Hidup Selaras dengan Alam, Tumpuan Atasi Krisis Iklim
Dampak perubahan iklim telah dirasakan langsung masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Untuk menanggulangi perubahan iklim, tidak ada cara terbaik selain kembali ke praktik hidup yang selaras dengan alam.
Ribuan kilometer nun jauh dari ibu kota Jakarta, satu pohon kenari besar tumbang dan tercabut dari akarnya. Pohon yang dikenal kokoh dari berbagai terpaan angin dan mampu hidup hingga ratusan tahun oleh masyarakat Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu seolah tunduk tatkala diterjang badai Seroja pada April 2021.
Daniel Laure (50), yang telah menjadi petani hutan selama lebih dari 30 tahun, melihat nanar kenari tumbang tersebut. Ia tak menyangka badai Seroja bisa menumbangkan pohon yang menjadi ikon Kabupaten Alor itu. Padahal, ia selalu teringat cerita nenek moyang akan keperkasaan kenari yang mampu kokoh berdiri diterjang ratusan badai.
”Tumbangnya pohon kenari ini menjadi bukti dahsyatnya badai Seroja saat itu di NTT. Dulu memang sering ada badai, tetapi dampaknya tidak separah Seroja tahun lalu,” ujarnya saat ditemui di kawasan hutan Desa Nailang, Alor, NTT, beberapa waktu lalu.
Bagi masyarakat Alor yang mayoritas masih menggantungkan hidup pada hasil alam, intensitas cuaca dan iklim sangat berpengaruh bagi mereka. Sekitar 20 tahun yang lalu, masyarakat mengaku cuaca dan iklim memiliki pola yang jelas selama satu tahun. Hal ini sangat membantu mereka dalam memanen sejumlah komoditas unggulan seperti pinang, jambu mente, cengkeh, dan vanili.
Sekarang paling tidak nelayan hanya memiliki durasi penangkapan selama tiga sampai lima hari. Kalau terlambat dari hari itu, nelayan sudah tidak bisa menangkap apa pun. (Amin Abdullah)
Menurut penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), cuaca ekstrem badai siklon tropis Seroja yang menerjang sejumlah wilayah di NTT tahun lalu hingga menyebabkan banjir bandang dan longsor merupakan imbas dari perubahan iklim.
Salah satu faktor terjadinya siklon tropis Seroja ialah suhu muka laut di perairan yang semakin panas di wilayah Samudra Hindia hingga 29 derajat celsius. Ini jauh lebih tinggi dari suhu rata-rata, yakni 26,5 derajat celsius.Kemudian, suhu udara di lapisan atmosfer menengah juga meningkat pada tekanan 500 milibar atau lebih dari 7 derajat celsius.
BMKG menyebut bahwafenomena ini jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, kejadian siklon tropis semakin sering terjadisejak sepuluh tahun terakhir. Bahkan, pada 2017, dalam satu pekan bisa terjadi dua kali siklon tropis.
Dampak nyata perubahan iklim tidak hanya dirasakan masyarakat NTT, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya seperti di Pulau Makian, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Perubahan iklim telah menyebabkan intensitas gelombang abrasi semakin tinggi dan secara perlahan terus mengikis pesisir pulau ini.
Sejak 2020, abrasi bahkan telah menerjang dan menghancurkan salah satu tembok pembatas Sekolah Dasar Negeri 26 Halmahera Selatan yang berlokasi di pesisir. Kondisi ini sangat berbahaya bagi para siswa ketika beraktivitas di luar ruangan karena kini sekolah hanya berjarak kurang dari tiga meter dari bibir pantai. Padahal, 25 tahun lalu sekolah ini dibangun di lokasi yang masih tergolong aman dari terjangan ombak.
Sementara di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), perubahan iklim telah memicu musim ikan yang tidak menentu hingga membuat produksi dan hasil tangkapan menurun drastis. Bahkan, meski sudah masuk musim tangkap, nelayan merasakan langsung keberadaan stok ikan di laut sangat susah diprediksi.
Sebagai wilayah dengan panjang pantai seluas 220 kilometer dan jumlah nelayan mencapai 16.371 orang atau terbanyak di NTB, masyarakat di Lombok Timur sangat bergantung terhadap hasil perikanan. Namun, kondisi yang terjadi saat ini justru membuat jumlah nelayan di Lombok Timur terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, pada tahun 2014 jumlah nelayan di Lombok Timur tercatat sebanyak 16.415 orang. Hanya berselang empat tahun atau tepatnya pada 2018, jumlah nelayan telah turun menjadi 16.371 orang.
Menurut Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Amin Abdullah, pada 1970 sampai 1990-an, musim ikan di Lombok Timur sangat jelas dan teratur terutama untuk ikan-ikan pelagis yang merupakan hasil tangkapan utama nelayan kecil atau tradisional. Sebagai contoh, penangkapan cumi-cumi dilakukan dari bulan November sampai April dan ikan tongkol pada Juni sampai Oktober.
