Regulasi Belum Mampu Akomodasi Kedermawanan Masyarakat
Minat menyumbang masyarakat yang besar ketika ada peristiwa duka atau bencana belum dibarengi regulasi yang menjamin transparansi dan akuntabilitas proses penggalangan, pengelolaan, penyaluran, dan pelaporan dana itu.
Pendapatan masyarakat boleh turun, laju ekonomi pun melambat, dan pandemi belum tahu kapan berakhir. Situasi tak menguntungkan itu tidak mengurangi tingginya minat masyarakat menyumbang dan berbagi apapun kepada yang membutuhkan.
Setelah bersedekah dalam bentuk apapun selama Ramadhan dan membayar berbagai zakat, minat masyarakat untuk menyumbang bangsa Palestina tetap tinggi. Dalam waktu singkat, dana untuk Palestina yang terkumpul di sejumlah lembaga sosial maupun infuencer di media sosial diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.
Semangat berderma yang tinggi juga ditunjukkan masyarakat saat menyumbang untuk pembelian kapal selam pascatenggelamnya KRI Nanggala-402 pada April 2021. Padahal, pemerintah dan Tentara Nasional Indonesia sudah menolaknya.
Sumbangan masyarakat itu tak melulu yang bersifat formal. Saat ini, masyarakat di berbagai daerah di Jawa tengah menghadapi musim pernikahan. Banyaknya pesta pernikahan yang digelar di satu daerah identik dengan besarnya dana yang harus disiapkan masyarakat untuk menyumbang pemilik hajat.
Baca juga: Semangat Berbagi di Tengah Pandemi
Minat tinggi menyumbang itu juga terlihat saat awal pandemi. Filantropi Indonesia mencatat sebanyak Rp 905 miliar berhasil dikumpulkan berbagai pihak untuk mengatasi dampak pandemi antara Maret sampai Juni 2020. Situasi serupa juga terlihat setiap bencana alam melanda Indonesia. Masyarakat langsung tergerak untuk menyumbang tanpa perlu dorongan besar dari pemerintah atau pihak tertentu.
”Kedermawanan masyarakat Indonesia sangat tinggi,” kata peneliti filantropi Islam yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Amelia Fauzia, Jumat (4/6/2021). Sikap itu membuat World Giving Index edisi ke-10 tahun 2019 menempatkan Indonesia sebagai negara ke-10 paling dermawan selama satu dekade terakhir dan paling dermawan sedunia pada 2018.
Persoalan kemanusian, seperti kejadian bencana baik alam maupun perbuatan manusia, akan senantiasa memunculkan sentimen tinggi bagi manusia untuk saling membantu. Semangat ini manusiawi dan berlaku universal. Bantuan bisa muncul dari kelompok mana pun dan disalurkan untuk kelompok apapun, tidak terbatas pada ras, agama, atau suku budaya tertentu.
Baca juga: Penggalangan Dana Dampak Covid-19 Meluas
Fenomena filantropi inklusif itu juga ada dan mengakar di masyarakat Indonesia. Masyarakat lintasiman dan lembaga lintasagama terbiasa saling membantu untuk urusan apapun, termasuk isu Palestina karena sejatinya persoalan Palestina adalah masalah kemanusiaan.
”Kalaupun ada masyarakat yang menyumbang dengan dasar narasi dan solidaritas agama, itu masih wajar. Yang penting, penyaluran dana yang dikumpulkan itu bersifat inklusif,” tambahnya. Fenomena ini juga berlaku dalam penggalangan sumbangan kelompok agama apa pun.
Banyak penggalang dana tidak sadar bahwa ketika mereka mengumpulkan sumbangan masyarakat maka mereka digolongkan sebagai lembaga publik yang terkena konsekuensi berbagai aturan yang ada.
Meski demikian, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin berharap masyarakat hati-hati dalam menggalang sumbangan berbasis isu keagamaan agar tidak memicu sentimen negatif di masyarakat. Etika penggalangan donasi juga perlu diperhatikan, seperti tidak memakai narasi atau foto yang mengeksploitasi anak, tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan, tetapi mendorong untuk terus menyuarakan cinta kasih sesama manusia.
Penggunana narasi yang provokatif, lanjut Amelia, bisa membangkitkan luka lama akibat tersegregasinya masyarakat seusai pemilu dan menimbulkan konflik sosial. Pemilihan kata-kata penggalangan donasi masyarakat perlu mempertimbangkan keragaman masyarakat hingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada kelompok tertentu.
Pengelolaan
Meski minat masyarakat sangat tinggi dalam menyumbang untuk keperluan apa pun, hal itu belum diikuti oleh proses penggalangan, pengelolaan, dan penyampaian laporan sumbangan yang baik.
Sejak pandemi, lanjut Hamid, penggalangan dana banyak dilakukan melalui media sosial untuk menyikapi terbatasnya akses masyarakat menyerahkan sumbangan langsung ke lembaga sosial. Situasi membuat sejumlah influencer tergerak ikut menggalang dana masyarakat meski mereka tidak memiliki izin atau bukan lembaga resmi yang sah mengumpulkan sumbangan.
