Perlakukan Hewan Kurban dengan Ihsan
Prinsip utama penyediaan daging kurban adalah halal dan baik atau ”thoyyib”. Karena itulah, ada sejumlah ketentuan penyembelihan hewan sesuai kaidah agama.
Penyembelihan hewan kurban adalah titik kritis selama perayaan Idul Adha. Rangkaian proses ini tak hanya menentukan kehalalan daging hewan kurban yang disembelih, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesakitan, stres, dan kepanikan kesakitan pada hewan yang akan dikurbankan, baik sebelum maupun selama proses penyembelihan.
Prinsip utama penyediaan daging kurban adalah halal dan baik atau
thoyyib. Direktur Halal Research Center Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Nanung Danar Dono, Selasa (28/7/2020), mengatakan, daging hewan kurban tidak serta-merta halal meskipun hewan yang dikurbankan termasuk hewan yang halal dikonsumsi.
Daging hewan halal hanya halal jika ia berasal dari hewan hidup yang disembelih secara syar’i.
”Daging hewan halal hanya halal jika ia berasal dari hewan hidup yang disembelih secara syar’i,” katanya.
Beberapa ketentuan penyembelihan hewan sesuai kaidah agama itu antara lain dibacakan basmallah atau menyebut nama Allah, tidak berbuat aniaya atau zalim dengan hewan kurban, dan tidak memotong bagian tubuh hewan yang disembelih ketika hewan tersebut belum mati sempurna.
Sementara itu, prinsip thoyyib atau baik dalam penyembelihan hewan, menurut dosen Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB University, Denny Widaya Lukman, dalam webinar ”Kurban yang Aman di Masa Pandemi Covid-19”, Kamis (25/6/2020), bisa diperoleh dengan menjaga higienitas sanitasi dalam seluruh proses penanganan hewan dan daging kurban serta berbuat ihsan (baik) kepada binatang atau memerhatikan kesejahteraan hewan.
Sikap baik demi kesejahteraan hewan itu perlu dijadikan perhatian, baik semasa hewan berada di lokasi penjualan hewan, tempat transit atau penampungan sementara, maupun selama proses penyembelihan.
Tempat penjualan atau penampungan hewan kurban harus memiliki peneduh sehingga hewan tidak akan kepanasan atau kehujanan. ”Hewan yang kepanasan akan menjadi stres,” katanya.
Untuk mencegah hewan melarikan diri, tempat penampungan bisa menggunakan pembatas. Namun, pembatas itu tidak boleh memiliki bagian yang bisa melukai hewan, seperti ada bagian kayu atau bambu yang runcing atau paku yang menonjol.
Jika tidak memakai pembatas, hewan bisa diikat dengan tali yang tidak terlalu pendek hingga mencekik mereka. Panjang tali harus memungkinkan hewan untuk berdiri, berbaring, dan menjangkau tempat makanan atau air minum mereka. Tali yang digunakan pun sebaiknya tali tambang, bukan tali plastik karena bisa melukai hewan kurban.
Tempat penampungan juga harus memiliki ventilasi udara yang baik, dasar lantainya tidak licin atau becek, serta tidak terlalu padat penghuninya. Kambing atau domba rata-rata membutuhkan ruang sebesar 1 meter persegi, sedangkan sapi 2 meter persegi.
Tempat untuk menampung hewan kurban kambing dan sapi sebaiknya dipisah untuk menghindari potensi penularan penyakit antarjenis hewan. Selain dipisah berdasarkan jenisnya, pemisahan juga diperlukan bagi hewan-hewan kurban yang memiliki sifat agresif atau hewan yang cedera dan punya penyakit tertentu.
Hewan kurban yang sehat, lanjut Denny, memiliki ciri bergerak aktif, bersemangat atau tidak lesu, mata berbinar, kulit mengilap, penampilan gagah, dan nafsu makan baik. Sementara hewan yang sakit biasanya tampak lemah, lesu, menyendiri, mata sayu, kulit kusam, serta memiliki cacat tertentu. Hewan yang tidak sehat itu sebaiknya tidak dikurbankan.
"Jika hewan ada di lokasi penampungan sebelum disembelih selama lebih dari 12 jam, dia perlu dikasih makan berupa rumput segar," katanya. Makanan yang diberikan sebaiknya bukan rumput atau dedaunan di pinggir jalan yang umumnya sudah terpapar racun dari polusi asap kendaraan bermotor.
Namun, jika hewan ada di lokasi penampungan kurang dari 12 jam sebelum disembelih, dia cukup dikasih air minum sepuasnya dan tidak perlu dikasih makan. Penghentian pemberian makanan itu untuk mengosongkan perut hewan kurban hingga memudahkan selama proses penyembelihan dan tidak terlalu banyak kotoran saat hewan dibersihkan. Selain itu, hewan kurban yang dikirim dengan menghabiskan waktu lebih dari 12 jam dalam perjalanan sebaiknya tidak langsung disembelih, tetapi diistirahatkan dulu selama 12 jam.
Tempat penampungan, lanjut Denny, sebaiknya juga memiliki akses terbatas hingga tidak semua orang bisa menjangkau atau mendekati hewan kurban. Kerumunan orang di tempat penampungan, suara ramai, dan bising lalu lalang kendaraan bisa membuat hewan kurban stres, panik, hingga mengamuk.
”Hewan yang stres akan membuat pengeluaran darahnya saat disembelih menjadi kurang baik hingga bisa sedikit memengaruhi kualitas daging,” katanya.
Stres inilah yang membuat binatang kurban mengamuk. Dalam beberapa kasus yang muncul setiap momentum Idul Adha, hewan mengamuk itu umumnya akan dikejar beramai-ramai. Situasi itu justru akan semakin memunculkan kepanikan bagi hewan. Untuk menenangkan hewan kurban ini, sebaiknya cukup dilakukan beberapa orang saja.
