Perubahan Iklim Meningkatkan Risiko Jemaah Haji dari Paparan Panas
Pemanasan global bakal menyebabkan jemaah haji di Mekah lebih berisiko karena berpotensi terpapar panas tinggi. Suhu bola basah rata-rata di Mekah naik hampir 2 derajat celcius antara tahun 1984–2013.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanasan global bakal menyebabkan jamaah haji lebih berisiko karena berpotensi terpapar panas tinggi, sehingga diharapkan ada langkah bersama untuk menurunkan emisi. Suhu bola basah rata-rata di Mekkah, Arab Saudi, telah naik hampir dua derajat celsius pada tahun 1984–2013 akibat perubahan iklim dan diperkirakan akan terus meningkat dengan tren penambahan emisi seperti saat ini.
Laporan yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Islam Universitas Nasional (PPI UNAS) berjudul ”Dampak Kebijakan Iklim bagi Ibadah Haji” pada Kamis (7/7/2022) menyebutkan, ancaman meningkatnya suhu global dan cuaca ekstrem akan sangat berbahaya bagi jemaah di Tanah Suci.
Laporan itu juga mengungkapkan, penurunan emisi global yang lebih cepat sangat penting untuk mengurangi risiko umat Muslim dalam melaksanakan ibadah haji. ”Laporan ini memberikan gambaran penting bagi umat Islam untuk peduli dan bertindak terhadap perubahan iklim. Panas ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim akan membuat ibadah Haji, salah satu dari lima rukun Islam, lebih sulit dan lebih berbahaya bagi komunitas Islam,” kata Fachruddin M. Mangunjaya, Ketua PPI UNAS.
Ketika tingkat kelembabannya tinggi, keringat akan menguap lebih lambat sehingga orang-orang lebih mudah mengalami kondisi kepanasan yang merusak kesehatan dan bahkan mematikan.
Berdasarkan data saat ini, suhu rata-rata global telah meningkat 1,2 derajat celsius lebih tinggi dari praindustri (1800-1850). Kenaikan suhu terutama dipicu oleh emisi dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.
Laporan ini menyebutkan, suhu bola basah rata-rata di Mekkah telah naik hampir 2 derajat celsius pada tahun 1984–2013 akibat perubahan iklim. Selama periode tersebut, suhu bola basah yang mencapai 24,6 derajat celsius atau lebih, yang diklasifikasikan ”berbahaya” oleh Layanan Cuaca Nasional Amerika Serikat, tercatat terjadi sebanyak 58 persen.
Suhu bola basah atau wet-bulb mengukur suhu sekaligus kelembaban sehingga mencerminkan secara lebih akurat bagaimana panas dapat memengaruhi manusia daripada mengukur suhu saja. Suhu tinggi, apabila dikombinasikan dengan kelembaban, bisa sangat berbahaya karena laju evaporasi (penguapan) keringat terhambat oleh udara yang jenuh dengan uap air.
Pada kondisi demikian, manusia rentan terkena sengatan panas karena tubuh kita jadi kesulitan berkeringat. Orang tua merupakan kelompok paling rentan terhadap serangan panas. Namun, ketika panas dan kelembaban cukup tinggi, orang muda yang sehat pun berisiko sakit atau mati akibat panas.
Suhu bola basah dalam kisaran 26-31 derajat celsius dikategorikan sangat berbahaya bahkan untuk orang-orang yang masih muda dan sehat (Vecellio, dkk 2022). Walaupun ambang batas ”bahaya ekstrem” 29,1 derajat celsius belum pernah terekam di Mekkah dalam jangka waktu 1984-2013, beberapa peristiwa kematian massal akibat berdesak-desakan selama ibadah haji diduga terkait dengan suhu bola basah yang tinggi.
Pada 1990, misalnya, sebanyak 1.426 jemaah haji meninggal dalam kondisi berdesakan ketika suhu bola kering mencapai 41,7 derajat celsius dan suhu bola basah mencapai 25,1 derajat celsius. Hal serupa terjadi pada 2015 saat lebih dari 2.000 jemaah haji meninggal ketika suhu bola kering mencapai 48,3 derajat celsius dan dan suhu bola basah mencapai 27,3 derajat celsius. Sebagai catatan, suhu bola kering hanya mengukur suhu, tanpa memperhitungkan kelembaban.
