Aman Mengonsumsi Daging Kurban di Tengah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku
Daging hewan kurban yang terpapar penyakit mulut dan kuku aman dikonsumsi manusia. Justru perilaku manusia dalam penyembelihan yang tidak memperhatikan kesejahteraan hewan bisa menurunkan kualitas daging hewan kurban.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Idul Adha 1443 Hijriah tahun ini berlangsung di tengah wabah penyakit mulut dan kuku di Indonesia. Meski demikian, konsumsi daging hewan kurban yang terpapar penyakit tersebut dipastikan aman bagi manusia. Munculnya wabah ini lebih berpengaruh pada pemilihan hewan kurban dan potensi penularan ke hewan lain.
Penyakit mulut dan kuku (PMK) yang disebut juga Aphthae epizooticae (AE) atau foot and mouth disease (FMD) merupakan penyakit pada ternak yang sangat mudah menular dan berpengaruh besar pada ekonomi peternak. Penyakit ini disebabkan oleh aphthovirus yang bersifat endemik di sejumlah negara.
”Virus ini hanya menyerang binatang berkuku belah, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi,” kata Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Mustofa Helmi Effendi di Jakarta, Rabu (6/7/2022). Semua binatang tersebut bisa digunakan untuk berkurban, kecuali babi.
PMK lebih sering ditemui pada sapi dan kerbau sehingga kedua hewan itu dianggap sebagai indikator keberadaan PMK. Sementara pada kambing dan domba yang terpapar PMK jarang menunjukkan gejala. Namun jika penyakit ini sudah mengenai babi, itu menjadi tanda virus ini sudah menyebar luas dan berdampak parah.
”Babi berperan besar dalam memperbanyak virus sehingga bisa mengenai jutaan hewan ternak,” ujarnya.
Selain tetap punya potensi terpapar aphthovirus, tetapi kelima hewan tersebut tidak berpotensi terkena PMK. Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) menyebut hewan yang dipelihara intensif justru lebih rentan terhadap PMK dibandingkan yang diternak secara tradisional. Kematian akibat PMK lebih banyak pada hewan muda dibandingkan yang dewasa.
Namun, aphthovirus yang memiliki tujuh galur, yaitu A, O, C, SAT1, SAT2, SAT3, dan Asia1, termasuk virus yang tidak bisa menyerang manusia. Karena itu, OIE menyebut PMK sebagai penyakit yang tidak mudah menular ke masyarakat dan bukan termasuk yang berpotensi menimbulkan risiko kesehatan masyarakat.
”PMK bukan termasuk penyakit zoonosis yang bisa menular dari hewan ke manusia,” kata Direktur Halal Research Centre, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Nanung Danar Dono.
Aphthovirus, lanjut Mustofa, juga termasuk virus yang mudah pecah karena hanya hidup pada lingkungan dengan tingkat keasaman netral atau dengan PH antara 7-8. Selain itu, dengan pola konsumsi daging masyarakat Indonesia yang umumnya dimasak atau dipanaskan pada suhu tinggi, virus itu dipastikan akan mati.
”Jadi kalaupun tidak sengaja memakan daging yang terpapar PMK, daging hewan tersebut tetap aman dikonsumsi,” tegasnya. Tak hanya daging, susu sapi perah yang terkena PMK pun aman.
Hewan kurban
Meski aman untuk manusia, wabah PMK dipastikan memengaruhi pemilihan hewan ternak untuk berkurban selama hari raya Idul Adha 10 Zulhijah dan hari tasyrik antara 11-13 Zulhijah.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah PMK menyebut syarat hewan kurban adalah sehat atau tidak sakit, cukup umur, serta tidak cacat, baik buta, pincang, maupun terlalu kurus.
Jadi kalaupun tidak sengaja memakan daging yang terpapar PMK, daging hewan tersebut tetap aman dikonsumsi.
Jika cacat dan sakitnya hewan kurban termasuk ringan, seperti tanduk pecah atau sakit yang tidak mengurangi kualitas daging, hewan tersebut sah digunakan untuk kurban. Namun jika cacat atau sakitnya termasuk berat, seperti membahayakan kesehatan dan mengurangi kualitas daging, berkurban dengan hewan seperti itu dianggap tidak sah.
PMK ditandai dengan munculnya demam hingga 41 derajat celsius. Juga terdapat luka seperti lepuh yang bengkak dan mengandung air pada mulut, lidah, gusi, dan di antara kuku hewan. Nafsu makan hewan hilang hingga tubuhnya lemah dan kurang agresif. Selain itu, hewan juga mengeluarkan banyak air ludah.
“PMK sangat menular dari ternak ke ternak dengan masa inkubasi 2-14 hari,” kata Nanung.
Infografik Penyakit Mulut dan Kuku pada Hewan Ternak
Terkait wabah PMK, fatwa MUI memperinci bahwa hewan ternak yang terkena PMK ringan, seperti lepuh ringan, lesu, tidak nafsu makan, dan keluar liur lebih banyak dari biasanya, masih dianggap sah dijadikan hewan kurban. Namun jika PMK berat, seperti lepuh pada kuku sampai membuat kuku lepas, pincang, dan sangat kurus, tidak sah dijadikan hewan kurban.
”Hewan yang pernah terpapar PMK kategori berat dan sembuh dalam rentang waktu berkurban (10-13 Zulhijah) tetap sah dijadikan sebagai hewan kurban,” kata Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia M Asrorun Ni’am Sholeh dalam webinar Sosialisasi Pelaksanaan Pemotongan Hewan Kurban dalam Situasi Wabah PMK di Jakarta, 10 Juni 2022.
Untuk memilih hewan kurban yang baik, lanjut Nanung, pilih hewan yang berbadan tegap dengan tubuh simetris. Mata hewan berbinar dengan hidung dan mulut sedikit berembun, tidak kering. Jika berjalan, hewan yang sehat terlihat tegap dan gagah. Kalau lunglai dan lemah, bisa jadi hewan tersebut memiliki masalah di kaki.
”Hewan yang sehat juga memiliki selera makan yang baik karena hewan yang terkena PMK dipastikan akan sulit makan karena luka dan lepuh di mulut akan membuat perih,” katanya. Selain sehat, hewan kurban juga harus cukup umur, yaitu minimal 1,5 tahun untuk kambing dan domba serta 2 tahun untuk sapi dan kerbau.
Namun, meski hewan kurban yang disembelih sehat dan memenuhi kaidah agama, perlakuan tidak baik pada hewan kurban selama penyembelihan bisa mengurangi kualitas daging. Karena itu, sikap baik atau ihsan demi kesejahteraan hewan perlu jadi perhatian, baik selama hewan di lokasi penjualan, tempat penampungan sementara, maupun selama penyembelihan.
Sebelum disembelih, hewan perlu diistirahatkan hingga kondisi tubuhnya bagus, terutama hewan yang baru dikirim dari tempat jauh. Sama seperti manusia, kelelahan pada hewan akan memicu timbunan asam laktat di otot hewan, khususnya di tengkuk, paha, punggung, dan betis.
Asam laktat juga bisa muncul saat hewan tertekan, stres, panik, nafsu binatangnya turun, dan daya tahan tubuh berkurang. Karena itu, hewan kurban perlu dijauhkan dari kerumunan dan suasana gaduh, tidak kepanasan atau kehujanan, memiliki ruang gerak cukup, tidak melihat genangan darah, hingga tidak melihat sesama hewan kurban disembelih agar tidak stres.
”Keberadaan asam laktat itu membuat daging hewan terasa asam dan liat (alot),” katanya.
Stres pada hewan kurban juga membuat jantung hewan tidak bisa memompa darah dengan baik. Akibatnya saat disembelih, banyak darah yang tertinggal di daging hewan kurban. Darah merupakan media terbaik untuk berkembangnya bakteri pembusuk dan kuman penyakit. Akibatnya, daging hewan yang stres juga akan cepat membusuk.
Selain itu untuk meningkatkan kualitas daging, hewan yang akan disembelih harus menjalani puasa minimal 12 jam dengan hanya diberi air minum. Puasa hewan yang akan disembelih itu juga akan mengurangi agresivitas hewan saat disembelih sehingga memudahkan penanganan.
”Puasa 12 jam hewan yang akan disembelih bukan penyiksaan karena akan membantu mengurangi isi perut hewan serta menyempurnakan konversi serabut otot dan pembuluh darah menjadi daging atau rigor mortis setelah hewan disembelih sempurna,” kata Nanung.
Jadi, meski wabah PMK sedang melanda, masyarakat tidak perlu khawatir mengonsumsi daging hewan kurban, apalagi jika dimasak dengan pemanasan sempurna. Justru perilaku manusia yang sembrono dalam menyembelih hewan hingga membuat hewan stres apalagi sampai mengamuk, bisa menurunkan kualitas daging.