Jaga Independensi Wartawan dari Godaan di Tahun Politik
Pada masa Orde Baru, sejumlah wakil rakyat juga tercatat masih berstatus sebagai jurnalis. Namun, setelah tahun 1998, pembatasan bagi wartawan untuk merangkap jabatan sebagai politisi menguat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jurnalis memang lazimnya mengawasi politisi, mempersoalkan dan membeberkan ke publik kinerja politisi tidak beres. Secara kimiawi, ion jurnalis dan ion politisi bertentangan, seperti air dan minyak, tidak bisa campur.
(Lukas Luwarso, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers, Buletin Etika Dewan Pers, April 2009).
Pandemi Covid-19 bukan penghalang bagi proses demokrasi di sebuah negeri, termasuk Indonesia. Jelang penyelenggaraan Pemilu 2024, aroma politik kian menyebar tahun ini. Bahkan, tahun politik terasa hadir lebih cepat.
Kegaduhan terkait perebutan kuasa di lembaga eksekutif dan legislatif semakin sering terjadi. Tidak terbatas wacana mengenai perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu, tetapi partai politik pun kian sering mengonsolidasikan diri untuk menyambut pesta demokrasi lima tahunan itu. Bahkan, untuk hasil yang optimal pada Pemilu 2024, sejumlah partai mulai menyusun daftar bakal calon anggota legislatif (caleg), dan meminta mereka mempromosikan diri dan partainya lebih dini (Kompas, 30/3/2022).
Partai pastilah memiliki kader yang bisa mengisi daftar ca- leg atau mengisi jabatan politik lainnya. Namun, untuk membangun kedekatan dengan rakyat, tidak jarang sebuah partai menjaring warga untuk bersedia menjadi caleg atau calon pejabat publik lainnya, termasuk calon kepala daerah dengan berbagai pertimbangan dan tarikan kepentingan. Ada juga kelompok dalam masyarakat yang ditawari menjadi caleg atau calon pejabat lainnya oleh partai.
Dan, salah satu profesi yang termasuk acapkali ditawari atau ditarik ke ranah politik praktis di negeri ini adalah wartawan. Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari realitas pimpinan usaha media di negeri ini, yang adalah pimpinan atau pengurus partai, selain dalam masyarakat terlahir asumsi yang baik pada profesi wartawan atau jurnalis, yaitu mereka mempunyai jaringan luas di masyarakat dan berpengetahuan. Kondisi yang memang dibutuhkan oleh seorang caleg atau calon pejabat publik. Di sisi lain, kelahiran media massa di Indonesia, juga di banyak negara, umumnya terkait dengan parpol atau politisi.
Dalam catatan Lukas Luwarso, Sekretaris Eksekutif Dewan Pers (saat itu), berbeda dengan caleg selebritas yang mengundang perhatian media dan rasa ingin tahu masyarakat, caleg jurnalis tampaknya sama sekali terlupakan. Bukan saja tidak terdapat data seberapa banyak caleg jurnalis yang berhasil masuk ke Senayan, eksistensi jurnalis yang berhasil menjadi anggota legislatif tampaknya juga sama sekali bukan menjadi isu yang layak dipedulikan. Memang pada tahap awal pendaftaran calon anggota legislatif pernah diberitakan sedikitnya ada 100 caleg DPR berlatar belakang jurnalis. Namun, perhatian terhadap jurnalis yang nyaleg umumnya bernuansa kecaman atau keprihatinan, sedikitnya mempertanyakan itikadnya (Buletin Etika Dewan Pers, April 2009).
Bahkan, Lukas mempertanyakan jika ada wartawan yang akhirnya melakoni peran di dunia politik praktis. Sebab, secara kimiawi wartawan yang seharusnya mengawasi kinerja dan perilaku politisi bertentangan dengan ”panggilan hidup”-nya. Di sisi lain, seorang jurnalis yang menjadi caleg, misalnya, pasti dirugikan, sebab tak akan mendapatkan liputan dan perhatian dari medianya atau media lain secara optimal. ”Jadi, kalau dalam Pemilu 2009 caleg jurnalis banyak yang gagal menjadi politisi, itu adalah kabar baik dan patut disyukuri,” tulisnya.
