Menjaga Keseimbangan Relasi Manusia, Hewan, dan Lingkungan
Pandemi Covid-19 menjadi bukti bahwa pola relasi manusia dengan hewan dan lingkungan yang eksploitatif, tidak seimbang, dan tidak berkelanjutan mampu menghadirkan ancaman kesehatan global yang berdampak luas.
Suasana Pasar Tomohon di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Minggu (29/7/2012). Di pasar ini banyak ditemukan penjual beragam jenis satwa liar untuk konsumsi.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan sekali lagi urgensi untuk memperbaiki relasi antara manusia, hewan, juga lingkungan. Tanpa ada perbaikan relasi tiga komponen yang menjadi fondasi dari One Health ini, umat manusia akan selalu berada di bawah ancaman penyakit menular.
Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia, kemudian menular antarmanusia, lalu kembali dari manusia ke hewan. Pandemi Covid-19 telah menjadi wabah terburuk seabad terakhir. Dari Januari 2020 hingga Desember 2021, sebanyak 5,94 juta orang dilaporkan meninggal karena Covid-19, tetapi jumlah kematian sesungguhnya mencapai 18,2 juta jiwa atau bisa lebih dari tiga kali lipat (The Lancet, 2022).
Data ilmiah menunjukkan bahwa Covid-19 berasal dari kelompok virus korona mematikan yang awalnya hanya menginfeksi kelelawar dan trenggiling di Asia dan Asia Tenggara sebelum kemudian terdeteksi menginfeksi manusia di Wuhan, China, pada pengujung 2019.
Sebelumnya, kita juga mengenal sindrom pernapasan akut parah (SARS) yang juga ditularkan oleh virus korona SARS-CoV-1. Sindrom ini mewabah di sejumlah negara pada tahun 2002-2004. Kajian genetika menemukan, virus korona ini awalnya berinang pada kelelawar tapal kuda dan melompat ke musang sebelum beralih ke manusia.
Tak hanya Covid-19 dan SARS, berbagai penyakit yang memicu epidemi atau pandemi rata-rata juga zoonosis, misalnya, flu Spanyol 1918, ebola, demam West Nile, dan HIV. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setiap tahun sekitar 2 juta orang, sebagian besar di negara berpenghasilan rendah dan menengah, meninggal karena penyakit zoonosis yang terabaikan.
Meningkatnya interaksi manusia-hewan telah memperkuat kemungkinan infeksi lintas spesies. Para ahli ekologi juga mencurigai adanya kaitan langsung antara merosotnya keanekaragaman hayati di alam dan meledaknya wabah, sebagaimana ditunjukkan dalam kajian Kate Jones, ahli ekologi dari University College London dan tim di jurnal Nature (2020).
Dengan menganalisis 6.800 lokasi di enam benua, Jones menemukan populasi spesies inang penyakit yang dapat menular ke manusia, termasuk 143 mamalia, seperti kelelawar, tikus, dan berbagai primata semakin meningkat seiring dengan perubahan hutan menjadi perkotaan. Ketika sebagian spesies di alam liar punah akibat ulah manusia, mereka yang bertahan dan berkembang itu cenderung menyimpan lebih banyak patogen dan parasit berbahaya.
Sains jelas menunjukkan, jika kita terus mengeksploitasi satwa liar dan menghancurkan ekosistem, kita bakal melihat aliran penyakit zoonosis melompat dari hewan ke manusia.
Baca juga : Hindari Konsumsi Daging Satwa Liar guna Turunkan Risiko Zoonosis
Keseimbangan relasi manusia-hewan-lingkungan kian terganggu. Globalisasi, urbanisasi, perubahan iklim, meningkatnya populasi penduduk, perubahan tata guna lahan, serta konsumsi dan penjualan satwa liar menjadi ancaman bagi keseimbangan itu.
Sementara laporan United Nations Environment Programme (UNEP) dan International Livestock Research Institute (ILRI) pada 2021 menyebutkan, sejumlah tren yang mendorong munculnya penyakit zoonosis adalah meningkatnya permintaan protein hewani, intensifikasi pertanian yang tidak berkelanjutan, meningkatnya eksploitasi satwa liar, dan krisis iklim.
Tak lagi sama
Kini, belum juga pandemi Covid-19 usai, kita dihadapkan pada ancaman cacar monyet yang sudah menyebar di 29 negara dengan lebih dari 1.000 kasus. Seperti penyakit zoonosis lain, penyakit ini awalnya hanya menjangkiti fauna.
”Pelajaran penting dari pandemi Covid-19, dunia semakin rentan dan tidak sama lagi dengan sebelumnya,” kata Dicky Budiman, epidemiolog dan peneliti kesehatan global dari Griffith University, Australia, Senin (20/6/2022).
Krisis iklim, pencemaran lingkungan, hingga penurunanan keragaman hayati telah menambah rentan kesehatan global. Realitas ini menuntut perubahan manusia yang berperan penting dalam memicu situasi yang sekarang tejadi. ”Dunia sudah berubah. Kalau mau bertahan, manusia juga harus mengubah perilaku dengan menerapkan pendekatan dan intervensi yang komprehensif dari One Health.” kata Dicky.
Baca juga : Pandemi Covid-19 Mengubah Dunia Kerja
Ketua Tim Kemitraan Indonesia-Australia untuk Keamanan Kesehatan John Leigh, dalam pertemuan The Second Health Working Group di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (8/6/2022), menyampaikan, dunia perlu melihat kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sebagai satu kesatuan.