Selain itu, dari bagan kecenderungan dan perubahan yang telah dipetakan, pada 1990-an musim ikan juga mempunyai waktu yang jelas dengan durasi berkisar 5-6 bulan. Akan tetapi, saat ini musim ikan harus menghitung hari pada setiap fase penangkapan.
Baca juga : Perubahan Iklim Membuat Musim Badai Tropis Lebih Dahsyat
”Jadi, sekarang paling tidak nelayan hanya memiliki durasi penangkapan selama tiga sampai lima hari. Kalau terlambat dari hari itu, nelayan sudah tidak bisa menangkap apa pun. Padahal, nelayan melaut saat sudah memasuki musim tangkap di bulan tertentu,” tuturnya.
Kondisi di NTT, Maluku Utara, dan NTB hanyalah sedikit dari contoh dampak perubahan iklim di Indonesia. Beberapa daerah lainnya mungkin mengalami hal serupa atau bahkan lebih parah. Namun, satu kesamaan yang pasti, yakni perubahan iklim itu nyata.
Peran masyarakat adat
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja menyebut bahwa saat ini telah terjadi akselerasi perubahan iklim yang dampaknya sudah dirasakan langsung oleh masyarakat. Berbagai hasil konferensi internasional bahkan dipandang tidak cukup sebagai instrumen pengendalian perubahan iklim.
Sarwono menilai, pengendalian perubahan iklim perlu melihat berbagai upaya adaptasi dan mitigasi yang telah dilakukan masyarakat di tingkat lokal dari berbagai sektor. Upaya pengendalian perubahan iklim di tingkat lokal diyakini lebih mampu memperkuat peran komunitas. Pemerintah kemudian berperan meningkatkan dan memperkuat upaya dari masyarakat lokal tersebut.
Pandangan Sarwono ini juga searah dengan hasil studi dari University of East Anglia (UEA), Inggris, yang terbit di jurnal Ecology and Society, September 2021. Studi ini menyoroti keberhasilan upaya konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan lokal untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan, termasuk perubahan iklim.
Fakta ini terungkap setelah tim peneliti mempelajari hasil dari 169 proyek konservasi di seluruh dunia terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.Para peneliti menemukan bahwa 56 persen dari studi tentang konservasi oleh komunitas lokal memberikan hasil positif bagi kesejahteraan masyarakat ataupun lingkungan.
Selain itu, hanya 16 persen hasil studi yang menunjukkan keberhasilan dan efektivitas upaya konservasi yang dipimpin oleh pihak eksternal.Bahkan, sepertiga kasus konservasi oleh pihak eksternal mengakibatkan sejumlah kegiatan tidak berjalan efektif dan memicu kondisi sosial yang buruk seperti konflik dengan masyarakat lokal.
Peneliti dari UEA School of International Development sekaligus penulis utama studi tersebut, Neil Dawson, menjelaskan, konservasi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal dilakukan berdasarkan pengetahuan ataupun sistem yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Hal ini jauh lebih memberikan hasil positif bagi alam.
Dawson pun menekankan, kebijakan yang ada saat ini terutama konferensi tingkat tinggi (KTT) tentang iklim dan keanekaragaman hayati PBB harus merangkul dan memastikan peran sentral masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka harus benar-benar dilibatkan dalam program iklim dan konservasi arus utama.
Sejalan dengan beberapa hasil studi lainnya, laporan penilaian keenam (AR6) yang disusun Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) juga menyoroti pentingnya keterlibatan dan pengetahuan masyarakat adat ataupun lokal dalam menghadapi perubahan iklim. Hal ini karena praktik hidup masyarakat adat selama ratusan tahun terbukti mampu menjaga alam tetap lestari.
Baca juga : Darurat Iklim dan Alarm bagi Kemanusiaan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, hutan adat di Indonesia telah berkontribusi menjaga karbon sebesar 32,7 gigaton. Sementara Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-21(COP 21) di Paris, Perancis, pada 2015 juga menyebut bahwa hutan adat menyimpan 20 persen karbon hutan tropis dunia.
Namun, ironisnya praktik hidup dan keterlibatan masyarakat adat dalam mengatasi krisis iklim masih jauh dari kata optimal. Eksistensi mereka kini terancam karena berbagai konflik perampasan lahan, sumber daya alam, dan hak-hak masyarakat adat lainnya.
Ke depan, semua pihak, termasuk pemerintah, harus memastikan pemenuhan hak-hak masyarakat adat sekaligus melibatkan mereka secara penuh dalam pengendalian perubahan iklim. Dengan norma dan praktik hidup yang menjaga kelestarian sumber daya alam serta keanekaragaman hayati, masyarakat adat merupakan garda terdepan dalam pemenuhan target penurunan emisi Indonesia untuk mengatasi krisis iklim.