Secara kimiawi wartawan yang seharusnya mengawasi kinerja dan perilaku politisi bertentangan dengan ”panggilan hidup”-nya.
Namun, realitasnya tetap saja banyak jurnalis yang terjun ke dunia politik praktis, tak hanya pada Pemilu 2009, tetapi juga pada masa Orde Baru dan Orde Lama. Sebutlah ada Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) (1973-1983) Harmoko, yang juga memimpin Golkar, menjadi Menteri Pene- rangan, dan Ketua DPR/MPR. Tak hanya menjadi caleg, Ketua Umum PWI (2008-2018) Margiono, juga mantan Wakil Ketua Dewan Pers, juga pernah menjadi calon bupati Tulungagung, Jawa Timur, tahun 1998, yang membuatnya terpaksa nonaktif dahulu sebagai wartawan.
Baik pemilu maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) pascagerakan Reformasi 1998 sebenarnya juga banyak menampilkan figur jurnalis, baik sebagai calon maupun tim sukses. Namun, seperti dikatakan Lukas, kurang perhatian dari media atau masyarakat kepada calon berlatar belakang jurnalis itu. Kalau mereka gagal, tiada yang meratapinya. Kalau berhasil, tak ada pula yang mencatat dengan tinta emas. Pemilu 2019 menjadi pintu masuk sejumlah jurnalis menduduki jabatan publik, termasuk menjadi pejabat di lembaga negara.
Pada masa lalu memang tak ada larangan seorang wartawan menjadi praktisi politik. Bahkan, pada masa Orde Baru, sejumlah wakil rakyat juga tercatat masih berstatus sebagai jurnalis. Namun, setelah tahun 1998, pembatasan bagi wartawan untuk merangkap jabatan sebagai politisi menguat. Independensi wartawan dijaga.
”Tugas utama wartawan adalah mengabdi pada kebenaran dan kepentingan publik. Ketika seorang wartawan memutuskan menjadi caleg atau tim sukses, yang bersangkutan kehilangan legitimasi untuk kembali pada profesi jurnalistik,” kata Ketua Dewan Pers (2016-2019) Yosep Adi Prasetyo di Jakarta (Kompas, 21/8/2018).
Pemilu 2024
Jelang Pemilu 2024, tarikan bagi wartawan untuk terlibat dalam politik praktis menguat kembali. Tertutup atau terbuka, ada saja jurnalis yang ditawari menjadi caleg, tim sukses, bagian dari jaringan pemenangan, atau menjadi calon kepala daerah. Ada juga wartawan yang menyiapkan diri menjadi calon independen untuk memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Profesi jurnalis membuat mereka bisa berelasi dengan masyarakat dan penyelenggara negara kapan saja.
Untuk menjaga kemandirian wartawan, Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat mengingatkan anggota dan pengurus PWI pula, serta secara moral kepada jurnalis lainnya di berbagai daerah dan tingkatan, yang akan menekuni jalur politisi kali ini, tak lagi mengerjakan tugas atau fungsi kewartawanan. Pengurus PWI yang terlibat aktif politik praktis jelang Pemilu 2024 harus mengundurkan diri sebagai pengurus, seperti diamanahkan Pasal 26 Peraturan Dasar PWI hasil Kongres di Solo, Jawa Tengah, tahun 2018.
”Silakan, tetapi semua yang akan maju dalam pemilu presiden (pilpres), pilkada, dan pemilu legislatif (pileg) harus mengundurkan diri,” ujar Ketua DK PWI Pusat Ilham Bintang seusai rapat secara virtual yang diikuti sebagian besar anggota, Kamis (31/3/2022). Pada Mei 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memulai tahapan pendaftaran bakal caleg parpol. Dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI juga ditegaskan, pengurus yang menjadi tim sukses kontestasi politik pun harus mengundurkan diri.
