Indonesia Dermawan, Namun Dana Sumbangan Rentan Diselewengkan
Indonesia berada di peringkat teratas dalam hal kedermawanan. Namun dana sumbangan publik di lembaga sosial rentan diselewengkan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Masyarakat Indonesia berada di peringkat teratas dalam hal kemauan menyumbang dalam kegiatan kedermawanan dan kerelawanan. Namun demikian, dana sumbangan kemanusiaan di lembaga sosial sangat rentan diselewengkan karena lemahnya regulasi.
Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) Avianto Amri, di Jakarta, Senin (4/7/2022) mengatakan, mengacu pada Laporan The World Giving Index (WGI) yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation pada tahun 2021, Indonesia berada di peringkat teratas dalam hal menyumbang pada orang tak dikenal, menyumbang uang, dan kegiatan kerelawanan. Data ini dikumpulkan Gallup dari 140 negara mengenai kederwananan dalam menyumbang.
Mengacu laporan WGI ini, Indonesia disebut sebagai negara paling dermawan pada 2020 - 2021, disusul Kenya, dan Nigeria. Padahal, dalam periode 2009-2018, Amerika Serikat menjadi yang paling dermawan, disusul Myanmar dan Selandia Baru. Sementara Indonesia di peringkat ke-10.
Senior Officer Jaringan Strategis Dompet Dhuafa Syamsul Ardiansyah mengatakan, praktik berbagi, telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat di Indonesia, yang kemudian diperkuat oleh ajaran agama.
"Di hampir semua momentum tradisi kita sarat dengan kegiatan berbagi dan saling membantu, mulai dari hajatan, sunatan hingga orang meninggal. Kalau dalam ajaran agama, kemudian ada kewajiban berzakat, dan infaq, dan banyak lagi ajaran untuk berbagi," kata dia.
Menurut Syamsul, praktik berbagi atau berdonasi di Indonesia ini banyak dilakukan orang kelas menengah ke bawah. "Pengalaman kami di Dompet Dhuafa, pemberi donasi justru kalangan menengah ke bawah dengan pendapatan rata-rata di bawah Rp 10 juta. Dugaan kami, karena mereka yang paling merasakan pentingnya berbagi," tuturnya.
Di hampir semua momentum tradisi kita sarat dengan berbagi dan saling membantu, mulai dari hajatan, sunatan hingga orang meninggal. Kalau dalam ajaran agama, ada kewajiban berzakat, dan infaq, serta ajaran untuk berbagi.
Dia mencontohkan, mayoritas pemberi donasi untuk program layanan kesehatan gratis dan pendidikan gratis adalah dari kalangan kelas menengah ke bawah dengan donasi per bulan berkisar Rp 100.000 hingga Rp 200.000. "Mungkin karena yang merasakan mahalnya ongkos kesehatan dan pendidikan dari kalangan ini, sehingga ketika mereka berkelbihan juga lebih mudah berbagi," kata dia.
Contoh lain, saat siklon Cempaka yang melanda sebagian Jawa Tengah pada 2017 lalu, sumbangan dari pekerja migran Indonesia di Hongkong, cukup tinggi. "Jadi, pemberi sumbangan tidak hanya dari orang kaya, di Indonesia bisa siapa saja yang merasa tergerak," ujarnya.
Akuntabilitas
Amri mengatakan, besarnya partisipasi masyarakat untuk berdonasi harus diikuti dengan perbaikan tata kelola dana sumbangan, yang lemah sehingga rentan diselewengkan.
“Di tingkat global, banyak standar dan pedoman yang digunakan berbagai lembaga kemanusiaan untuk memastikan bantuan kemanusiaan disalurkan secara efektif, tepat sasaran, dan akuntabel terhadap penyandang dana dan masyarakat yang menerima bantuan,” kata Avianto.
Iskandar Leman dari MPBI menambahkan, penyimpangan dana kemanusiaan di Indonesia merupakan fenomena gunung es karena lemahnya akuntabilitas dari para pejabat atau penggiat di bidang kemanusiaan. Selain itu, hal ini disebabkan lemahnya regulasi yang ada.
Syamsul mengatakan, saat ini ada dua undang-undang yang mengatur penyaluran dana publik. Pertama, untuk lembaga yang menyalutkan zakat sudah ada Undang-Undang Zakat sejak 1999 yang kemudian direvisi pada tahun 2011. "Terkait zakat, ketentuannya jelas, untuk dana operasional hanya boleh mengambil maksimal 12,5 persen dari total dana yang dihimpun," katanya.
Namun, lanjut Syamsul, untuk dana non-zakat, aturannya masih belum jelas, karena selama ini hanya ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU PUB), yang sudah sangat tua dan dalam berbagai aspeknya sudah harus direvisi.
"Kami menyambut baik usulan mereformasi terkait penggalangan dana publik. Karena selain kepentingan transparansi, hal ini diharapkan bisa menumbuhkan ekosistem donasi yang sehat dan bekualitas. Bidang filantropi ini adalah kepercayaan publik. Orang menitipkan kepercayaan. Perlu aturan main yang baik. Standar hukum etik yang luar biasa," ungkapnya.
Syamsul menambahkan, selain akuntabilitas, hal yang juga harus diatur adalah proses penyalurannya harus menjaga etika. "Tidak boleh overklaim dan menjaga martabat orang yang harus dibantu. Termasuk yang harus diatur juga penyaluran dana melalui media, yang seolah-olah sumbangan dari medianya, padahal itu juga dana publik," kata dia.
Menurut Iskandar, MPBI bersama lembaga-lembaga non pemerintah lainnya menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU PUB), termasuk mengidentifikasi permasalahan dan menyusun naskah akademik dan rancangan UU dan telah didaftarkan ke Badan Legislatif DPR RI. Pembahasan rancangan UU juga sudah mempertimbangkan praktik yang dilakukan di negara-negara lainnya, seperti di Inggris dan Australia.
Iskandar mengatakan, inisiatif ini melibatkan Kementerian Sosial, BNPB, Sekretariat Negara, YLKI, Perkumpulan Filantropi Indonesia, dan banyak pegiat kemanusiaan, pejabat pemerintahan dan bahkan Anggota DPR RI, namun proses pembahasan berakhir pada tahun 2019.
Pergantian pejabat membuat proses mendorong akuntabilitas kemanusiaan ini terhenti, karena banyak kegiatan dan program prioritas yang membutuhkan perhatian lebih, yang diikuti oleh pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, tambah Iskandar, MPBI mendesak para pihak untuk mendorong kembali akuntabilitas di bidang kemanusiaan dengan menyegerakan revisi UU PUB diikuti dengan penyusunan instrumen-instrumen kebijakan dan peraturan lainnya.
MPBI juga mengajak para lembaga kemanusiaan berkomitmen pada Piagam Kemanusiaan, serta memperbarui kerangka akuntabilitas organisasi dan panduan perilaku bagi para pelaku kemanusiaan dari sisi pandang organisasi masyarakat sipil. Para lembaga kemanusiaan juga diajak memperkuat akuntabilitas kinerja dan organisasi melalui pelaporan ke publik terkait kinerja lembaga dan keuangan sedikitnya sekali setahun.