Riset Kolaboratif Berdampak Positif bagi Penyandang Disabilitas
Selama ini, riset tentang disabilitas didominasi oleh peneliti nondisabilitas. Padahal, penyandang disabilitas memiliki pengetahuan dan pengalaman hidup yang mampu membantu dalam penelitian ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset kolaboratif yang melibatkan peneliti penyandang disabilitas dan nondisabilitas akan memberikan dampak positif bagi mereka. Upaya ini sekaligus dapat memberdayakan dan membangun kapasitas penyandang disabilitas secara langsung ataupun tidak langsung.
Ketua Jaringan Penelitian dan Advokasi Disabilitas Australia-Indonesia (Aidran) Indonesia Astoni Tsaputra menyatakan, pergerakan penyandang disabilitas berperan besar mengubah fokus pendekatan riset. Dengan pergerakan ini, penyandang disabilitas yang awalnya hanya dijadikan sebagai obyek penelitian kini mulai turut terlibat langsung dalam kegiatan riset.
Menurut Astoni, ketertarikan dunia akademik terhadap isu disabilitas mulai meningkat pada era 1960-an dan 1970-an. Ketertarikan ini ditandai oleh dominasi pendekatan medis, psikologis, dan profesi rehabilitasi. Semua penelitian juga cenderung mengkaji aspek gangguan atau kelainan fisik, sensorik, intelektual, dan mental penyandang disabilitas.
”Selama ini riset disabilitas didominasi oleh peneliti nondisabilitas. Padahal, penyandang disabilitas memiliki pengetahuan dan pengalaman hidup sebagai orang dengan disabilitas yang membuat mereka pantas disebut ahli dan bukan lagi menjadi obyek,” ujarnya dalam konferensi nasional tentang penguatan ekosistem riset untuk penyandang disabilitas secara daring, Rabu (29/6/2022).
Astoni menambahkan, para penyandang disabilitas kini perlu dilibatkan langsung dalam penelitian. Sebab, riset kolaboratif bersama penyandang disabilitas akan memberikan dampak positif. Para peneliti nondisabilitas akan mendapat pengayaan pengetahuan saat proses belajar langsung dengan para penyandang disabilitas tentang isu-isu mereka.
Sementara bagi penyandang disabilitas, menjadi rekan dalam penelitian telah memberikan kesempatan langsung untuk menyuarakan aspirasi. Di sisi lain, keterlibatan mereka bisa menambah keahlian baru, memperluas jejaring, dan meningkatkan kepercayaan diri.
”Dengan demikian, keterlibatan aktif penyandang disabilitas dalam penelitian akan menambah pengalaman sangat positif. Sebab, secara langsung maupun tidak langsung telah memberdayakan dan membangun kapasitas penyandang disabilitas,” ungkapnya.
Meski demikian, kolaborasi penelitian antara penyandang disabilitas dan nondisabilitas ini dipandang Astoni akan menemui sejumlah tantangan, seperti perbedaan perspektif. Para peneliti dimungkinkan akan memiliki kekhawatiran terkait kebutuhan dan akomodasi yang layak bagi peneliti penyandang disabilitas saat melakukan tugas di lapangan.
Keterlibatan aktif penyandang disabilitas dalam penelitian akan menambah pengalaman sangat positif. Sebab, secara langsung maupun tidak langsung telah memberdayakan dan membangun kapasitas penyandang disabilitas.
Astoni juga mengakui bahwa sebagian besar penyandang disabilitas yang menjadi co-peneliti belum memiliki pengalaman dalam melakukan penelitian secara akademik. Namun, kondisi ini bukan berarti membuat mereka tidak mampu untuk terlibat dalam semua fase penelitian.
Oleh karena itu, penting sekali untuk memberikan pelatihan dan pendampingan dari akademisi secara intensif terhadap co-peneliti penyandang disabilitas. Terpenting, perlu juga pemenuhan semua kebutuhan khusus atau spesifik co-peneliti disabilitas.
”Terlepas dari perbedaan latar belakang pendidikan dan kapasitas, kinerja co-peneliti penyandang disabilitas ini menunjukkan mereka mampu melakukan penelitian secara berkualitas. Jadi, pelatihan dan pendampingan sangat berperan untuk membantu menjalankan semua fase penelitian sesuai kaidah ilmiah,” katanya.
Faktor kendala
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Itje Chodidjah mengatakan, minimnya pelibatan penyandang disabilitas dalam pembangunan disebabkan sejumlah faktor. Beberapa kendala itu meliputi kendala sistemis berupa fasilitas atau akses pendukung, kurangnya alokasi anggaran, dan minimnya institusi untuk menjamin inklusi disabilitas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menyebutkan, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan mencapai 22,5 juta atau 5 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, penyandang disabilitas yang bekerja pada rentang usia 15 tahun ke atas hanya 7,8 juta orang.
”Penelitian yang komprehensif mengenai disabilitas sangat diperlukan. Sebab, data yang ada sampai saat ini tumpang tindih, seperti perbedaan hitungan antar-kementerian dalam menentukan prevalensi dan ketersebaran penyandang disabilitas,” ucapnya.