Berbagai inovasi dikembangkan untuk mengeliminasi malaria. Inovasi itu berfokus pada aspek diagnosis untuk mendeteksi sejumlah mutasi baru parasit malaria.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dukungan penelitian dan inovasi dapat mempercepat target global ataupun nasional dalam upaya eliminasi malaria pada tahun 2030. Inovasi yang dikembangkan saat ini berfokus pada aspek diagnosis untuk mendeteksi sejumlah mutasi baru parasit malaria agar dapat mempercepat penanganan kasus.
National Professional Officer Malaria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Herdiana Basri mengemukakan, inovasi menjadi elemen pendukung dalam strategi teknis global WHO untuk penanganan malaria. Inovasi diperlukan karena sejumlah laporan menunjukkan angka insiden malaria secara global terus meningkat.
”Di dunia banyak kelompok yang sedang melakukan penelitian untuk inovasi alat diagnosis malaria. Jadi, nantinya diagnosis tak hanya memakai darah, tetapi juga bisa menggunakan spesimen lain, seperti urine atau saliva (air liur),” ujarnya dalam webinar tentang inovasi eliminasi malaria di Jakarta, Senin (4/7/2022).
Inovasi untuk diagnosis malaria lainnya yang dikembangkan di dunia berfokus pada biomarker. Inovasi ini terus dikembangkan karena terdapat sebuah mutasi yang membuat tes diagnostik cepat yang ada saat ini tidak mampu mendeteksi kasus malaria.
Di dunia, banyak kelompok yang sedang melakukan penelitian untuk inovasi alat diagnosis malaria. Jadi, nantinya diagnosis tak hanya memakai darah, tetapi juga bisa menggunakan spesimen lain seperti urine atau saliva (air liur).
Inovasi bidang teknologi juga dapat membantu penanganan malaria. Sebagai contoh, Tanzania menggunakan teknologi pesawat nirawak (drone) untuk memetakan wilayah fokus penanganan malaria khususnya di daerah terpencil sekaligus mengantarkan vaksin.
Selain inovasi, kata Herdiana, upaya akselerasi juga diperlukan agar penurunan kasus malaria lebih eksponensial. Karena itu, dukungan riset sangat penting untuk melihat apakah intervensi yang sudah dilakukan saat ini bisa menurunkan angka kasus dengan cepat.
Berdasarkan analisis, penelitian terkait malaria di Indonesia selama 15 tahun terakhir fluktuatif, tetapi cenderung menurun. Pada 2016 sebanyak 58 karya riset dipublikasikan di sejumlah jurnal, sedangkan tahun 2019 hanya delapan hasil penelitian. Lokasi penelitian terbanyak berada di wilayah Pulau Jawa dan Sumatera, sedangkan daerah lain masih terbatas.
Herdiana menyebut bahwa target eliminasi malaria sangat memungkinkan karena kini banyak negara terbebas dari penyakit ini. Akan tetapi, eliminasi malaria masih perlu upaya lebih optimal pada negara-negara tropis seperti Indonesia. Di sisi lain, tantangan lain seperti pandemi Covid-19 juga berdampak pada sistem kesehatan.
”Kita masih punya tantangan resisten obat dan migrasi parasit ke daerah-daerah baru yang dibawa melalui perantara manusia. Kemudian sistem surveilans yang tidak baik membuat kita kalah cepat dalam menemukan penderita malaria,” katanya.
Tahun ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan 365 kabupaten/kota dapat mencapai eliminasi malaria. Saat ini tercatat baru 347 kabupaten/kota (68 persen) daerah yang sudah mencapai eliminasi malaria, salah satunya Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Syafaruddin mengatakan, pihaknya melakukan sejumlah upaya untuk menurunkan kasus malaria, yakni dengan mengoptimalkan peran kader kesehatan dalam penemuan dini malaria. Pihak puskesmas juga mengadvokasi pihak desa untuk menganggarkan dana desa terkait perbaikan lingkungan.
”Dengan advokasi ini, pemerintah desa akhirnya mengalokasikan dana desa tahun 2019 dan 2020 untuk pembuatan drainase dan jalan pantai. Ini bertujuan untuk membendung air laut yang masuk ke permukiman sehingga mengurangi tempat perindukan nyamuk,” ucapnya.
Kasus positif malaria dari transmisi luar wilayah di Buton pada 2018 pernah mencapai 48 kasus. Namun, dengan intervensi yang dilakukan pemerintah daerah, kasus malaria mulai turun menjadi 25 kasus pada 2019 hingga tinggal tiga kasus pada 2022.
Kondisi di Indonesia
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, malaria termasuk salah satu penyakit tertua di dunia. Khusus di Indonesia, penanganan malaria sudah dilakukan sejak masa Presiden Soekarno, seperti penyemprotan dan upaya preventif lainnya.
”Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki komitmen bersama baik global maupun nasional dalam kasus malaria. Dari sisi regulasi, pemerintah juga sudah membuat sejumlah aturan untuk penanganan malaria,” ucapnya.
Maxi menyatakan, pemerintah menargetkan Indonesia dapat terbebas dari malaria pada 2030. Namun, ia mengakui tantangan terberat ialah melakukan eliminasi malaria di wilayah Indonesia timur karena saat ini sekitar 70 persen kasus berasal dari daerah di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Ia menegaskan, penanganan terbaik kasus malaria ialah dengan melaksanakan upaya pencegahan dari tingkat hulu melalui perubahan perilaku masyarakat untuk hidup lebih bersih dan sehat. Sementara pada tingkat pusat dilakukan intervensi melalui tata laksana pengobatan dan sejumlah program pengendalian lainnya.