Melindungi Candi dari Dampak "Bom" Wisatawan
Tahun 1985, ledakan bom menghancurkan sembilan stupa Candi Borobudur. Kini, warisan dunia itu kembali terancam oleh kunjungan massal wisatawan.
Werdi (69), salah seorang pensiunan pegawai Balai Konservasi Borobudur (BKB) masih ingat bagaimana rumitnya menyusun kembali sembilan stupa yang hancur berkeping-keping akibat teror bom pada 21 Januari 1985. Kerumitan itu ia temui lagi ketika harus merapikan batu antefik yang jatuh dari pagar langkan akibat ulang pengunjung.
“Menyusun kembali kepingan batu antefik tersebut adalah pekerjaan yang sungguh rumit, menyerupai kerumitan saat saya terlibat dalam pembenahan sembilan stupa yang juga hancur berkeping-keping akibat teror bom di tahun 1985,” ujarnya pekan lalu.
Pagar langkan Candi Borobudur kerap dinaiki wisatawan saat berswafoto. Diduga, batu itu tergeser dari tempatnya karena menjadi tumpuan tangan pengunjung saat turun.
Batu-batu lain yang diletakkan tanpa pengikat juga sering menjadi sasaran keisengan pengunjung. Werdi beberapa kali harus mengangkat batu dari pagar langkan yang dibawa pengunjung turun ke lantai, berpindah sekitar 5-10 meter dari lokasinya semula. Batu-batu yang dipindahkan adalah batu berelief.
Karena berulangkali terjadi, BKB kemudian mengamankannya dengan menambahkan batu-batu baru di sisi kiri dan kanan batu-batu berelief itu. “Dengan meletakkan batu-batu baru, maka batu-batu berelief tersebut sulit untuk digeser dan diangkat-angkat lagi,” ucapnya.
Jika Werdi terlibat menangani dampak dari perilaku pengunjung, para petugas satuan pengamanan (satpam) di zona I kawasan Candi Borobudur harus berjibaku, berusaha mencegah terjadinya perilaku dan tindakan pengunjung yang berpotensi merusak candi.
Mencegah dengan peringatan, tentu saja tidak selalu berdampak seperti yang diharapkan. Trijoko (43), yang sudah 24 tahun bertugas sebagai satpam, mengatakan, saat diperingatkan, terkadang wisatawan seringkali berbalik marah, tidak bisa menerima teguran tersebut.
“Karena merasa sudah mengeluarkan uang untuk membeli tiket, sejumlah pengunjung kemudian seringkali merasa mereka berhak untuk melakukan apa saja sebagai bagian dari aktivitas wisata mereka,” kata dia.
Pelanggaran yang kerap dilakukan pengunjung antara lain adalah naik, duduk dan berfoto-foto di atas stupa. Aktivitas ini bisa dengan santai dilakukan sekalipun di dekatnya sudah diletakkan papan bertuliskan larangan untuk naik ke atas stupa.
M Zuhad (46), satpam lainnya, mengatakan, dirinya pun kerap menemui kondisi serupa. Dia selalu berupaya mengawasi perilaku wisatawan. Namun, pemantauan tidak selalu mudah dilakukan, terutama saat masa liburan seperti saat libur Lebaran atau pun liburan kenaikan kelas.
“Saat ramai pengunjung, kami pun kesulitan untuk melakukan pengawasan karena untuk naik ke atas bangunan candi saja, kami terjepit, terhalang, oleh ramainya kerumunan pengunjung di setiap alur tangga,” ujarnya.
Saat musim liburan dan ramai pengunjung, satpam pun juga dikerahkan untuk membersihkan sampah yang ditinggalkan pengunjung. Zuhad mengatakan, sampah kerap ditemuinya di berbagai sudut, seperti di jalan, tangga, lorong, hingga sela-sela batu candi. Adapun, jenis sampah yang ditinggalkan beragam mulai dari sisa makanan seperti nasi, kertas, plastik, tisu hingga popok bayi.
Dia juga sempat menemukan banyak botol mineral bekas yang masih berisi cairan. Belakangan, setelah dibuka, botol tersebut ternyata berisi air kencing dari pengunjung.
“Entah mungkin karena tidak mengetahui letak toilet atau karena ingin buang air kecil tapi tidak bisa segera turun, sejumlah pengunjung ternyata sembunyi-sembunyi mengeluarkan air seninya dalam botol bekas minuman,” ujarnya.
Sebelum menjadi satpam, Zuhad juga sempat 10 tahun bekerja di Kelompok Kerja (Pokja) Pemeliharaan BKB. Di Pokja tersebut, dia pun merasakan betul sulitnya mengambil sisa permen karet yang menempel pada batu candi. Setelah selesai diambil, dia pun tahu bahwa sisa permen karet tersebut tetap saja meninggalkan bekas warna putih yang sulit dihilangkan.
Baca juga : Merajut Harmoni di ”Negeri 1.001 Candi”
Batu belaka
Terlibat dalam proses pemugaran, Werdi tahu betul susahnya menyusun batuan Candi Borobudur. Ibarat menyusun “puzzle” raksasa, dia harus memikirkan kesesuaian setiap batu dengan batu lain, dan di mana lokasi, atau posisi untuk meletakkannya.