DK PWI Pusat mencatat, berdasarkan pengalaman terdahulu banyak pengurus PWI serta wartawan yang menjadi caleg. Secara etika, hal yang sama berlaku bagi anggota PWI yang kini menjadi pejabat di pemerintahan dan badan usaha milik negara (BUMN). PWI dan komunitas pers di negeri ini tentu saja bangga dengan kiprah beberapa wartawan dan pengurus organisasi jurnalis yang dipercaya dan mendapat tugas penting negara. Namun, demi tetap menegakkan marwah organisasi, menjaga independensi, dan tidak membingungkan masyarakat, sebaiknya mereka tak merangkap pekerjaan wartawan.
Diakui, hingga saat ini masih banyak tindakan pengurus atau anggota organisasi kewartawanan, termasuk PWI, yang bisa merendahkan martabat profesi. Hal itu disebabkan rendahnya pemahaman dan kesadaran terhadap nilai etika, Kode Perilaku Wartawan PWI, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Oleh sebab itu, perlu sosialisasi yang lebih masif mengenai kemandirian wartawan, didukung oleh Dewan Pers.
Dasar pesan dari DK PWI itu juga Kode Etik Jurnalistik, yang ditetapkan oleh Dewan Pers tahun 2008. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik pun mencatat, ”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Pasal 6 juga mengatur, ”Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Wartawan yang jelas-jelas mendukung calon kepala negara atau kepala daerah pada pemilu mendatang, termasuk menjadi tim sukses atau menjadi caleg, berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik itu.
Secara universal, dalam jurnalistik dikenal prinsip jurnalisme itu bertanggung jawab kepada publik dan menjaga jarak yang sama dengan narasumbernya, seperti yang dikenalkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sepuluh Elemen Jurnalisme. Seorang wartawan yang menjadi caleg atau tim sukses bisa dipastikan tak akan mampu menjaga jarak yang sama dengan narasumbernya. Tak bisa berimbang dalam menyajikan kabar pada masyarakat, dan tak bisa independen pada pimpinan partai yang mengusungnya.
Oleh sebab itu, menjaga marwah kewartawanan yang mandiri kini menjadi tugas siapa pun yang mengaku sebagai wartawan. Rapat DK PWI berharap Pengurus Pusat PWI menindak anggota atau pengurus PWI di mana pun yang mendukung calon atau menjadi caleg nantinya, termasuk menyalahgunakan simbol organisasi untuk mendukung calon. Sanksi bagi anggota yang melanggar menjadi kewenangan pengurus, bukan DK PWI. Seruan moral ini diharapkan juga diikuti semua organisasi kewartawanan lainnya di negeri ini.
Sekretaris DK PWI Pusat Sasongko Tedjo menegaskan, tugas berat dihadapi Dewan Pers, organisasi media, dan organisasi wartawan untuk tetap konsisten menjaga marwah pers sehingga tetap dipercaya masyarakat dalam tahun politik ini. PWI sebagai organisasi kewartawanan terbesar dan tertua di Indonesia bisa mengelola dengan baik kelembagaannya agar kompetensi, kredibilitas, serta kemandirian anggota terjaga. Pers tetap dipercayai publik.
Tahun 2020, jelang pilkada serentak, DK PWI Pusat juga mengeluarkan seruan, mengingatkan kemandirian wartawan yang ditarik-tarik oleh kepentingan politik praktis. Apalagi, saat itu ada pengaduan dari publik, yang menemukan jurnalis atau organisasi kewartawanan dipakai untuk kepentingan politik praktis. Khitah wartawan dan pekerjaan jurnalistik sejak dahulu itu independen.