Risiko jemaah haji terhadap paparan panas dinilai tinggi karena selama melaksanakan ibadah mereka menghabiskan 20-30 jam di luar ruangan dan sering kali sambil berjalan dalam rombongan besar. Selama bulan-bulan musim panas Arab Saudi yang terik, selalu ada jemaah haji yang terkena sengatan panas (heat stroke), dan perubahan iklim akan membuat panasnya jauh lebih berbahaya.
Udara lembab dari Laut Merah sering kali bertiup ke darat hingga Mekah sehingga meningkatkan kelembaban di kota yang sudah panas itu. Ketika tingkat kelembabannya tinggi, keringat akan menguap lebih lambat sehingga orang-orang lebih mudah mengalami kondisi kepanasan yang merusak kesehatan dan bahkan mematikan.
Mitigasi perubahan iklim
Senior Ambassador at GreenFaith and co-founder of The Global Muslim Climate Network Nana Firman mengatakan, laporan ini merupakan sebuah pengingat penting bahwa kita sudah berada dalam tahap bahaya yang dapat mengakhiri kehidupan kita di planet bumi. ”Kondisi ini berarti kita telah merusak ciptaan Allah dan gagal memenuhi peran kita sebagai khalifah (pengayom) di muka bumi. Oleh karena itu, sebagai umat Muslim kita harus berani mendesak semua negara, khususnya yang memiliki tanggung jawab dan kapasitas terbesar, untuk meningkatkan upaya mereka dalam mengurangi emisi dan menetapkan strategi yang ambisius dalam mengatasi perubahan iklim,” tuturnya.
Menurut dia, kebijakan iklim saat ini membawa dunia menuju pemanasan globalhingga 2,7 derajat celsius sebelum anak-anak yang lahir hari ini berusia 80 tahun. Pada tingkat pemanasan globalsaat ini, ibadah haji di musim panas akan menjadi sangat berbahaya. Sebanyak 97 persen musim panas di Mekkah bakal mencapai ambang level ”berbahaya” dan sekitar satu dari lima musim panas tersebut akan mencapai ambang level ”bahaya ekstrem”, tingkat yang belum pernah dialami kota ini.
Nana mengatakan, peluang untuk mencapai ambang batas panas dan kelembaban yang berbahaya ini akan sangat berkurang jika pemanasan global dipertahankan sesuai target Perjanjian Paris sebesar 1,5 derajat celsius. Bahkan, pada tingkat pemanasan ini, peluang terjadinya suhu panas lembab pada jemaah haji melebihi ambang batas bahaya dan bahaya ekstrem masih bisa terjadi, walaupun persentasenya lebih rendah.
Laporan ini juga mengingatkan, lima negara yang paling bertanggung jawab atas perubahan iklim hingga saat ini adalah Amerika Serikat, China, Rusia, dan Brasil, bersama Uni Eropa. Mereka merupakan negara kaya dan penyumbang emisi paling tinggi yang punya tanggung jawab dan potensi paling besar untuk menghilangkan karbon paling cepat.
Akan tetapi, tindakan untuk membatasi emisi dari negara-negara terkaya saja tidak akan cukup. Tindakan global diperlukan untuk membatasi pemanasan, termasuk pengurangan emisi di negara yang belum menjadi salah satu pencemar teratas dalam sejarah, atau saat ini bukan negara berpenghasilan tinggi.
Di antara negara-negara yang perlu mengurangi emisi adalah negara mayoritas Muslim. Laporan ini mengkaji konsekuensi emisi karbon dari negara-negara tersebut karena mereka berkepentingan terkait ibadah haji.
Dari laporan terungkap, kebijakan penurunan emisi di negara mayoritas Muslim termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Turki, Bangladesh, Mesir, dan Indonesia masih belum memadai sehingga akan menyebabkan ibadah haji menjadi terlalu berbahaya bagi para jemaah. Sementara itu, negara mayoritas Muslim seperti Maladewa dan Maroko telah menunjukkan rencana pengurangan karbon yang sesuai target Perjanjian Paris.