Merajut Harmoni di ”Negeri 1.001 Candi”
Indonesia kaya akan warisan arkeologi berupa candi. Selain jejak sejarah, di setiap bangunan candi, terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang terus bisa direfleksikan hingga selalu terjalin harmoni.
Tarik ulur wacana kenaikan tarif naik Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, menyadarkan kembali betapa kaya bangsa ini akan warisan cagar budaya benda tersebut. Bahkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013 memopulerkan julukan ”Negeri 1.001 Candi”.
Riwayat candi-candi di Indonesia pun menarik. Mulai dari yang diperkirakan sebagai kompleks terluas di Asia Tenggara atau mengalahkan Angkor Wat di Kamboja, hingga yang dibangun dengan kisah bermuatan nilai-nilai toleransi.
Hanya, banyak warga masih memperlakukan candi sebatas obyek wisata. Perilakunya pun terkadang semau-maunya. Padahal, di dalam candi terkandung sejarah, budaya, nilai-nilai kemanusiaan, ataupun agama. Mengenal candi, sama dengan memahami akar bangsa.
Candi Tertinggi di Dieng
Perbukitan hijau berselimut kabut terhampar di sekitar pelataran kompleks Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Dibangun di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, warisan purbakala tersebut adalah situs candi tertinggi di Indonesia.
Kompleks Candi Arjuna terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Di kawasan seluas satu hektar ini, terdapat lima candi, yakni Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Berada di dataran tinggi, kompleks Candi Arjuna menawarkan lansekap indah berupa deretan candi yang warna pekatnya kontras dengan langit biru saat cerah. Pada awal musim kemarau, rumput pelataran candi kerap diselimuti embun es.
”Pengunjung yang ingin menikmati keindahan candi cukup berfoto di sekitarnya, tidak perlu masuk karena memang gelap. Namun, jika untuk penelitian dan belajar sejarah bisa masuk karena di sana ada somasutra,” kata Arkeolog Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara Aryadi Darwanto, Senin (13/6/2022).
Somasutra adalah saluran air suci kuno yang dulu dipakai dalam peribadatan oleh pendeta Hindu. Adapun kompleks Candi Arjuna dibangun sekitar abad ke-8 oleh Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno. Selain kompleks ini, ada beberapa candi lain di Dieng. Berdasarkan temuan arkeologi, nama Dieng berasal dari bahasa sansekerta. ”Di” berarti gunung, atau tempat tinggi, serta ”Hyang” berarti dewa atau dewi, sehingga Di Hyang dapat diartikan kawasan pegunungan tempat semayam para dewa.
Dari sejumlah bukti arkeologis, Dieng telah menjadi kawasan keagamaan serta pendidikan yang cukup besar pada era Mataram Kuno. Sekitar abad ke-15, Dieng mulai ditinggalkan komunitas masyarakatnya, seiring melemahnya pengaruh Hindu di Jawa dan faktor alam.
Sama seperti Candi Borobudur, di kompleks Candi Arjuna juga didapati keausan pada batuannya, terutama di bagian tangga. Beberapa tahun terakhir, pengelola melarang pengunjung masuk ke dalam candi. Selain memasang batas larangan, dua petugas selalu berjaga memantau aktivitas pengunjung.
Saat ini, tiket masuk kawasan Candi Arjuna sebesar Rp 20.000. Dengan membeli tiket itu, pengunjung juga sudah bisa masuk ke situs lain termasuk Kawah Sikidang.
Baca Juga: Harmoni di Dieng, ”Negeri Para Dewa”
Tertua di Batujaya
Kompleks percandian Batujaya di Karawang, Jawa Barat, sejauh ini disebut tertua di Indonesia. Melalui metode isotop Carbon-14, kawasan candi Buddha ini dibangun abad ke-6 hingga ke-7, dilanjutkan abad ke-9 hingga ke-10.
Situs seluas 337 hektar ini berada di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya. Letak candi berbahan batu bata ini sekitar 40 kilometer dari pusat kota Karawang. Harga tiket masuk yakni Rp 5.000.
Walaupun diperkirakan memiliki total 36 situs, baru Candi Jiwa berukuran 19 meter x 19 meter dan Candi Blandongan (25,33 meter x 25,33 meter) yang diekskavasi. Setidaknya terdapat 10 juru pelihara bekerja sama merawat kawasan itu. Kompleks ini juga dilengkapi gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya Situs Batujaya. Di sana, disimpan berbagai arca, gerabah kuno, serta beberapa komponen lawas candi.
Lebih dari sekadar peninggalan masa lalu, Batujaya mengirimkan pesan untuk masa depan. Arkeolog Hasan Djafar menyebut Batujaya dipengaruhi tradisi Nalanda di India utara. Kebudayaan India datang bersama pendatang dari sejumlah negara, lewat perdagangan di pantai utara Jabar. ”Batujaya muncul dari hasil perpaduan kebudayaan antara masyarakat pendatang dan warga setempat," kata Hasan.