Sama seperti manusia, dikutip dari Kompas, 31 Agustus 2017, saat tertekan, stres, dan panik, nafsu binatang akan turun, mudah lelah, dan daya tahan tubuh berkurang. Kondisi itu akan memunculkan timbunan asam laktat di otot hewan, khususnya di bagian paha, betis, dan tengkuk. Asam laktat itu membuat daging hewan menjadi kecut dan kurang enak.
Selain itu, stres pada hewan juga akan membuat jantung hewan tidak bisa memompa darah dengan baik. Akibatnya, saat disembelih, banyak darah yang tertinggal di daging hewan kurban. Darah itu adalah media terbaik bagi berkembangnya bakteri pembusuk dan kuman yang jumlahnya dapat berlipat ganda setiap 15 menit sekali. Akibatnya, mutu daging turun dan daging lebih cepat busuk.
Penyembelihan
Sikap ihsan terhadap hewan itu juga harus ditunjukkan saat hewan kurban tersebut akan disembelih. Tempat penyembelihan itu harus jauh dari lokasi penampungan hewan. Hewan kurban yang masih hidup, lanjut Denny, tidak boleh melihat hewan lain disembelih, dikuliti, dan dipotong dagingnya atau melihat genangan darah hewan lain. Semua itu bisa memicu cekaman, kepanikan, dan stres pada hewan kurban.
Sebelum disembelih, hewan harus dituntun dari tempat penampungan menuju lokasi pemotongan, bukan diseret. Panitia yang mengambil hewan kurban itu harus berjalan di belakang hewan kurban, bukan di depannya.
Sesampainya di lokasi pemotongan, hewan perlu dibaringkan, bukan dibanting atau ditarik paksa. Selama penyembelihan, posisi kepala hewan jangan terlalu didongakkan karena bisa memengaruhi pembuluh darahnya.
Saat dipotong, pisau harus benar-benar dalam keadaan tajam hingga tidak menyakiti binatang. Pisau yang digunakan untuk menyembelih tidak boleh bergerigi, apalagi menggunakan gergaji. Ketajaman pisau ini, lanjut Denny, bisa dicek dengan digunakan untuk memotong kertas. Jika kertas gampang tersobek, berarti pisau itu tajam. Namun, proses pengasahan pisau itu tidak boleh dilihat oleh hewan yang akan dikurbankan.
Ketajaman pisau, tambah Nanung, juga akan memengaruhi banyak sedikitnya darah yang keluar saat disembelih. Pisau yang tajam juga bisa digunakan secara cepat hingga dalam satu kali ayunan bisa memotong tiga saluran pada binatang sekaligus, yaitu saluran darah (urat nadi), saluran napas (tenggorokan), dan saluran makanan (kerongkongan).
”Bisa jadi hewan kurban itu bukan mati karena disembelih, tetapi karena kesakitan (karena menggunakan pisau yang tidak tajam),” katanya.
Selain tajam, untuk mempermudah proses penyembelihan, pisau yang digunakan juga harus memiliki panjang yang cukup untuk menyembelih hewan, yaitu 1,5 kali panjang leher hewan. Untuk kambing atau domba, panjang pisau yang digunakan minimal 20 sentimeter dan untuk memotong sapi dibutuhkan pisau dengan panjang minimal 30 sentimeter.
Denny menambahkan, dalam kedokteran hewan, binatang disebut mati jika otaknya sudah mati. Kondisi itu ditandai dengan hilangnya refleks kornea mata hewan. Jika manusia mendekatkan tangannya ke mata hewan dan mata hewan masih mengedip, itu berarti hewan belum mati sempurna.
Cara lain untuk memastikan hewan sudah benar-benar mati adalah dengan memeriksa refleks ekor atau kuku hewan. Menurut Nanung, ekor sapi adalah salah satu tempat berkumpulnya ujung-ujung saraf yang sangat sensitif. Jika saat batang ekor sapi itu dipencet tidak ada reaksi dari sapi atau sapi diam saja, maka hewan itu sudah mati.
Untuk pengecekan refleks kuku bisa dilakukan dengan menusuk secara pelan bagian di antara kedua kukunya menggunakan ujung pisau yang runcing. Sapi, kerbau, kambing, dan domba adalah hewan berkuku genap yang di antara kedua kukunya merupakan bagian yang sangat sensitif. Jika saat ditusuk tersebut tidak ada respons, hewan itu sudah mati.
Selama hewan belum mati sempurna, tali pengikat hewan bisa dilonggarkan untuk mempercepat kematiannya. Saat hewan sedang sekarat tersebut, jangan memotong bagian-bagian tubuh hewan atau mengulitinya. Pemisahan bagian tubuh pada hewan yang belum mati sempurna akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa karena hewan masih dalam proses sekarat.
”Tindakan itu (memotong bagian tubuh hewan saat belum mati sempurna) tidak
ihsan sama sekali terhadap binatang,” kata Denny.
Nanung menambahkan, memotong bagian tubuh hewan saat hewan kurban belum mati sempurna membuat daging hewan tersebut bisa menjadi haram. Daging hewan yang diperlakukan seperti ini terlarang untuk dikonsumsi.
Baca juga: Berkorban untuk Bersama
Karena itu, di momentum Idul Adha yang mulia ini, melaksanakan ibadah penyembelihan hewan kurban yang juga mulia, maka penting memperlakukan hewan yang akan dikurbankan dengan ihsan atau baik. Tindakan ini bukan hanya untuk menjaga kesejahteraan hewan, tetapi juga demi menjaga kehalalan dan kebaikan dari kualitas daging hewan kurban yang dikonsumi.