Kekerasan di Masa Kecil Picu Masalah Kesehatan di Masa Tua
Anak-anak yang pernah mengalami pengalaman traumatis dari kekerasan fisik secara signifikan lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit fisik kronis dan gangguan depresi di kemudian hari.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak yang pernah mengalami pengalaman traumatis dari kekerasan fisik secara signifikan lebih mungkin untuk mengembangkan rasa sakit kronis dan penyakit fisik kronis di kemudian hari. Mereka juga dua kali lebih mungkin mengembangkan gangguan depresi dan kecemasan dibandingkan dengan yang tidak pernah mengalami trauma dini.
Studi dari yang ditulis Anna Buhrmann dan Fuller-Thomson dari University of Toronto ini dilaporkan di jurnal Aging and Health Research pada Kamis (7/7/2022). Data untuk penelitian ini diambil dari sampel representatif orang dewasa berusia 60 tahun ke atas di British Columbia, Kanada.
Kajian dilakukan dengan membandingkan 409 orang dewasa lebih tua yang melaporkan riwayat kekerasan fisik masa kanak-kanak dengan 4.659 rekan-rekan mereka yang tidak pernah mengalami kekerasan fisik selama masa muda. Data diambil dari Survei Kesehatan Masyarakat Kanada.
Pentingnya menilai pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan di antara pasien dari segala usia, termasuk orang dewasa yang lebih tua. (Anna Buhrmann)
Responden didominasi perempuan (52,9 persen), kulit putih (82 persen), berusia 60-69 (56,8 persen), lahir di Kanada (63 persen), dengan gelar pasca-sekolah menengah (59,2 persen), dengan pendapatan di bawah 60.000 dollar AS per tahun (61,7 persen), menikah atau tinggal serumah (67,7 persen), mantan perokok (55,8 persen), dengan Indeks Massa Tubuh (BMI) di bawah 30 (81,3 persen), bukan peminum (83,2 persen), dan tidak aktif selama waktu senggang mereka (42,3 persen).
Lebih dari tiga dari empat (76,4 persen) tidak mengalami satu pun dari tiga kekerasan masa kanak-kanak yang tidak bersifat fisik. Prevalensi gangguan kecemasan (4,1 persen), gangguan suasana hati atau mood (7,5 persen), penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (6,2 persen), sakit kepala migrain (6,7 persen), penyakit jantung (12,9 persen), dan diabetes (13, persen) secara substansial lebih rendah daripada prevalensi kanker (18,3%), nyeri kronis yang melemahkan (23,4 persen) dan artritis (36,1 persen).
”Temuan kami menunjukkan bahwa pengalaman traumatis dari kekerasan fisik masa kanak-kanak dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental beberapa dekade kemudian. Ini juga menggarisbawahi pentingnya menilai pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan di antara pasien dari segala usia, termasuk orang dewasa yang lebih tua,” kata Anna Buhrmann, yang memulai penelitian ini untuk tesisnyadi program Bachelor of Arts and Science di McMaster University, Ontario.
Penyakit fisik yang berkembang, antara lain diabetes, kanker, migrain, artritis, penyakit jantung, diabetes, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Hubungan antara kekerasan masa kanak-kanak dan kesehatan fisik dan mental yang buruk tetap ada bahkan setelah memperhitungkan faktor pendapatan, pendidikan, merokok, pesta minuman keras, dan penyebab lain dari kesehatan yang buruk.
”Profesional kesehatan yang melayani warga lansia perlu menyadari bahwa tidak ada kata terlambat untuk merujuk orang untuk konseling. Intervensi yang menjanjikan, terapi perilaku kognitif, telah diuji dan terbukti efektif dalam mengurangi gangguan stres pascatrauma dan depresi serta kecemasan di antara penyintas pelecehan masa kanak-kanak,” kata Esme Fuller-Thomson, Direktur Institute of Life Course & Aging, Universitas Toronto.
Studi saat ini menunjukkan bahwa kekerasan fisik pada masa kanak-kanak memengaruhi beberapa perubahan fisiologis, termasuk disregulasi sistem yang mengatur respons tubuh terhadap stres. Penelitian prospektif di masa depan yang menyelidiki gangguan pada sistem ini yang sudah terkait dengan beberapa penyakit fisik dan mental, seperti tingkat kortisol yang tidak normal, dapat membantu menjelaskan pengalaman korban pelecehan masa kanak-kanak.
Temuan ini memperkuat kajian sebelumnya yang dilaporkan di jurnal PLOS ONE pada 29 Juni 2022. Kajian dari para peneliti dari Universitas Hertfordshire, Inggris, ini menemukan bahwa mereka yang pernah mengalami kekerasan emosional di awal kehidupan 3,5 kali lebih mungkin untuk memiliki pengalaman skizofrenia di masa dewasa. Para peneliti juga mengatakan bahwa semakin signifikan kekerasannya, semakin parah pengalaman seperti skizofrenia yang dialami orang dewasa.
Serangkaian penelitian ini menunjukkan, masa pertumbuhan saat kanak-kanak merupakan kunci dalam menjalani hidup saat dewasa, baik bagi kesehatan tubuh maupun jiwa. Hal ini mendorong pentingnya melindungi anak-anak dari kekerasan emosional karena hal itu bisa berdampak permanen bagi kehidupan mereka kelak.