Trauma di Masa Kecil Berpotensi Memicu Skizofrenia Saat Dewasa
Riset menunjukkan, kekerasan emosional yang dialami di masa kanak-kanak, membuat saat dewasa berisiko mengalami kondisi skizofrenia, seperti paranoia, mendengar suara-suara, dan menutup diri secara sosial.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
PANDU WIYOGA
Anak-anak pengungsi erupsi Gunung Merapi mengikuti kegiatan pengenalan protokol kesehatan di Balai Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (11/7/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Masa pertumbuhan saat kanak-kanak merupakan kunci dalam menjalani hidup ketika dewasa, baik bagi kesehatan tubuh maupun jiwa. Sebuah studi baru mengidentifikasi hubungan yang kuat antara kekerasan emosional masa kanak-kanak dan pengalaman seperti skizofrenia saat dewasa, seperti paranoia, mendengar suara-suara, dan menutup diri secara sosial.
Hubungan antara trauma masa kanak-kanak dan skizofrenia, kondisi kesehatan mental yang serius, sudah dikenal luas. Namun, masih sedikit penelitian yang meneliti dampak trauma masa kanak-kanak pada prevalensi pengalaman seperti skizofrenia yang kurang parah pada orang dewasa yang sehat.
Dalam kajian ini, para peneliti dari Universitas Hertfordshire, Inggris, menemukan bahwa mereka yang pernah mengalami kekerasan emosional di awal kehidupan 3,5 kali lebih mungkin untuk memiliki pengalaman seperti skizofrenia di masa dewasa. Para peneliti juga mengatakan bahwa semakin signifikan kekerasannya, semakin parah pengalaman seperti skizofrenia yang dialami orang dewasa.
Penelitian, yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE edisi 29 Juni 2022 ini mengeksplorasi hubungan antara trauma masa kanak-kanak dan pengalaman seperti skizofrenia pada lebih dari 15.000 orang sehat. Studi ini merupakan meta-analisis terhadap 25 kasus terkait.
Peneliti Universitas Hertfordshire, Diamantis Toutountzidis, memimpin penelitian ini dengan pengawasan dari Keith Laws, profesor neuropsikologi di universitas yang sama.
Para peneliti di University of Hertfordshire menganalisis temuan penelitian sebelumnya untuk melihat apakah jenis kekerasan tertentu, seperti kekerasan emosional, seksual dan fisik, serta pengabaian emosional dan fisik, meningkatkan kemungkinan memiliki pengalaman seperti skizofrenia di kemudian hari.
Mereka menemukan hubungan yang jauh lebih kuat antara kekerasan emosional masa kanak-kanak dan pengalaman seperti skizofrenia di masa dewasa daripada jenis tekanan masa kanak-kanak lainnya.
Dalam studi psikologi, kekerasan emosional didefinisikan sebagai cara untuk mengendalikan orang lain dengan menggunakan emosi untuk mengkritik, mempermalukan, menyalahkan, atau memanipulasi orang lain. Secara umum, suatu hubungan dikatakan mengalami kekerasan secara emosional ketika ada pola yang konsisten dari kata-kata kasar dan perilaku intimidasi yang melemahkan harga diri seseorang dan merusak kesehatan mental mereka.
Yuliansyah Yanim, Penjaga di Istana KSJ Cianjur terlihat menenangkan salah satu penderita skizofrenia, M Abdul Fahri yang sebelumnya meronta-ronta pada Rabu (2/10/2019).
Spektrum skizofrenia
Para peneliti percaya temuan mereka dapat menunjukkan bahwa skizofrenia adalah suatu kondisi pada spektrum, seperti autisme, di mana orang sehat dapat memiliki episode seperti skizofrenia tanpa memenuhi ambang batas yang dapat didiagnosis.
Toutountzidis mengatakan, kekerasan emosional berbeda dari jenis kekerasan lainnya. Ini lebih umum, sering terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama, dan tidak diperlakukan secara hukum dengan cara yang sama seperti kekerasan fisik atau seksual.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam perawatan di panti rehabilitasi disabilitas mental Yayasan Jamrud Biru, Jalan Mustikasari Gang Asem Sari II RT 003 RW 004 Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (21/11/2019). Tekanan hidup yang tinggi pada masyarakat urban terkadang memicu stres dan mengganggu kesehatan jiwa. Stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa menghambat akses pada layanan kesehatan jiwa.
”Penelitian kami telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara kekerasan emosional masa kanak-kanak dan pengalaman seperti skizofrenia pada orang dewasa yang sehat, dan bahwa kekerasan emosional adalah prediktor yang lebih kuat dari pengalaman seperti skizofrenia daripada jenis kekerasan lainnya,” katanya.
Dari temuan ini, Toitountzidis mengusulkan, kekerasan emosional harus dipertimbangkan oleh profesional kesehatan mental ketika mencari untuk mengatasi akar penyebab pengalaman seperti skizofrenia pada orang yang menderitanya.
Kekerasan emosional adalah prediktor yang lebih kuat dari pengalaman seperti skizofrenia daripada jenis kekerasan lainnya.
Keith Laws menambahkan bahwa penelitian mereka telah membuka pintu ke studi masa depan yang membantu lebih memahami bagaimana jenis kekerasan masa kanak-kanak tertentu terkait dengan pengalaman, seperti skizofrenia tertentu jauh di kemudian hari. Ini juga akan membantu kita mulai memahami mengapa trauma semacam itu terkait untuk gangguan, seperti skizofrenia di beberapa orang, sementara yang lain mengalami pengalaman yang lebih ringan.
Dari studi ini kita juga bisa melihat hubungan yang signifikan antara trauma masa kanak-kanak dan skizotip yang didefinisikan secara psikometri pada populasi non-klinis. Pesan pentingnya, lindungi anak-anak dari kekerasan emosional yang bisa berdampak permanen bagi kehidupan mereka kelak.