”Niat baik para influencer untuk menggalang dana itu harus diapresiasi,” katanya. Namun, mereka tetap harus memperhatikan berbagai regulasi negara yang mengatur soal penggalangan, pengelolaan, penyaluran, dan pelaporan sumbangan masyarakat. Kepatuhan itu untuk memastikan dana masyarakat dikelola secara akuntabel, transparan, dan tak disalahgunakan untuk kepentingan lain.
Selain terikat aturan negara, penggalang dana juga terikat aturan internal lembaga yang mengelola dana publik, seperti kode etik dan etika filantropi, semacam kode perilaku dalam merespons bencana yang ditetapkan oleh Palang Merah Internasional. Etika filantropi itu sebenarnya sudah banyak diterapkan lembaga sosial resmi, termasuk berbagai lembaga amil zakat. Namun, mekanisme itu belum banyak dipahami influencer penggalang dana.
”Banyak penggalang dana tidak sadar bahwa ketika mereka mengumpulkan sumbangan masyarakat maka mereka digolongkan sebagai lembaga publik yang terkena konsekuensi berbagai aturan yang ada,” ujar Hamid.
Para influencer sebenarnya bisa bekerja sama dengan lembaga sosial sejak dari proses penggalangan dana, bukan hanya saat penyaluran dana saja. Kerja sama dari awal itu bisa meminimalkan mereka dari melakukan kesalahan penggalangan dana, seperti menggunakan rekening pribadi yang sebenarnya tidak diperbolehkan.
Baca juga: Galakkan Solidaritas, Sesuaikan Kapasitas
Kerjasama influencer dan lembaga sosial itu juga akan membuat proses penggalangan dan pengelolaan dana masyarakat menjadi berkelanjutan. Jika influencer bekerja menggalang dana hanya pada rentang waktu tertentu, lembaga sosial bekerja sepanjang tahun untuk mengumpulkan dan mengelola dana masyarakat.
Regulasi
Meski demikian, baik Amelia maupun Hamid menyoroti banyaknya aturan negara yang mengatur soal sumbangan masyarakat, mulai dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang beserta berbagai peraturan turunannya, peraturan menteri sosial, peraturan menteri dalam negeri, UU Zakat, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, hingga UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU Pengumpulan Uang dan Barang yang sudah berumur 60 tahun jelas ketinggalan zaman. Banyak perkembangan filantropi modern maupun filantropi media sosial yang berkembang beberapa tahun terakhir tidak tercakup dalam UU tersebut. ”Semangat kedermawanan masyarakat Indonesia melampaui aturan yang ada,” tambah Amelia.
Baca juga: Keluarkan Surat Edaran, Bupati Karanganyar Ajak ASN Galang Dana untuk Palestina
Sejumlah aturan yang ketinggalan zaman itu, lanjut Hamid, antara lain, soal pelarangan penggunaan dana sumbangan untuk operasional pengelolaan sumbangan, proses izin berjenjang sesuai lingkup penggalangan sumbangan seperti tingkat lokal, regional, dan nasional, serta lambatnya proses perizinan yang tidak sesuai dengan kecepatan teknologi penggalangan dana.
Selain itu, aturan soal sumbangan juga tersebar dalam banyak UU dan berbagai aturan yang tersebar di sejumlah kementerian. Tidak adanya aturan spesisifik mengatur penggalangan, pengelolaan, penyaluran, dan pelaporan dana masyarakat membuat masyarakat sulit mencari rujukan tunggal.
Pemerintah seharusnya bisa mangakomodasi minat masyarakat menyumbang yang tinggi itu hingga semua pihak, baik penyumbang, pengelola sumbangan, maupun penerima sumbangan, terlindungi. Fasilitasi pemerintah dan kejelasan aturan itu diperlukan supaya masyarakat tidak takut melakukan kegiatan kemanusiaan yang tujuannya baik.
Semangat kedermawanan masyarakat Indonesia melampaui aturan yang ada.
Pengaturan sumbangan yang komprehensif itu juga diperlukan hingga masyarakat makin giat menyumbang. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki aturan insentif pajak berupa pegecualian maupun pengurangan pajak bagi masyarakat yang menyumbang untuk keperluan sosial apa pun. Informasi itu kurang tersosialisasikan di masyarakat.
Di luar regulasi pemerintah yang jauh dari memadai, Amelia juga berharap masyarakat memahami proses penggalangan, pengelolaan, penyaluran, dan pelaporan sumbangan. Semua proses itu tidak mudah karena membutuhkan proses. Terlebih jika sasaran sumbangan ada di luar negeri. Selain itu proses audit umumnya juga baru bisa dilakukan pada tahun anggaran berikutnya.
Para influencer atau lembaga penggalang dana juga perlu menjelaskan ke publik tentang proses penggalangan dan penyaluran dana yang mereka lakukan. Upaya ini merupakan bagian dari mekanisme pertanggungjawaban dan transparansi atas dana publik yang mereka kelola. Penyampaian informasi secara sepotong-sepotong soal dana masyarakat yang mereka kelola bisa membuat masyarakat curiga dan berspekulasi.
”Jika potensi kedermawanan masyarakat itu bisa diberdayakan secara optimal, Indonesia bisa memilki lembaga filantropi global yang bisa bekerja di berbagai negara seperti lembaga filantropi global,” kata Amelia.