Sebanyak 66,5 persen orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 di Indonesia mengalami sindrom ”longcovid” dengan gejala paling utama kelelahan, batuk, dan nyeri otot. Angka ini termasuk tinggi daripada studi di negara lain.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Pasien Covid-19 terbaring di selasar Instalasi Gawat Darurat RSUD Cengkareng, Jakarta Barat, bersama pasien Covid-19 lainnya, Selasa (22/6/2021). Grafik lonjakan pasien Covid-19 mulai terjadi pascalibur Lebaran hingga saat ini.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 66,5 persen orang yang pernah terinfeksi SARS-CoV-2 di Indonesia mengalami sindrom longcovid dengan gejala paling utama kelelahan, batuk, dan nyeri otot. Buruknya profil kesehatan masyarakat yang ditandai dengan tingginya penyakit terkait gaya hidup menjadi faktor risiko Covid-19 berkepanjangan ini.
Tingginya sindrom Covid-19 berkepanjangan ini dilaporkan dalam penelitian terbaru tim dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) di jurnal GERM edisi Juli 2022. Ketua PDPI yang juga dokter paru di Rumah Sakit Persahabatan, Agus Dwi Susanto, menjadi penulis pertama kajian ini.
Penelitian pada Januari 2021 ini dilakukan menggunakan kuesioner secara daring. Responden penelitian merupakan masyarakat dewasa yang telah sembuh dari Covid-19 dan dinyatakan negatif berdasarkan RT-PCR pada usap hidung atau telah menjalani masa isolasi selama minimal 14 hari.
Hasilnya, dari total 385 responden yang diteliti, 256 orang atau 66,5 persen mengalami sindrom Covid-19 persisten. Gejala yang paling umum adalah kelelahan (29,4 persen), batuk (15,5 persen), dan nyeri otot (11,2 persen). Sementara dari lima aspek kualitas hidup, aspek yang paling sering dilaporkan adalah nyeri/tidak nyaman dan kecemasan/depresi.
”Risiko sindrom Covid-19 persisten secara signifikan lebih tinggi pada subyek dengan usia yang lebih tua, penyakit penyerta, keparahan klinis yang lebih tinggi, perawatan sebelumnya di rumah sakit, adanya pneumonia, dan mereka yang membutuhkan terapi oksigen. Pada analisis multivariat, faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian sindrom Covid-19 persisten adalah pneumonia,”tulis Agus dan tim.
Saat dihubungi, Selasa (12/7/2022), Irandi Putra Pratomo, anggota PDPI yang turut dalam penelitian ini, mengatakan, sindrom Covid-19 persisten di Indonesia cukup tinggi dibandingkan negara lain. Sebagai perbandingan, penelitian di Inggris menunjukkan bahwa 22 persen hingga 38 persen orang yang pernah terinfeksi Covid-19 akan memiliki setidaknya satu gejala longcovid dan 12 persen hingga 17 persen akan memiliki tiga gejala atau lebih (Whitaker M dkk dalam Nature Communication, 2022).
”Sebagai negara berkembang, profil kesehatan kita belum baik. Banyak penyakit terkait gaya hidup, seperti kolesterol, obesitas, diabetes, asma, penyakit jantung, dan PPOK, yang menjadi faktor risiko Covid-19 dan sindrom Covid-19 persisten,” katanya.
Irandi mengatakan, usia pasien juga menjadi faktor risiko sindrom Covid-19 persisten ini. ”Mereka yang berusia 40 tahun ke atas lebih rentan walaupun secara statistik, tidak sekuat komorbiditas atau temuan pneumonia. Sementara jenis kelamin tidak berpengaruh, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berisiko,” katanya.
AGUS SUSANTO
Pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 tanpa gejala berolahraga saat menjalani isolasi mandiri di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (2/1/2021). Sebanyak 44 pasien Covid-19 dengan status orang tanpa gejala (OTG) yang terdiri dari 25 laki-laki dan 19 perempuan menempati ruangan isolasi yang berada di sisi timur stadion. Pemkot Bekasi menjadikan ruangan tersebut sebagai rumah sakit darurat (RSD) tempat isolasi mandiri pasien Covid-19.
Menurut Irandi, menurut penelitian, gejala Covid-19 berkepanjangan ini umumnya terjadi selama 2-4 bulan. Namun, ada pasien yang mengalaminya hingga sembilan bulan. ”Di luar kajian ini, ada beberapa pasien yang mengalami longcovid hingga setahun lebih,” kata Irandi yang juga dokter paru di Rumah Sakit Universitas Indonesia.
