Proteksionisme Menyusutkan Globalisasi
Berkat globalisasi, perdagangan internasional pernah berkali-kali membuat Nusantara, lalu Indonesia, berperan penting dalam mata rantai perekonomian global. Namun, kini globalisasi kini terancam.
Perdagangan internasional pernah berkali-kali membuat Nusantara, lalu Indonesia, berperan penting dalam mata rantai perekonomian global. Adaptasi selepas pandemi dan percepatan kemajuan teknologi menawarkan peluang sekaligus menghadirkan tantangan bagi Indonesia. Ini semua berkat globalisasi. Namun, kini globalisasi kini terancam proteksionisme, perang, dan pandemi Covid-19.
Rempah, kopi, gula, karet, lalu batubara, dan sawit adalah hal-hal yang membuat Nusantara, lalu Indonesia, berperan penting di pasar global. Pasar terguncang hebat kala Indonesia mengumumkan embargo ekspor batubara dan sawit tahun 2022. Indonesia mengajukan alasan melindungi konsumen dalam negeri saat melakukan embargo komoditas tersebut.
Baca juga : Efek Larangan Ekspor Sawit Indonesia Terasa di Korea hingga Afrika
Pengajar Sekolah Stratejik dan Kajian Global Universitas Indonesia (UI) Mohamad Revindo mengatakan, negara besar juga melakukan proteksionisme. Dampaknya positif bagi Indonesia karena neraca perdagangan positif selama 24 bulan terakhir. Surplus tidak lepas dari kenaikan harga komoditas.
“Indonesia menggantikan beberapa produk China di pasar negara-negara maju,” kata Revindo, yang juga Ketua Kajian Persaingan Usaha dan Rantai Nilai Tambah Global pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI itu.
Proteksionisme memang menjadi gejala global. Meski Indonesia mendapat manfaat bagus darinya, proteksionisme bisa berdampak buruk pada Indonesia dan komunitas internasional. Dalam seabad terakhir, berkali-kali terekam bahwa proteksionisme meruntuhkan globalisasi.
Indonesia, menurut Revindo, bisa tergoda menunda memacu industri hilir karena kenaikan harga komoditas menghasilkan uang lebih mudah. Proteksionisme yang meluas, dalam hal ini oleh Amerika Serikat dan sekutunya terhadap China, bisa memukul Indonesia. Sebab, industri Indonesia terkait erat dengan China.
Rantai nilai tambah
Kondisi itu tidak lepas dari sistem nilai tambah global (GVC). Dalam konsep yang semakin dikenal sejak gelombang ketiga globalisasi itu, pembuatan produk di negara A bisa saja melibatkan pabrik dan pemasok yang tersebar di lebih dari 10 negara. Gangguan pasokan pada salah satu negara berarti gangguan pada keseluruhan proses produksi dan distribusi di 10 negara lain.
Peneliti Bank Sentral Eropa Rita Cappariello menyebut, GVC pada abad ke-21 semakin meningkat. Kenaikan GVC berarti perekonomian lintas daerah dan lintas negara semakin terintegrasi.
Baca juga : Jokowi Hadapi Tantangan Naikkan Nilai Tambah dan Penuhi Kebutuhan Domestik
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut, GVC menguntungkan negara maju dan berkembang. Bagi negara berkembang, GVC membuka peluang ikut terlibat sebagai pembuat produk teknologi tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan. Sementara bagi negara maju, GVC memungkinkan produksi dilakukan dengan biaya semangkus mungkin. Kegiatan di negara maju, yang upahnya mahal, bisa fokus pada industri riset yang nilai tambahnya lebih tinggi.
Hasrat Indonesia terlibat pada industri kendaraan listrik dimungkinkan karena ada GVC. Indonesia menawarkan bahan baku dan tenaga kerja serta pasar. Sementara negara lain menawarkan modal dan teknologi. Akan butuh waktu sangat panjang bagi Indonesia jika harus mulai mengembangkan dari awal.
Peneliti Institute of International Politics and Economics pada University of Belgrade, Nataša Stanojevic, mengatakan bahwa GVC adalah ciri khas perekonomian global kiwari. Hingga 33 persen perdagangan global terkait GVC.