Penyakit zoonosis umumnya menyebar di antara manusia, hewan, dan lingkungan ketika manusia dan hewan berinteraksi satu sama lain di lingkungan yang sama. Penyakit dapat ditularkan melalui makanan, air, vektor, kontak langsung dengan hewan, atau secara tidak langsung oleh kontaminasi lingkungan.
One Health yang oleh para ahli di One Health High-Level Expert Panel (OHHLEP) didefinisikan sebagai pendekatan terpadu untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan pun menjadi semakin penting.
One Health menjadi salah satu cara mengatasi berbagai masalah mendesak yang memengaruhi dunia saat ini.
Pendekatan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Pada simposium One World, One Health tahun 2004, para pakar kesehatan dunia melahirkan rekomendasi yang disebut dengan Manhattan Principles. Rekomendasi yang terdiri atas 12 poin penting itu intinya adalah menetapkan pendekatan yang lebih holistik untuk mencegah epidemi atau penyakit epizootik dan untuk menjaga integritas ekosistem demi keuntungan manusia, hewan, dan keanekaragaman hayati dasar yang mendukung kita semua.
”Pendekatan One Health sudah digagas sejak sebelum pandemi, namun saat itu belum sungguh-sungguh diterapkan. Lebih banyak jadi wacana akademis. Sekarang, kita butuh aksi lebih nyata,” kata Dicky.
Minim implementasi
Leigh mengungkapkan, sumber daya manusia dan pendanaan yang dimiliki untuk mengimplementasikan One Health masih minim. Setiap sektor pun masih bekerja sendiri-sendiri sehingga hasilnya tidak optimal. Padahal, penerapan One Health perlu dilakukan secara menyeluruh, multidisiplin, dan kolaboratif.
”One Health menjadi salah satu cara mengatasi berbagai masalah mendesak yang memengaruhi dunia saat ini. Seperti mencegah pandemi berikutnya, mencegah resistansi antimikroba, serta memastikan keamanan dan ketahanan pangan,” kata Leigh.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, menilai, pemahaman akan konsep One Health yang kurang menjadi salah satu kendala implementasinya. Bahkan, hingga saat ini belum ada terjemahan yang sesuai ke dalam bahasa Indonesia.
Kendala lain, belum ada target yang jelas soal penerapan One Health. Kebijakan penanggulangan zoonosis dengan pendekatan One Health yang telah diatur perlu dipastikan terimplementasi dengan baik. Semua pihak terkait perlu berkomitmen menjalankannya secara terpadu. Jangan sampai One Health hanya berhenti pada tataran konsep.
”Karena itu, jika di tingkat global antara WHO, FAO, OIE, dan UNEP sudah menyepakati adanya joint plan of action terkait One Health, itu harus diterjemahkan di tingkat nasional, bahkan sampai tingkat daerah beserta dengan target yang jelas,” kata Tjandra.
Perubahan perilaku
Dicky Pelupessi, psikolog dari Laboratorium Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan, Covid-19 telah memaksa kita untuk mengubah perilaku. Perubahan itu di antaranya mengurangi mobilitas, menjaga jarak fisik, memakai masker, dan mencuci tangan. Perubahan perilaku ini terbukti berperan penting dalam penanggulangan pandemi.
”Kita tahu bahwa perubahan itu juga sangat berguna, bahkan setelah pandemi Covid-19,” kata Pelupessi, yang juga Wakil Dekan Fakultas Psikologi UI dan pernah terlibat dalam Satuan Tugas Penangnanan Covid-19.
Baca juga : Protokol Kesehatan Kegiatan Berskala Besar Diperketat
Dia mencontohkan, perilaku mencuci tangan akan sangat berguna bagi kesehatan secara keseluruhan, terutama untuk mencegah penyakit yang ditularkan melalui makanan. Sementara memakai masker mengajarkan perilaku lebih peduli, bukan kehanya pada diri sendiri, melainkan kepada sesama. ”Misalnya, mereka yang punya gejala sakit pilek sebaiknya memang memakai masker untuk mencegah orang lain tertular. Untuk konteks saat ini, masker juga penting mencegah dampak polusi udara,” lanjutnya.
Sementara menurunkan mobilitas dan menggantinya dengan pertemuan virtual juga bisa membantu mengurangi emisi. ”Sebelum pandemi, akademisi termasuk penyumbang besar emisi dengan sering konferensi di mana-mana. Sekarang ada webinar, pertemuan daring, yang cukup efektif untuk jadi alternatif,” katanya.
Penasihat Senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Bidang Jender dan Pemuda Diah Saminarsih mengatakan, pandemi telah memaksa kita untuk mengubah perilaku ke arah yang lebih baik. Namun, kecenderungan untuk kembali seperti sebelum pandemi sangat besar.
”Tanpa ada kesadaran di level individu, yang kemudian dipermanenkan dalam kebijakan institusi, termasuk level negara, pandemi ini tidak akan mengubah budaya menjadi lebih baik dan ramah lingkungan,” katanya.
Sekarang, semuanya berada di tangan kita. Dengan mulai melandainya pandemi Covid-19, apakah kita mau berubah atau sebaliknya, kembali ke pola hidup lama yang jelas tidak sehat dan rentan memicu kembali berbagai masalah kesehatan global. Tak hanya mencegah pandemi berikutnya, memperbaiki relasi dengan makhluk hidup lain dan lingkungan juga perlu dilakukan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia sekaligus kelestarian lingkungan.