Mendekatkan Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan digital telah membantu mengatasi kendala yang dihadapi dalam pelayanan di masyarakat selama masa pandemi. Lewat teknologi, sistem pelayanan antara tenaga kesehatan dan pasien bisa terhubung kembali.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F24%2Fcd062d56-e2fa-401d-a6be-75eaad2c21cf_jpeg.jpg)
Seorang petugas memberi contoh cara memilih dokter untuk berkonsultasi melalui aplikasi Halodoc, Kamis (21/4), di Djakarta Theater XXI, Jakarta Pusat. Teknologi daring memungkinkan pengguna berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan informasi awal yang tepat terkait penyakit serta penanganannya.
Selama dua tahun terakhir, semua orang selalu membicarakan Covid-19. Semua pelayanan pun terganggu akibat penularan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 tersebut. Hal itu bahkan juga terjadi pada pelayanan kesehatan.
Rumah sakit, puskesmas, dan fasilitas kesehatan lain hanya berfokus pada pasien Covid-19, terutama saat kasus melonjak tajam. Hampir semua rumah sakit dipenuhi dengan pasien Covid-19. Padahal, pasien yang harus dirawat tidak hanya yang tertular Covid-19.
Indonesia masih dihadapkan dengan penyakit lain yang jumlahnya juga sangat besar, seperti penyakit jantung, kanker, stroke, tuberkulosis, HIV, serta kesehatan jiwa. Pasien dengan penyakit tersebut memerlukan perawatan rutin yang juga harus segera ditangani.
Namun, pandemi seperti memutus akses layanan kesehatan esensial. Banyak pasien penyakit kronis akhirnya memilih tidak datang ke fasilitas kesehatan. Selain karena keterbatasan layanan, para pasien enggan datang ke rumah sakit karena khawatir tertular Covid-19.
Hal itu terlihat dari data yang dihimpun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terkait pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Pada tahun 2019, jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas, dokter praktik perorangan, dan klinik pratama mencapai 180,4 juta kunjungan. Namun, jumlah itu menurun pada 2020 menjadi 146,1 juta kunjungan.

Pelayanan BPJS Kesehatan 2017-2021
Kunjungan rawat jalan pun menurun dari 84,7 juta kunjungan pada 2019 menjadi 69,6 juta kunjungan pada tahun 2020. Kondisi serupa terjadi pada kasus rawat inap di rumah sakit. Pada 2019, kasus rawat inap di rumah sakit sebesar 11,0 juta kasus. Namun, pada 2020, kasus rawat inap menurun menjadi 9 juta kasus.
Data tersebut menunjukkan banyak pasien yang menunda untuk mengakses layanan kesehatan selama masa pandemi. Artinya, banyak pasien yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan atas penyakit yang dideritanya.
Baca juga: Digitalisasi dan Kecepatan Jaringan Internet Bantu Perkuat Layanan Kesehatan
Karena itu, pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran semua pihak agar pelayanan kesehatan esensial berjalan meski dalam kondisi darurat atau krisis. Semua masyarakat dalam kondisi apa pun dan di mana pun mereka tinggal semestinya tetap bisa mendapat layanan kesehatan yang aman dan bermutu. Hal itu juga diartikan dalam cakupan kesehatan semesta atau universal health coverage (UHC).
“Telemedicine”
Berbagai inovasi pun akhirnya dikembangkan untuk memastikan masyarakat bisa kembali mendapatkan pelayanan kesehatan. Pelayanan telemedicine menjadi salah satu inovasi yang dimanfaatkan.
Melalui layanan tersebut, pasien dan dokter dimungkinkan untuk bisa berhubungan tanpa bertatap muka. Layanan ini digunakan sebagai layanan konsultasi dan tata laksana pasien secara jarak jauh. Pasien penyakit kronis atau penyakit lainnya bisa kembali terhubung dengan layanan kesehatan melalui layanan telemedicine.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F11%2F24%2Fbe6ed1f6-4885-4b40-81c9-be4ff7634202_jpg.jpg)
Suasana layanan pemeriksaan kesehatan gratis pada acara IDI untuk Indonesia (IDINESIA) di Pintu Lima, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (24/11). Selain pemeriksaan kesehatan umum, cek dan konsultasi stunting serta kesehatan reproduksi remaja juga digelar gratis.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), terdapat 21.500 dokter umum dan 4.500 dokter spesialis yang bergabung di aplikasi Alodokter, 12.000 dokter umum dan 8.000 dokter spesialis di Halodoc, ada 9.000 dokter umum dan 2.000 dokter spesialis di Klikdokter, serta 10.000 dokter umum dan 2.500 dokter spesialis bergabung di Good Doctor.
Jumlah penggunaan layanan telemedicine selama masa pandemi meningkat signifikan. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatatkan adanya lonjakan kunjungan ke aplikasi layanan kesehatan jarak jauh hingga 600 persen selama masa pandemi Covid-19.
Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan David Bangun di Jakarta, Rabu (22/6/2022), menuturkan, layanan telekonsultasi melalui Mobile JKN menjadi inovasi yang dibangun untuk mengatasi kendala layanan selama masa pandemi. Layanan ini mampu menghubungkan dokter yang berada di FKTP dengan peserta JKN-KIS.
Setidaknya sudah ada 10.000 dokter FKTP yang terhubung dalam layanan tersebut. Selain lewat aplikasi Mobile JKN, dokter juga dapat terhubung melalui layanan telepon, Whatsapp, SMS, dan konferensi video dalam memberikan layanan telekonsultasi.
Layanan ini diberikan bagi peserta yang sakit ataupun yang sehat, antara lain edukasi upaya pencegahan penyebaran Covid-19, pemantauan status kesehatan peserta kronis, termasuk pemantauan status kesehatan peserta JKN-KIS dengan kondisi isolasi mandiri Covid-19. Pembiayaan pelayanan telekonsultasi di FKTP termasuk dalam komponen kapitasi FKTP.