Sayangnya, seperti kerap terjadi dalam berbagai krisis, negara-negara membuat pembatasan dengan alasan melindungi konsumen dan pengusaha domestik. Uni Eropa melakukan hal itu selepas krisis keuangan global (GFC) 2008. Dipicu nafsu meraup untung tanpa memerhatikan prinsip kepatutan dan kehati-hatian, lembaga keuangan AS dan Eropa meruntuhkan pasar keuangan global. Menanggapi GFC, UE membuat aneka pembatasan.
Baca juga : WTO dan Perdagangan Multilateral
Dampak proteksionisme Uni Eropa lebih besar dibandingkan proteksionisme AS. Sebab, UE adalah pasar tunggal dengan produk domestik bruto 17,9 triliun dollar AS. PDB UE lebih besar dari PDB China yang bernilai 14,5 triliun dollar AS dan hampir 15 kali PDB Indonesia yang bernilai 1,1 triliun dollar AS.
Dampak proteksionisme UE tecermin pada GVC. Dari 52 persen pada 2008, porsi GVC pada ekspor UE terpangkas menjadi 41 persen pada 2019. Ini karena, pemilik modal UE mengurangi rantai produksi di luar kawasan dan menambah porsi produksi di dalam UE. Kemerosotan porsi GVC juga terjadi di AS, yakni dari 12 persen menjadi 9,5 persen. Adapun di Inggris, porsi GVC anjlok dari 33 persen menjadi 26 persen.
Proteksionisme
Selama pandemi Covid-19, proteksionisme dan upaya pemangkasan GVC juga semakin terlihat. AS dan sejumlah negara Eropa melarang ekspor vaksin dan teknologi pembuatan vaksin serta obat Covid-19. Bahkan, mereka memborong vaksin dan obat Covid-19. Dampaknya, sampai sekarang masih lebih dari 2 miliar penduduk Bumi belum divaksin.
AS dan Uni Eropa juga mau memindahkan pabriknya dari China dan sejumlah negara. Indonesia menjajaki, walau belum mendapatkan, menjadi lokasi pemindahan tempat usaha itu. Kekurangan kekayaan intelektual membuat Indonesia mau tidak mau menjadi bagian dari GVC negara lain. Keterlibatan Indonesia di sejumlah blok dagang--terakhir dalam Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) yang diluncurkan Presiden AS Joe Biden di Jepang pada Mei 2022--adalah bagian dari upaya itu.
Indonesia berusaha kembali masuk pasar AS yang semakin menutup diri. Pada 2018, Presiden AS Donald Trump mengobarkan perang dagang dengan berbagai mitra dagang utamanya. Ia memakai alasan, menurut peneliti Centre for Economic Policy Research di London, Samuel Delpeuch, dampak laten globalisasi. Delpeuch menyebut, ketidakimbangan neraca dagang yang dihasilkan globalisasi bisa menjadi energi para proteksionis. Ketimpangan neraca dagang menjadi sumber kecemasan karena bisa menggerus cadangan valas hingga defisit anggaran.
Pakar Ilmu Hubungan Internasional AS Gilford John Ikenberry menyebut AS dan negara demokrasi Barat semakin memangkas komitmennya di panggung internasional. Semua itu dipicu kenaikan kelompok populis. Dengan alasan menjaga kepentingan nasional, AS memicu perang dagang dan aneka kebijakan proteksionisme lainnya.
Baca juga : Cegah Proteksionisme, Dorong Kerja Sama Multilateral
Padahal, menurut Cappariello, pembatasan dagang berdampak pada harga yang harus ditanggung konsumen. Tambahan bea masuk akan dibebankan importir kepada konsumen. Perekonomian bisa terganggu, investasi dan konsumsi akan berkurang, bila ada kenaikan harga. Hal itu berarti perekonomian kekurangan unsur penting untuk tumbuh, yakni konsumsi dan investasi.
