Perubahan besar telah terjadi di Bumi. Platform digital global menciptakan gelembung informasi. Pandemi dan perang membatasi gerak orang dan barang. Dunia yang kian menyatu tak berbatas, kini menjadi penuh sekat.
Oleh
SUTTA DHARMASAPUTRA
·3 menit baca
Banyak ahli memprediksi situasi ini akan membalikkan arah globalisasi dan menjadi pertanda awal terjadinya deglobalisasi. Sampul majalah The Economist pun memberi judul ”Reinventing Globalisation”.
Perubahan besar ini akan berdampak luas dan dalam pada kehidupan manusia. Tidak saja secara makro di tingkat global, regional, nasional, tetapi juga secara mikro di tingkat lokal, bahkan personal.
Dampak negatif revolusi teknologi informasilah yang menciptakan penebalan sekat-sekat penghuni Bumi secara masif. Alih-alih menyatukan warga Bumi, algoritma digital malah menyeret warga Bumi hidup dalam gelembung-gelembung informasi. Memuja membabi buta yang sepaham, membenci mati-matian yang berseberangan. Keterbelahan masyarakat Amerika Serikat (AS) pascapemilu menjadi contohnya. Indonesia pun mengalaminya. Menahun, residunya masih tertinggal, bahkan mengerak.
Virus SARS-CoV-2 dan berbagai variannya semakin memutus interaksi penghuni Bumi. Pembatasan sosial berskala besar bahkan memutus interaksi fisik. Interaksi sosial menjadi terbatas dan berjarak. Pertemuan tatap muka berganti tatap layar.
Perang Ukraina-Rusia yang diikuti pemberian sanksi ekonomi oleh negara-negara sekutu AS lebih memutus lagi relasi warga Bumi. Tidak hanya membatasi mobilitas orang, tetapi juga barang, bahkan peredaran uang.
Padahal, penyelamatan planet Bumi justru semakin memerlukan kerja sama semua penghuninya. Upaya menurunkan suhu Bumi untuk mencegah pemanasan global tidak mungkin dilakukan sendirian dan parsial.
Begitu pula penanganan pandemi Covid-19 yang merupakan wabah terbesar di abad ini. Juga krisis ekonomi sebagai ikutannya yang menciptakan kesenjangan dan kemiskinan. Belum lagi dampak perang Ukraina-Rusia yang memutus pasokan energi dan pangan dunia yang mengakibatkan stagflasi, yang bisa memicu konflik sosial, bahkan perang.
Membangun kontak
Menghubungkan kembali relasi manusia di Bumi menjadi tugas utama ke depan. No one safe until everyone is. Semua manusia di Bumi hendaknya kembali terhubung dan bersinergi. Keselarasan bahkan perlu dibangun tidak saja antarsesama, tetapi juga dengan alam dan binatang yang juga menghuni Bumi.
Gordon Allport, ahli psikologi AS, menjelaskan arti pentingnya kontak dalam membangun peradaban. Menurut Allport, prasangka, kebencian, dan rasisme pun berasal dari kurangnya kontak. Thomas Pettigrew, yang menganalisis 515 penelitian dari 38 negara, menyimpulkan bahwa kontak memunculkan rasa saling percaya, solidaritas, dan tak ketinggalan timbal balik kebaikan.
Kisah pertemuan dua bersaudara kembar identik, yaitu Constand dan Abraham Viljoen, dengan Nelson Mandela, yang berhasil mencegah perang saudara jelang pemilu multirasial di Afrika Selatan, menjadi bukti betapa penting sebuah kontak.
Pada mulanya, saudara kembar itu, karena sejak kecil didoktrin rasis, berpandangan sama. Namun, belakangan, pandangan Abraham berubah. Saat studi di Belanda dan AS, dia terpapar pentingnya keadilan dan kesetaraan.
Sementara itu, Constand yang menjadi serdadu dan pejuang pasukan Afrikan kian militan. Dia baru berubah setelah Abraham mempertemukannya dengan Mandela. Pertemuan dua bersaudara dengan Mandela di sebuah vila di Johannesburg pada 12 Agustus 1993 ini pulalah yang membatalkan rencana perang saudara. Mereka menyadari ”tak akan ada pemenang jika kita berperang”.
Peran Indonesia
Bangsa Indonesia perlu ikut aktif mewujudkan perdamaian dunia, seperti diamanatkan pendiri bangsa. Sebagai tuan rumah G20, RI berperan penting merekatkan warga dunia.
Tradisi saling tegur sapa, toleransi, dan gotong royong yang mengakar kuat di negeri ini bisa jadi inspirasi dunia. Saat pandemi, ikatan sosial itu pun bukan meluntur, melainkan malah menguat. Dengan modal sosial itu, RI perlu ikut membangun tatanan dunia sebagaimana diamanatkan pendiri bangsa.
Sebagai tuan rumah G20, Indonesia berperan penting merekatkan warga dunia agar mampu menghadapi pandemi dengan lebih baik. Sebaliknya, sekat-sekat suku, agama, ras, dan golongan yang belakangan ini kian mengeras di negeri ini perlu menjadi perhatian semua. Atas dasar inilah edisi khusus HUT Ke-57 Kompas mengangkat tema rekoneksi. Dengan saling terhubung, kita, bangsa, dan dunia akan jadi lebih baik.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ADI PRINANTYO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO