Kunjungan Wisatawan, Pemicu Terbesar Kerusakan Candi Borobudur
Kunjungan wisatawan secara masif yang berlangsung sebelum pandemi menjadi faktor dominan pemicu kerusakan batuan Candi Borobudur. Oleh karena itu, perlu ada upaya pembatasan kunjungan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
MAGELANG, KOMPAS- Selain karena faktor alam termasuk faktor usia bangunan, kerusakan bangunan Candi Borobudur juga dipicu dari faktor luar. Faktor eksternal yang dominan memicu kerusakan adalah kunjungan massal wisatawan tanpa kendali sebelum Pandemi Covid-19.
Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB) Wiwit Kasiyati, mengatakan, tidak hanya sekedar gesekan alas kaki yang memicu batuan, kerusakan pun terjadi karena kunjungan wisatawan secara massal ini juga dibarengi perilaku mereka yang sering melakukan aksi vandalisme dan membuang sampah sembarangan. Wisatawan juga tak segan naik ke atas stupa dan melakukan apa saja, asalkan bisa berfoto dengan sudut terbaik di atas bangunan candi.
“Rata-rata kunjungan wisatawan sama sekali tidak memiliki nilai atau tujuan edukasi. Mereka hanya beramai-ramai datang, buru-buru naik ke atas stupa, hanya untuk tujuan foto belaka,” ujarnya, Jumat (24/6/2022) di Magelang, Jateng.
Maraknya aksi perusakan terjadi paa tahun 2000 ketika banyak wisatawan membuang aneka macam sampah di segala sisi di bangunan candi. Mereka juga mencorat-coret, menggambar ataupun menulis nama di batu candi dengan spidol atau cat semprot. Kunjungan masif ini tidak terbayangkan akan menimbulkan dampak seperti kondisi sekarang.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio Atmodjo mengatakan, permasalahan yang membelit Candi Borobudur, memang sangat kompleks termasuk di dalamnya perihal perilaku pengunjung. Tidak sekedar mencorat-coret batuan ataupun membuang sampah sembarangan, sebagian wisatawan pun membuang “sampah” dari tubuhnya, dengan pipis seenaknya di bangunan candi.
“Di atas Candi Borobudur yang semestinya dihormati sebagai bangunan suci, beberapa orangtua justru seenaknya menyuruh anak-anaknya pipis di lantai candi,” ujar Junus yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Budaya dan Pariwisata ini.
Di atas bangunan suci tersebut, pengunjung diduga seringkali melakukan tindakan tercela. Di lorong-lorong candi misalnya, beberapa pengunjung laki-laki diduga melakukan pelecehan seksual pada wisatawan perempuan.
Pengendalian pengunjung
Isni Wahyuningsih, koordinator kelompok kerja (Pokja) Dokumentasi dan Publikasi BKB mengutarakan, pembatasan wisatawan mendesak diperlukan demi mengangkat dan mengungkap nilai penting Candi Borobudur sebagai benda cagar budaya, warisan budaya dunia, yang sebenarnya memiliki nilai pembelajaran luar biasa.
“Selama ini, nilai-nilai budaya, sejarah dari nenek moyang bangsa tidak pernah diperhatikan dan cenderung diabaikan karena sebagian wisatawan hanya datang untuk rekreasi dan selfie (swafoto),” ujarnya.
Setiap dua hingga tiga tahun sekali, menurut dia, BKB rutin melakukan survei terkait niat dan kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur. Pada survei terhadap 300 wisatawan di tahun 2018 misalnya, pengakuan hanya ingin berekreasi ini sempat diungkapkan oleh 60 persen pengunjung, dan sebagian besar dari mereka bahkan tidak mengetahui status Candi Borobudur sebagai situs budaya warisan dunia.
Kondisi ini juga dibuktikan oleh survei yang sempat dilakukan UNESCO pada tahun 2003 dan 2006, di mana ketika itu banyak wisatawan atau responden, mengaku tidak memiliki pengalaman kunjungan di Candi Borobudur. Karena hanya melihatnya sebagai objek wisata semata, banyak wisatawan, tidak memetik pelajaran atau nilai apa pun dari Candi Borobudur.
BKB juga telah melakukan kajian dan menghitung bahwa batasan ideal jumlah pengunjung Candi Borobudur dalam satu hari, adalah 1.259 orang. Selain demi alasan kelestarian candi dengan mempertimbangkan daya tampung bangunan candi, angka ini juga ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor kenyamanan kunjungan, di mana pada kondisi tersebut, wisatawan bisa benar-benar belajar tentang nilai-nilai luhur dari Candi Borobudur.
Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan BKB Bramantara, mengatakan, keausan dan kerusakan batuan yang cukup signifikan terjadi pada batuan candi di bagian tangga. Hal ini antara lain terlihat dari permukaan dari sebagian batu tangga yang terlihat cekung.
“Di sejumlah titik, ada permukaan batuan candi yang cekung, tergerus hingga lima sentimeter dari kondisi awal,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan dan pengukuran yang dilakukan sejak tahun 1984 hingga 2021, bangunan Candi Borobudur juga telah ambles sedalam dua sentimeter dari permukaan. Selain karena dipengaruhi oleh kestabilan tanah bukit serta beban atau kestabilan batuan termasuk campuran beton yang ada di sebagian struktur bangunan, kestabilan ini juga dipengaruhi oleh derasnya aliran pengunjung yang terus berdatangan tanpa dibatasi.
Dengan melihat kondisi ini, Bramantara mengatakan, bangunan Candi Borobudur mendesak untuk dijaga dan dilestarikan. Upaya penjagaan ekstra perlu dilakukan khusus di teras 1, 2, dan 3 karena di lokasi, struktur batuan candi tidak diperkuat dengan campuran beton.
“Teras 1,2, dan 3 menjadi daerah yang paling rawan rusak sementara tiga terus tersebut juga sekaligus menjadi sasaran utama kunjungan turis, terutama mereka yang ingin berswafoto,” ujarnya.
BKB sudah melakukan banyak kajian untuk menjaga kelestarian batuan candi, dan salah satunya dilakukan dengan membuat upanat, sandal khusus bagi pengunjung yang akan naik ke bangunan candi.
Dampak kerusakan dari faktor internal seperti usia bangunan candi yang sudah tua, memang sulit dihindari. Namun, faktor manusia seperti kunjungan wisatawan, menjadi sesuatu hal yang harus dicegah dan diantisipasi.
Terkait hal itu, Wiwit menuturkan, BKB saat ini sudah menyusun SOP (prosedur standar operasi) yang harus dipatuhi pengunjung saat bangunan Candi Borobudur kembali dibuka. Dalam SOP ditetapkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan ke bangunan candi dibatasi sebanyak 1.259 orang per hari. Setiap pengunjung yang naik juga wajib mengenakan sandal upanat dan didampingi pemandu wisata bersertifikat.
Selain itu, BKB juga berencana mengembangkan lima situs agar nantinya bisa menjadi wisata alternatif selain Candi Borobudur. Adapun, enam situs tersebut adalah situs Candi Samberan di Desa Ringinanom di Kecamatan Tempuran, Situs Plandi di Desa Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan, Situs Brongsongan di Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur, Situs Dipan di Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, serta situs makam Belanda atau Kherkoff di Kecamatan Mungkid. Dalam waktu dekat, BKB berencana melakukan negosiasi, pembicaraan terkait pembebasan tanah untuk kebutuhan pembangunan fasilitas umum di masing-masing situs.