Perang
Seperti Ikenberry, Presiden Peterson Institute for International Economics, Adam Posen, menyebut kelompok populis dan nasionalis begitu bersemangat menegakkan pembatasan perdagangan, investasi, dan migrasi. Semua itu buruk bagi globalisasi. Bersama ekonom OECD, Laurence Boone,
Posen sepakat bahwa perang Rusia-Ukraina hanya menambah alasan bagi deglobalisasi.Sanksi AS dan sekutu serta mitranya kepada Rusia memang amat luas. “Kami terkejut,” kata ekonom China dan mantan penasihat Bank of China Yu Yongding kepada Nikkei Asia.
Banyak pihak tidak menduga AS membekukan cadangan valas negara lain dalam sekejap. Tindakan itu dianggap tidak sesuai aturan. “Tindakan itu dengan jelas melemahkan kepercayaan kepada kredibilitas sistem keuangan internasional. Ketika AS tidak bermain sesuai aturan, bagaimana mungkin China dan negara lain percaya pada keamanan asetnya di negara lain?” kata Yu.
Ketidakpercayaan itu bisa mendorong banyak pihak menarik simpanan dari berbagai bank. Dampaknya, bank bisa kekurangan dana dan kesulitan menjalankan peran sebagai perantara kredit. Padahal, kredit penting dalam aktivitas perekonomian.
Perang Rusia-Ukraina memang berdampak global. “Seperti gempa, perang adalah pusatnya dan terletak di Rusia-Ukraina. Korbannya di sana amat besar. Di luar itu, korbannya juga banyak,” tulis Direktur Departemen Riset International Monetary Fund (IMF), Pierre-Olivier Gourinchas, dalam majalah kuartalan IMF edisi Juni 2022.
Baca juga : Dampak Ekonomi Perang Rusia-Ukraina
Sementara pengajar Cornell University, Nicholas Mulder, menyebut bahwa sanksi terkait perang itu merepotkan dunia. Komunitas internasional belum pernah mengalami dan beradaptasi dengan sanksi terhadap perekonomian sebesar Rusia. “Rusia adalah negara dengan perekonomian terbesar ke-11 dan perannya dalam komoditas primer di pasar berkembang membuat posisinya penting secara struktural,” ujar penulis buku Economic Weapon: The Rise of Sanctions as a Tool of Modern War itu.
Kala Liga Bangsa-bangsa menjatuhkan sanksi terhadap Italia gara-gara menyerbu Etiopia pada 1930, efeknya tidak meluas. AS dan Jerman tetap berdagang dengan Italia. Komunitas internasional juga pernah memberi sanksi pada Rhodesia dan Afrika Selatan. Adapun AS dan sekutunya menjatuhkan sanksi terhadap Iran dan Kuba.
Ukuran dan peran ekonomi negara-negara itu jauh di bawah Rusia sekarang. Rusia kini adalah eksportir penting minyak, gas alam, batubara, gandum, pupuk, aneka logam dan mineral. Banyak negara menggantungkan hampir separuh pasokan kebutuhan mereka pada Moskwa. Akibat sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia, banyak negara kehilangan pemasok hampir separuh aneka kebutuhan mereka.
Perang juga membuat Ukraina kesulitan mengekspor aneka komoditas. Kyiv adalah pemasok besar aneka biji-bijian, minyak nabati, hewan ternak, dan sejumlah suku cadang otomotif sejumlah pabrik di Eropa. Di luar itu, tidak kalah penting, dunia amat terintegrasi karena GVC.
Dalam wawancara dengan Kompas pada April 2022, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengungkap kecemasan penggunaan ekonomi sebagai senjata baru. Sanksi itu mempertajam fenomena yang dikenal dalam tiga dekade terakhir: geoekonomi.
Konsep itu lekat dengan geopolitik. Negara-negara membentuk persekutuan berdasarkan kedekatan politik. Dampaknya, dunia akan tersekat-sekat. Tidak ada lagi globalisasi yang dicirikan kebebasan pergerakan orang, barang, dan modal.
Padahal, menurut Sri, pemulihan dari dampak pandemi Covid-19 membutuhkan kerja sama seluas-luasnya dengan melibatkan banyak negara. Adanya sekat dan pembatasan menyebabkan dunia kekurangan potensi modal dan kerja sama untuk memulihkan diri. Indonesia juga bisa terdampak.