Selain tiga gejala utama longcovid, seperti kelelahan, batuk, dan nyeri otot, menurut Irandi, banyak yang juga yang mengalami sesak napas dan sakit kepala. Selain itu, ada juga yang mengalami brain fog yang menyebabkan pasien sulit berkonsentrasi.
”Brain fog ini merupakan patofisiologi atau gangguan fungsi-fungsi mekanis karena Covid-19 bisa menyebabkan radang di sistem saraf, makanya ada fenonena anosmia atau tidak bisa cium bau dan mengecap makanan. Itu bukan fenomena lokal, melainkan sistem saraf yang terganggu. Bahkan, ada juga yang mengalami gangguan tidur,” katanya.
AHMAD ARIF
Gejala klinis pada Covid-19 akut dan berkepanjangan dari responden penelitian. Sumber: Agus Dwi Susanto, dkk. Jurnal GERM, 2022.
Penanganan dan pencegahan
Menurut Irandi, dari studi ini, banyak pasien yang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19 masih membutuhkan rehabilitasi medik, baik fisioterapi, konseling, maupun pengobatan. ”Mereka perlu difasilitasi di sistem jaminan kesehatan dan sepertinya sudah mulai berjalan. Jadi, kalau ada yang mengalami gejala longcovid jangan ragu ke dokter biar dapat penanganan sesuai,” katanya.
Sampai sekarang belum diketahui berapa lama pasien bisa pulih. Ada yang lama, ada juga yang cepat. Terkadang total sembuh, kadang sebagian. ”Memang perlu penelitian lanjutan,” katanya.
Selain penanganan pasien longcovid, menurut Irandi, hal yang sangat penting adalah mengupayakan agar tidak tertular Covid-19 dan menanganinya sejak dini. ”Pola hidup bersih dan sehat harus tetap dijalankan, termasuk protokol kesehatan. Vaksin sesuai indikasi dan petunjuk dan masyarakat lebih peduli dan memeriksakan kalau ada keluhan,” katanya.
Sebagai negara berkembang, profil kesehatan kita belum baik. Banyak penyakit terkait gaya hidup, seperti kolesterol, obesitas, diabetes, asma, penyakit jantung, dan PPOK, yang menjadi faktor risiko Covid-19 dan sindrom Covid-19 persisten.
Irandi mengatakan, riset yang dilakukan timnya belum memperhitungkan faktor vaksinasi untuk menurunkan sindrom longcovid. Hal ini disebabkan kajian dilakukan sebelum program vaksinasi di Indonesia berjalan. ”Perlu riset lanjutan terkait longcovid di Indonesia. Namun, kita bisa juga melihat data dari penelitian lain di luar negeri,” katanya.
Misalnya, studi observasional terhadap petugas kesehatan Italia yang terinfeksi SARS-CoV-2 yang tidak memerlukan rawat inap menunjukkan hubungan antara dua atau tiga dosis vaksin dan prevalensi longcovid yang lebih rendah.
Dalam studi pemodelan yang ditulis Elena Azzolini dari IRCCS Humanitas Research Hospital, Milan, dan diterbitkan di JAMA pada awal Juli 2022, para peneliti mempelajari 2.560 pekerja di sembilan fasilitas kesehatan dari Maret 2020 hingga April 2022. Semua petugas kesehatan telah menerima tiga dosis vaksin mRNA pada tahun 2021.
Dari 2.560 pekerja tersebut, 739 (29 persen) dinyatakan positif Covid-19, 89 di antaranya tidak menunjukkan gejala. Prevalensi longcovid berubah selama pandemi, dari 48,1 persen pada gelombang pertama (Februari-September 2020), menjadi 35,9 persen pada gelombang kedua (Oktober 2020-Juli 2021) di tengah varian Alfa, dan 16,5 persen pada gelombang ketiga (Agustus 2021-Maret 2022) dengan Delta dan Omicron.
Jumlah dosis vaksin dikaitkan dengan prevalensi Covid-19 berkepanjangan yang lebih rendah, pada 41,8 persen dari kelompok peserta yang tidak divaksinasi, 30 persen setelah vaksinasi satu dosis, 17,4 persen setelah dua dosis, dan 16 persen setelah dosis ketiga. Faktor risiko Covid-19 berkepanjangan ini termasuk usia yang lebih tua, indeks massa tubuh yang tinggi, alergi, dan penyakit paru obstruktif.