”BPJS Kesehatan juga mengembangkan uji coba telemedicine antara FKTP dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit di sejumlah wilayah Indonesia,” kata David.
Dengan adanya telemedicine tersebut, dokter spesialis bisa melakukan transfer ilmu kepada dokter layanan primer (telementoring). Dengan begitu, dokter layanan primer dapat semakin optimal dalam memberikan layanan kesehatan bagi pasien JKN-KIS secara berkesinambungan.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi di Jakarta, Selasa (21/6/2022), mengatakan, layanan telemedicine juga dapat dimanfaatkan untuk menjaga relasi antara masyarakat dan dokter dalam pelayanan kesehatan. Layanan ini sebenarnya bukan hal baru. Namun, pandemi telah mengakselerasi perkembangan layanan kesehatan jarak jauh tersebut.
Baca juga: Jaga Momentum Percepatan Transformasi Sistem Kesehatan Nasional
”Teknologi dalam pelayanan kesehatan ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses di masyarakat,” katanya.
Keterbatasan akses tersebut termasuk pada tidak meratanya jumlah fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan di Indonesia. Jumlah dokter per kapita di Indonesia baru mencapai 4 per 10.000 penduduk, masih jauh di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mencapai 10 per 10.000 penduduk atau satu per 1.000 penduduk di tiap negara.
Teknologi dalam pelayanan kesehatan ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses di masyarakat.
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah sumber daya manusia kesehatan di Indonesia pada 2020 sebanyak 1.463.452 orang yang terdiri dari 1.072.679 orang tenaga kesehatan (73,30 persen) dan 390.773 orang tenaga penunjang kesehatan (26,70 persen). Dari jumlah itu, tenaga medis di Indonesia sebanyak 124.449 orang, dengan proporsi terbanyak sebesar 55 persen merupakan tenaga dokter.

Namun, maladistribusi terjadi pada tenaga medis. Sebanyak 61,12 persen tenaga medis berada di Pulau Jawa-Bali dengan jumlah terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat (17.032 orang), DKI Jakarta (16.754 orang), dan Jawa Timur (15.396 orang). Adapun provinsi dengan tenaga medis paling sedikit adalah Kalimantan Utara (483 orang), Papua Barat (484 orang), dan Sulawesi Barat (489 orang). Ketimpangan ini semakin besar pada ketersediaan dokter spesialis.
Adib menyampaikan, meski telemedicine dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan layanan kesehatan, peningkatan jumlah tenaga kesehatan harus tetap menjadi prioritas utama. Pasalnya, pemeriksaan fisik tetap menjadi standar yang dibutuhkan dalam diagnosis pasien.
”Regulasi juga harus dipastikan diperkuat terlebih dahulu sebelum memperluas pemanfaatan layanan telemedicine. Ini diperlukan untuk menjaga keamanan pasien serta menjaga etika dokter. Batasan-batasan tertentu tetap dibutuhkan dalam pelayanan jarak jauh,” ujarnya.
Baca juga: Digitalisasi Kesehatan untuk Pemerataan Akses
Chief of Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Setiaji mengatakan, Kemenkes telah meluncurkan cetak biru Strategi Transformasi Digital Kesehatan 2024. Teknologi dalam layanan kesehatan di Indonesia pun akan berubah. Pada 2024 ditargetkan Indonesia sudah mampu mewujudkan sistem layanan kesehatan berbasis teknologi digital.
Sejumlah tahapan pun telah dirumuskan, antara lain dengan mengembangkan integrasi data kesehatan berbasis individu. Setelah itu, integrasi aplikasi-aplikasi dari seluruh layanan kesehatan juga akan dilakukan secara bertahap.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2Fb48032bc-5bee-4065-abd5-2fb8d381faf4_jpg.jpg)
Warga yang menggunakan kursi roda menuju ke salah satu loket layanan BPJS Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (23/11/2021). Dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, BPJS Kesehatan mengupayakan kemudahan pelayanan dengan pemanfaatan layanan digital.
”Kami menargetkan sampai tahun 2024 mengintegrasikan (data) fasilitas kesehatan, yang berjumlah lebih kurang 60.000 fasilitas layanan kesehatan, mulai dari apotek, laboratorium, rumah sakit, puskesmas, hingga klinik dokter umum. Itu akan kami integrasikan sehingga masyarakat bisa mendapatkan rekam medis pribadi. Pasien pun akan lebih mudah ketika berobat,” tuturnya.
Setiaji mengatakan, transformasi kesehatan digital yang dibangun Kemenkes diharapkan memberikan layanan kesehatan lebih baik lagi kepada masyarakat sehingga pasien mendapat penanganan lebih cepat dan merata. Riwayat pengobatan pasien juga dapat dipantau dengan rinci dan runtut meski berobat di rumah sakit berbeda.
Percepatan transformasi digital kesehatan ini amat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu dan kuantitas layanan kesehatan di masyarakat. Lewat teknologi, masyarakat pun bisa kembali terhubung dengan layanan kesehatan. Meski begitu, perlu disadari bahwa wilayah Indonesia yang luas dan beragam menjadi tantangan yang dihadapi.
Akses internet yang merata perlu menjadi prioritas untuk mendukung transformasi digital kesehatan. Di sisi lain, regulasi yang kuat juga diperlukan untuk memastikan keamanan dan keselamatan pasien, juga sumber daya manusia kesehatan yang melayani.