Salah satu kolaborasi hadir lewat teknologi pengolahan tanah liat dengan campuran sekam atau kulit padi untuk dibuat batu bata. Tujuannya, mematangkan bagian dalam batu bata saat dipanaskan hingga suhu 700 derajat celsius. Teknologi lain adalah stuko atau plester putih berbahan dasar kapur. Kapur diambil dari pegunungan di Karawang selatan. Selain fungsi estetis, juga meningkatkan daya tahan bangunan.
Untuk melapisi tembok, arsitek Batujaya juga mencampur kapur dan kulit kerang demi mitigasi bencana. Kerang dianggap bahan tangguh penahan abrasi air laut. Adapun konsep mitigasi lain yakni upaya meninggikan halaman candi dan mengeraskan lantai dengan lapisan beton stupa. Tujuannya menghindari banjir luapan Sungai Citarum.
Tidak hanya fisik, Batujaya menyimpan pesan menyejukan. Ada toleransi tinggi di Batujaya. Dibangun di era Tarumanegara, kerajaan Hindu, kompleks percandian Batujaya merupakan kompleks percandian Buddha. Batujaya bisa jadi yang tertua, tapi pesannya sangat aktual untuk peradaban kini, dan selanjutnya.
Lihat Juga: Megahnya Situs Percandian Batujaya
Tiga kerajaan di Penataran
Kompleks Candi Penataran di Desa Penataran, Kecamatan Ngelegok, Kabupaten Blitar, adalah peninggalan tiga kerajaan besar di Jawa Timur, yakni Kediri, Singosari, dan Majapahit. Tempat pemujaan ini dibangun bertahap dalam waktu cukup lama, mulai abad ke-12 hingga ke-15.
Dengan luas lahan 180 m x 130 m, Percandian Penataran merupakan kompleks candi terbesar di Jatim. Candi di kaki barat daya Gunung Kelud ini terbagi dalam tiga halaman.
Memasuki halaman pertama, dijumpai Candi Bentar yang di kiri-kanannya terdapat arca Dwarapala berangka 1330 M. Di sini terdapat enam bangunan, di antaranya sebuah lantai atau batur besar yang disebut Bale Agung dan Candi Angka Tahun berangka 1369 M. ”Candi Angka Tahun ini digunakan sebagai logo Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya,” jelas Juru Pelihara Percandian Penataran Agus Setiono, Selasa (14/6/2022).
Adapun di halaman kedua, terdapat sejumlah bangunan, antara lain tiga buah batur dengan ukuran berbeda dan Candi Naga. Sementara di halaman ketiga terdapat, antara lain candi induk berbahan batu andesit dengan ukuran 32,5 m x 29,5 m, dengan tinggi 7,2 m membujur arah barat-timur. Candi induk berhiaskan relief Ramayana dan Kresnayana. Selain itu ada candi perwara 1 dan 2 berukuran 3,5 m x 3 m. Di sisi belakang candi terdapat petirtaan.
Tonton Juga: Terlalu Banyak Pengunjung, Potensi Kerusakan Candi Borobudur Makin Besar
Agus membenarkan cerita Panji Asmorobangun atau Inu Kertapati dari Jenggala dan kekasihnya, Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana dari Kediri, menjadi relief di Percandian Penataran, tepatnya di dinding pendopo teras. Pada Juli 2018, Festival Panji Internasional pernah dihelat di tempat ini diikuti negara tempat penyebaran cerita Panji seperti Thailand dan Kamboja.
Dalam sejarah, kompleks Candi Penataran berfungsi sebagai tempat pemujaan. Menurut sejumlah literatur kuno, nama asli candi ini adalah Palah atau Rabut Palah. Dalam Kidung Margasmara tercantum tulisan Panataran yang bermakna halaman. Kemungkinan untuk menamai seluruh kompleks candi.
Kompleks Candi Penataran kini selalu menjadi tujuan karyawisata pelajar dari berbagai daerah. Dengan tiket masuk Rp 5.000, jejak kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur terpatri di sana.
Kompleks Candi Penataran berfungsi sebagai tempat pemujaan. Menurut sejumlah literatur kuno, nama asli candi ini adalah Palah atau Rabut Palah.
Terluas Muaro Jambi
Kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi di Provinsi Jambi diakui sebagai pusat pendidikan Buddha terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-7 hingga ke-14. Lama meredup dan tenggelam di antara gundukan tanah, candi-candi itu diangkat kembali pada 1970-an.
Dari penggalian itu, terkuaklah bangunan bata megah berukuran 17 meter x 17 meter yang dinamai Candi Gumpung. Rangkaian ekskavasi dan pemugaran mendapati kawasan cagar budaya tersebut seluas 3.980 hektar. Selain Candi Gumpung, yang berhasil digali, yakni Candi Tinggi, Astano, Kembar Batu, Kedaton, Koto Mahligai, dan Teluk. Terdapat pula 82 menapo, atau gundukan batu berstruktur candi.
