Kekerasan Seksual di Internet Meningkat, 72 Persen Pelaku adalah Mantan Pacar
Remaja putri menjadi korban utama kekerasan seksual di dunia siber di mana mayoritas pelakunya adalah orang dekat.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Pataka bertuliskan stop pelecehan seksual dan kekerasan seksual ditampilkan di peron Stasiun Cirebon, Jawa Barat, Rabu (29/6/2022). Petugas PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 3 Cirebon bersama anggota Pramuka menggelar kampanye stop pelecehan seksual dan kekerasan seksual.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual di dunia siber dilaporkan mengalami peningkatan. Remaja putri menjadi target utama dari kejahatan penyebaran konten intim nonkonsensual. Pelaku utama pelaku kekerasan berbasis jender di dunia siber ini sebagian besar adalah mantan pacar dan pacar. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menghadapi hal ini walau tentunya pencegahan tetap yang paling utama.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Andy Yentriyani dalam diskusi ”Eskalasi Pelanggaran HAM Dampak dari Digitalisasi Demokrasi?” yang diadakan INFID, Senin (11/7/2022), mengungkapkan, jumlah kasus kekerasan berbasis jender di dunia siber terus meningkat. Hal ini terlihat dari angka pengaduan ke Komnas Perempuan tahun 2017-2021. Berturut-turut ada 16 pengaduan (2017), 97 pengaduan (2018), 281 pengaduan (2019), 940 pengaduan (2020), dan 1.721 pengaduan (2021). ”Semuanya perempuan karena kan memang sesuai tugas Komnas Perempuan,” tuturnya.
Untuk data di tahun 2021, pelaku kekerasan berbasis jender di dunia siber dibedakan atas ranah personel dan ranah publik. Dalam kasus ranah personel, 72 persen dilakukan mantan pacar dan 25 persen dilakukan pacar. Sementara, di ranah publik 45 persen dilakukan teman di media sosial. ”Pelapor paling banyak di usia 10-15 tahun dan sedikit di bawah 40 tahun,” kata Andy.
EDNA CAROLINE PATTISINA
Menurut data Komnas Perempuan, pelaku kekerasan seksual di ranah pribadi terbanyak adalah mantan pacar, Senin (11/7/2022).
Damar Juniarto dari SAFEnet mengatakan, selama tahun 2021, ada 559 perempuan dari total 677 pelapor kekerasan berbasis jender yang dilakukan secara online (KBGO). Para pelapor ini 47 persennya berusia 18-24 tahun. Namun, 8 persennya pada usia 12-17 tahun. ”Ini setali tiga uang dengan temuan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2021 yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa kebanyakan korban KBGO di usia 15-19 tahun,” kata Damar.
Ada banyak modus KBGO. Namun, yang paling mencolok terjadi di Indonesia adalah penyebaran konten intim nonkonsensual. Foto atau video dari korban yang bersifat intim disebarkan pelaku. Menurut Damar, jumlahnya cukup mencolok selama 2021, yaitu 508 kasus dari total 677 kasus atau sekitar 75 persen. Motifnya terkait dengan relasi dan sekstors atau pemerasan.
Pelaku kekerasan berbasis jender di dunia siber dibedakan atas ranah personel dan ranah publik. Dalam kasus ranah personel, 72 persen dilakukan mantan pacar dan 25 persen dilakukan pacar. Sementara, di ranah publik 45 persen dilakukan teman di media sosial.
Damar menggarisbawahi, jika kasus KBGO ini tidak segera diatasi, kekerasan seksual di ranah siber ini akan menjadi normal baru. Perlu dilakukan langkah-langkah membuat ruang yang aman, tidak sebatas respons yang cepat saja.
Sementara itu, Wahyudi Djafar dari Elsam memaparkan, tingkat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 77 persen. Namun, evolusi sosial yang di antaranya disebabkan literasi digital masih kurang. ”Visi yang ingin kita capai bersama, penghormatan terhadap perempuan di ranah online,” kata Damar.
EDNA CAROLINE PATTISINA
SAFEnet merekomendasikan beberapa langkah kalau ada konten intim nonkonsensual yang disebar di dunia siber, Senin (11/7/2022). Selengkapnya bisa diunduh di https://awaskbgo.id/publikasi/.
Andy juga menyoroti literasi digital yang masih rendah dan disparitas digital yang lebar di Indonesia. Padahal, literasi digital adalah basis pertahanan warga dari eksploitasi dan otoritarianisme secara lebih baik. Ia menilai, ada beberapa kontribusi penting dari UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, implementasi UU ini membutuhkan reformasi lebih lanjut pada sistem peradilan di Indonesia.