Usulan agar Wartawan Menerima Tunjangan dari Pemerintah Berpotensi Mengurangi Independensi
Persatuan Wartawan Indonesia menolak usulan agar wartawan yang lulus uji kompetensi mendapatkan gaji atau tunjangan dari pemerintah. Usulan ini berpotensi mengurangi independensi sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI Pusat menolak usulan agar wartawan yang telah lulus uji kompetensi mendapatkan gaji atau tunjangan dari pemerintah. Usulan ini berpotensi mengurangi independensi dan melanggar kode etik jurnalistik.
Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang mengatakan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, fungsi pers dan wartawan adalah melakukan kontrol sosial. Selain itu, kode etik jurnalistik (KEJ) juga melarang wartawan menerima apa pun dari sumber berita.
”Jadi, wartawan yang menerima tunjangan pemerintah merupakan pelanggaran berat dalam KEJ. Bagaimana fungsi kontrol bisa jalan kalau wartawan menerima gaji atau tunjangan dari pihak yang mau dikontrolnya,” ujarnya dalam siaran pers Dewan Kehormatan PWI, Jumat (1/2/2022).
Menurut Ilham, tanggapan PWI terkait wacana usulan pemberian tunjangan bagi wartawan itu perlu segera disampaikan agar tidak berkembang menjadi isu liar di masyarakat. Hal itu disampaikan seusai menggelar rapat di Kantor PWI Pusat, Jakarta, Jumat siang.
Usulan agar wartawan yang telah lulus uji kompetensi mendapat tunjangan pemerintah terlontar dari segelintir wartawan yang dinilai sesat pikir. Sebab, usulan itu bertentangan dengan tuntutan dasar profesi wartawan yang harus bersikap independen.
Ketua Umum PWI Atal S Depari mengatakan, bantuan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, dapat diberikan dalam mengembangkan institusi pers secara keseluruhan. Namun, bantuan itu berupa program, seperti uji kompetensi dan pendidikan wartawan. ”Jadi, yang dibantu institusi, bukan personal wartawan,” ujarnya.
Fungsi pers yang pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen demokrasi harus terus dijaga independensinya
UU Nomor 40 Tahun 1999 memang menyebutkan pers nasional juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pemberian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lain.
Akan tetapi, fungsi pers yang pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen demokrasi harus terus dijaga independensinya. Bantuan terhadap pers dapat berbentuk pengurangan pajak atau kemitraan lain.
Rapat tersebut turut menyoroti program internal PWI yang belum terlaksana karena terkendala pandemi, seperti sosialisasi Peraturan Dasar Peraturan Rumah Tangga (PD PRT) PWI, kode etik jurnalistik, dan kode perilaku wartawan.
Rapat juga memutuskan mengangkat wartawan senior Dhimam Abror sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI. Ia menggantikan Suryopratomo yang mengundurkan diri karena diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Singapura beberapa waktu lalu.
Atal berjanji memprioritaskan sosialisasi hasil Kongres PWI di Solo pada 2018 segera dilaksanakan tahun ini, termasuk menggelar rapat kerja nasional. ”Kalau ada hal yang perlu diperbaiki atau direvisi, nanti dibahas pada Kongres PWI tahun 2023,” katanya.
Anggota Dewan Kehormatan PWI yang juga anggota Dewan Pers, Tri Agung Kristanto, menyatakan, pihaknya menolak semua hal yang berpotensi mengurangi independensi profesi wartawan. Tugas pengembangan lembaga pers tetap harus dilakukan bersama oleh semua komponen bangsa.