Dia menyebut proses penyusunan tersebut rumit luar biasa.“Dalam proses penyusunan tersebut, saya seringkali tidak bisa tidur berhari-hari, bingung menentukan sejumlah batu harus disusun dan diletakkan di mana,” ujarnya.
Rangkaian kesulitan yang dilaluinya selama proses pemugaran, diakuinya semakin menyadarkan betapa Candi Borobudur sungguh merupakan sebuah maha karya. Ketika untuk menyusun batuan saja sudah rumit, maka dia pun membayangkan bahwa pekerjaan memahat relief, patung, serta menata batu candi, sungguh merupakan aktivitas yang luar biasa.
“Dengan semua aktivitas yang serba dilakukan manual di masa lalu, bagaimana kemudian warga di jaman itu bisa membawa, menata batu sebesar stupa ke puncak candi saja, sungguh merupakan pekerjaan besar, yang sulit saya bayangkan,” ujarnya.
Oleh karena itulah, sejak masih aktif bekerja hingga purna, dia pun kerap sedih mendengar cerita tentang perilaku pengunjung yang kerap seenaknya.
“Pengunjung berperilaku seenaknya karena banyak dari mereka menganggap bahwa batu-batu candi adalah sekedar batu biasa,” ujarnya.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Marsis Sutopo, mengatakan, dengan mempertimbangkan kondisi Candi Borobudur, pembatasan pengunjung menjadi hal yang mendesak harus dilakukan.
Marsis yang sebelumnya pernah 11 tahun menjabat sebagai kepala BKB mengatakan, dari perhitungan space capacity atau daya tampung, yang pernah dibuat sebelumnya, Candi Borobudur, dalam satu waktu tertentu, hanya mampu menampung 128 orang. Dengan tanpa memperhitungkan faktor pemulihan, daya tampung candi bisa didesak untuk menampung wisatawan hingga batasan maksimal sebanyak 1.391 orang.
Sebelum pandemi dan kunjungan ke candi ditutup, batasan pengunjung sama sekali tidak pernah diperhatikan. Di hari-hari biasa, rata-rata kunjungan berkisar 3.000-4.000 orang per hari.
Pada musim liburan panjang seperti libur Lebaran, pengunjung, dengan segala polah tingkahnya, dibiarkan masuk, membeludak, hingga jumlah wisatawan mencapai lebih dari 50.000 orang per hari. Interaksi dengan pengunjung, terutama gesekan dari alas kaki wisatawan di tangga, menjadi salah satu faktor yang memicu kerusakan dan keausan batuan candi.
Masalah penanganan ataupun pelestarian Candi Borobudur semestinya tidak dianggap main-main, karena candi ini ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Pengembangan, pemanfaatan candi dan kawasan sekitarnya, juga diatur oleh 11 peraturan mulai dari surat keputusan menteri, peraturan presiden hingga undang-undang.
Di luar itu, faktor lain dari internal kondisi batuan juga turut menjadi pemicu kerusakan. Sebagian batuan misalnya, memang diberi lapisan kedap air. Namun, saat ada bagian yang bocor, maka air tetap saja merembes ke luar hingga ke relief. Dalam kondisi di lapangan, dampak kerusakan batuan candi ini terlihat dari kondisi relief yang lembap, ditumbuhi lumut dan terlihat menghitam, lebih hitam dari relief di sekitarnya.
Baca juga : Borobudur, Antara Intervensi Pemerintah dan Ancaman Hilangnya "Jati Diri"
Koordinator Kelompok Kerja Pemeliharaan BKB, Bramantara menambahkan, keausan dan kerusakan batuan yang cukup signifikan terjadi pada batuan candi di bagian tangga. Hal ini antara lain terlihat dari permukaan dari sebagian batu tangga yang terlihat cekung.
“Di sejumlah titik, ada permukaan batuan candi yang cekung, tergerus hingga lima sentimeter dari kondisi awal,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan dan pengukuran yang dilakukan sejak tahun 1984 hingga tahun 2021, bangunan Candi Borobudur juga telah ambles sedalam dua sentimeter dari permukaan. Selain karena dipengaruhi oleh kestabilan tanah bukit serta beban atau kestabilan batuan termasuk campuran beton yang ada di sebagian struktur bangunan, kestabilan ini juga dipengaruhi oleh derasnya aliran pengunjung yang terus berdatangan tanpa dibatasi.
Dengan melihat kondisi ini, Bramantara mengatakan, bangunan Candi Borobudur mendesak untuk dijaga dan dilestarikan. Upaya “penjagaan ekstra” bahkan perlu dilakukan khusus di teras 1, 2, dan 3 karena di lokasi, struktur batuan candi tidak diperkuat dengan campuran beton.
“Teras 1,2, dan 3 menjadi daerah yang paling rawan rusak sementara tiga terus tersebut juga sekaligus menjadi sasaran utama kunjungan turis, terutama mereka yang ingin berswafoto,” ujarnya.
BKB sudah melakukan banyak kajian untuk menjaga kelestarian batuan candi, dan salah satunya dilakukan dengan membuat upanat, sandal khusus bagi pengunjung yang akan naik ke bangunan candi.
Melestarikan candi memang memerlukan perhatian dan keterlibatan semua pihak. Terlebih, Di tengah berbagai pemanfaatan, salah satunya wisata, pelestarian menjadi kata kunci yang harus diperhatikan.