelaksanaan BIAN. Selain itu, tidak sedikit orangtua yang kurang mengerti manfaat imunisasi. Hal ini membuat mereka ragu untuk membawa anaknya diimunisasi. Sementara khusus untuk wilayah Papua, masalah geografis masih menjadi kendala utama yang dihadapi.
Oleh sebab itu, kata Prima, peran seluruh pihak, termasuk organisasi masyarakat amat diperlukan untuk membantu meningkatkan edukasi dan promosi mengenai pentingnya imunisasi anak dalam pelaksanaan BIAN. Diharapkan intensifikasi layanan komunikasi di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan juga lebih maksimal.
”Imunisasi merupakan upaya kesehatan yang aman, efektif, dan berdampak besar untuk melindungi masyarakat dari berbagai penyakit menular berbahaya yang dapat dicegah dengan imunisasi atau PD3I. Cakupan yang menurun selama pandemi telah berdampak pada munculnya kejadian luar biasa PD3I,” tutur Prima.
Kekebalan
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menyampaikan, imunisasi pada anak tidak hanya diperlukan untuk melindungi dirinya sendiri, tetapi juga lingkungannya. Sebagian anak tidak dapat menerima imunisasi karena kondisi tertentu, seperti pada anak dengan kanker darah.
Dengan cakupan imunisasi yang tinggi yang mencapai minimal 80 persen, itu bisa membentuk kekebalan komunitas (herd immunity). Anak yang tidak mendapatkan imunisasi pun diharapkan bisa tetap terlindungi.
”Imunisasi juga dapat memberi kesempatan bayi dan anak untuk tumbuh kembang secara optimal tanpa gangguan episode penyakit fatal. Orangtua sebaiknya tidak ragu untuk segera membawa anaknya untuk mendapatkan imunisasi lengkap,” kata Piprim.
Ia menambahkan, kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) bisa ditemukan pada anak yang mendapatkan imunisasi. Namun, kejadian yang dialami perlu diinvestigasi dan diteliti lebih lanjut terkait sebab-akibat dari vaksin karena sebagian besar KIPI tidak terkait dengan vaksin yang diberikan.
”Jika mengalami KIPI sebaiknya segera lapor ke Komnas KIPI (Komisi Nasional KIPI) atau Komda KIPI (Komisi Daerah KIPI) agar bisa segera ditindaklanjuti. Lakukan pula pemeriksaan ke fasilitas kesehatan terdekat,” ucap Piprim.
Edukasi
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid, mengatakan, edukasi pada masyarakat sebaiknya disampaikan secara terbuka, termasuk terkait bahan yang digunakan dalam vaksin. Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan pengadaan vaksin yang halal. Namun, jika belum ada, masyarakat dimungkinkan untuk tetap menerimanya.
”Vaksin yang belum halal dimungkinkan untuk diberikan dalam kondisi kedaruratan sampai ada vaksin yang halal. Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga marwah kemanusiaan dan menjaga keberlangsungan entitas manusia,” katanya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyampaikan, imunisasi menjadi salah satu hak anak untuk menunjang kesehatannya. Untuk itu, pemberian imunisasi pada anak perlu didukung oleh semua pihak. Edukasi mengenai pentingnya imunisasi perlu lebih masif disampaikan melalui berbagai media.
Upaya percepatan pelaksanaan layanan kesehatan dasar terkait imunisasi dasar lengkap pun perlu dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi yang menurun selama pandemi Covid-19. Percepatan ini bisa dilakukan melalui program imunisasi yang dilakukan serentak dengan jangka waktu tertentu sehingga anak yang belum lengkap imunisasinya bisa segera melengkapinya.