Pandemi Covid-19 Mengubah Dunia Kerja, Inilah Keterampilan yang Dibutuhkan
Pandemi dan percepatan adaptasi teknologi mengubah tuntutan kerja saat ini dan di masa depan. Selain kemampuan menggunakan teknologi, karyawan juga bakal dituntut memperkaya ”soft skill”.
Oleh
sekar gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan adaptasi teknologi saat pandemi Covid-19 diperkirakan bakal mengubah wajah dunia kerja. Karyawan akan membutuhkan keterampilan baru agar bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja baru, baik kemampuan teknis maupun nonteknis.
Karyawan swasta di bidang teknologi informasi, Frederick Alfhendra (24), tidak lagi bekerja dengan cara lama sesuai panduan perusahaan. Ia yang semula mengurus pemeliharaan sistem operasi klien kini punya tugas baru, yakni mengembangkan sistem operasi. Hal ini membuatnya harus belajar hal-hal baru dan memodifikasi cara kerjanya.
”Saya perlu tahu inovasi teknologi baru, mempelajari, mengimplementasikan, kemudian mempresentasikan teknologi itu. Jadi, harus update dengan teknologi terbaru yang ada,” kata Frederick di Jakarta, Minggu (28/2/2021).
Salah satu sumber pengetahuan tentang teknologi ia peroleh dari sesi transfer ilmu pengetahuan di kantor. Kantor pusatnya di Jepang akan mengadakan pertemuan daring untuk menjelaskan teknologi terbaru. Selanjutnya, karyawan akan diberi dokumen untuk belajar. Ia juga berguru kepada para senior di kantor.
”Selain hard skill seperti itu, menurutku, kita semua perlu punya soft skill (keterampilan personal dan interpersonal), misalnya kemampuan untuk ’menjual’ kemampuanmu kepada orang lain, baik kepada klien maupun atasan di kantor,” ucap Frederick.
Karyawan swasta Rizky P Ananda (26) menilai, ada soft skill baru yang dibutuhkan karyawan di masa pandemi. Salah satu kemampuan yang dimaksud adalah berpikir kreatif di tengah keterbatasan.
”Misalnya, kami dituntut membuat inisiatif yang ramah PSBB (pembatasan sosial berskala besar), membuat kampanye cashless (tanpa tunai), dan kampanye soal jaga jarak sosial,” kata Rizky yang bekerja di salah satu perusahaan teknologi.
Selain itu, ia juga merasa perlu belajar kemampuan manajemen waktu dan stres. Sebab, pola bekerja dari rumah membuat pekerjaannya bertambah banyak. Waktu istirahat dan bekerja di tempat indekos kerap tumpang-tindih. Bekerja hingga malam pun kadang tidak bisa dihindari.
Ia juga perlu belajar cara menjalin komunikasi dengan kolega secara daring. Tidak adanya pertemuan tatap muka membuat Rizky kesulitan memahami kepribadian seseorang. Hal ini rentan menimbulkan miskomunikasi saat bekerja sama.
Ia yang semula mengurus pemeliharaan sistem operasi klien kini punya tugas baru, yakni mengembangkan sistem operasi. Hal ini membuatnya harus belajar hal-hal baru dan memodifikasi cara kerjanya.
”Kami tidak bisa lagi berkomunikasi sambil makan siang atau basa-basi di kantor. Pembicaraan hanya lewat chat dan kesannya instruksional. Saya khawatir suasana kolaborasi nanti jadi tegang dan rentan miskomunikasi,” tutur Rizky.
Karyawan swasta di bidang pemasaran digital, Jason (23), juga merasa bahwa karyawan perlu belajar manajemen stres. Sebab, dia kerap menerima pekerjaan dengan tenggat yang dinilai tidak realistis selama pandemi. ”Orang berekspektasi kita bekerja cepat karena kerjanya di rumah. Padahal, kan, tidak begitu,” katanya.
Disrupsi teknologi
Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) melalui ”The Future of Jobs Report 2020” memprediksi ada 85 juta pekerjaan hilang digantikan mesin. Pada saat yang sama, 97 juta pekerjaan baru akan muncul dengan membagi pekerjaan antara manusia dan mesin.
Beberapa pekerjaan yang hilang, antara lain, adalah layanan konsumen, petugas kasir, serta akuntan dan auditor. Sementara lowongan pekerjaan bagi analis dan datascientist, spesialis kecerdasan buatan dan mesin pembelajar, pemasar digital, dan sebagainya akan terbuka luas.
Kendati pekerjaan berbasis teknologi informasi akan semakin banyak di masa depan, kemampuan ”manusiawi” tetap dibutuhkan. Keterampilan manajemen emosi, stres, dan waktu dibutuhkan.
Menurut ”The Future of Jobs Report 2020” oleh WEF, ada 15 keterampilan yang paling dicari pada 2025. Hanya dua yang termasuk keterampilan teknis. Pertama, menggunakan, memantau, dan mengontrol teknologi. Kedua, melakukan desain teknologi dan pemrograman.
Kami tidak bisa lagi berkomunikasi sambil makan siang atau basa-basi di kantor. Pembicaraan hanya lewat chat dan kesannya instruksional. Saya khawatir suasana kolaborasi nanti jadi tegang dan rentan miskomunikasi.
Sebanyak 13 kemampuan lain bersifat nonteknis. Beberapa di antaranya adalah berpikir kritis dan analitis, aktif belajar, penyelesaian masalah, inovasi, kreativitas, kepemimpinan, ketahanan, penalaran, kecerdasan emosi, serta persuasi dan negosiasi.
”Inovasi teknologi yang mendefinisikan era kita saat ini dapat dimanfaatkan untuk mengeluarkan potensi manusia. Kita punya sarana untuk melatih kembali atau meningkatkan keterampilan seseorang. Ini untuk melindungi pekerja dari kemelaratan dan mengarahkan mereka ke pekerjaan di mana mereka bisa berkembang,” ucap Executive Chairman WEF Klaus Schwab.
Adapun menurut survei oleh SurveySensum, sebanyak 72 persen tenaga kerja harus menggunakan keterampilan baru agar dapat bertahan saat pandemi. Ini berdasarkan survei terhadap 540 karyawan perusahaan di posisi CEO, vice president, direktur, dan manajer. Hasil survei dirangkum dalam laporan 2021Employee Engagement Report.
Survei juga menunjukkan bahwa 33 persen keterampilan yang digunakan karyawan pada 2018 tidak akan berguna pada 2021. Adapun 74 persen karyawan percaya mereka butuh meningkatkan keterampilan agar bisa bertahan di masa depan.