Luas kawasan Muaro Jambi diperkirakan 20 kali lebih besar dibandingkan dengan Candi Borobudur dan dua kali Kompleks Angkor Wat di Kamboja. Adapun tiket yang dikenakan sangat murah, yakni Rp 9.000 untuk dewasa dan Rp 6.000 bagi anak-anak.
Pada masa lalu, kawasan Cagar Budaya Nasional Muaro Jambi dikenal sebagai pusat pendidikan agama, filsafat, arsitektur, seni, serta kedokteran dan obat-obatan. Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Ahmad Mahendra mengatakan, kemegahan masa lalu Muaro Jambi akan dihidupkan lagi melalui revitalisasi besar-besaran hingga 2024. Pemerintah pusat menganggarkan Rp 1,5 triliun dan Pemerintah Provinsi Jambi Rp 260 miliar.
Selain kompleks candi terluas, Muaro Jambi dibangun dengan konsep arsitektur kota kuno nan megah. Selain dikitari parit selebar 2-3 meter, ada pula kanal selebar 6-10 meter yang mengular membelah candi-candi sebagai jalur transportasi. Kanal itu menyambung dengan Sungai Batanghari.
Dalam bukunya terkait Melayu tua, ahli filologi Uli Kozok menyatakan, Muaro Jambi selama berabad-abad pernah menjadi ibu kota Melayu. Bahkan, peneliti Belanda, Schnitger, menyebut bangunan Muaro Jambi sebagai bagian peradaban kota besar.
Meski demikian, kelestarian situs ini terancam. Aktivitas penimbunan (stockpile) batubara di sekitar situs dikhawatirkan merusak. Saat kunjungan Presiden Joko Widodo, April lalu, warga setempat sempat menyampaikan keluhan itu. Kondisi yang mesti segera diantisipasi demi keutuhan warisan salah satu peradaban tua Melayu di Sumatera.
Pahatan Tebing di Bali
Candi Tebing Gunung Kawi adalah bukti kreativitas masyarakat di Pulau Bali sejak dulu. Berbeda dengan candi-candi lain di Pulau Jawa yang dibangun dengan sususan batuan, situs budaya peninggalan dinasti Warmadewa pada abad ke-11 ini dipahat langsung pada dinding dan ceruk tebing batu padas.
Candi Tebing Gunung Kawi berlokasi di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Total, terdapat 10 candi pada tiga gugus. Pada prasasti menjelang pintu gerbang, tertulis kompleks tersebut adalah pedharman atau tempat pemujaan dan penghormatan bagi Raja Udayana serta kerabat kerajaan. Kompleks ini mulai dibangun pada masa Raja Marakata dan diselesaikan Raja Anak Wungsu. Keduanya putra Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa.
Untuk mencapai kompleks candi, pengunjung harus menuruni lebih dari 250 undakan mulai dari gerbang masuk. Oleh karena juga terdapat pura, yang merupakan tempat suci, pengunjung wajib memakai kain dan selendang, yang bisa disewa di lokasi. Adapun retribusi masuk sebesar Rp 30.000 bagi wisatawan domestik dan Rp 50.000 bagi turis mancanegara.
Pemimpin upacara di pura Candi Tebing Gunung Kawi Jero Mangku Ketut Wirawan (48) mengungkapkan, kawasan candi berikut kompleks pura di dalamnya, dirawat dan dimanfaatkan untuk ritual keagamaan. Salah satunya pujawali, memperingati masa berdirinya Pura Gunung Kawi pada setiap purnama ketiga dalam perhitungan kalender Bali, atau antara Agustus dan September.
“Ada 66 keluarga krama pengarep (warga inti) pengampu pura di Banjar Penaka. Adapun jumlah krama (warga) yang terlibat sekitar 300 orang,” kata Jero Wirawan, Senin (13/6/2022). Wisata Candi Tebing Gunung Kawi juga jadi sumber pendapatan banjar atau dusun, yang sebagian dananya digunakan membiayai pujawali maupun perayaan hari keagamaan lain.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali Ni Komang Aniek Purniti mengatakan, candi tersebut bagian situs arkeologi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan dan DAS Petanu. Lebih dari 200 situs ditemukan di dua DAS tersebut. Adapun situs arkeologi di Bali umumnya terjaga karena masyarakat sekitar ikut menjaga dan merawat. Terlebih, mereka pun memanfaatkan dalam kegiatan ritual keagamaan.
Situs arkeologi di Bali umumnya terjaga karena masyarakat sekitar ikut menjaga dan merawat. Terlebih, mereka pun memanfaatkan dalam kegiatan ritual keagamaan.
Jejak Toleran di Plaosan
Harmoni dan toleransi telah mekar di Nusantara sejak berabad silam. Salah satu buktinya tersusun di Candi Plaosan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Candi Plaosan diperkirakan dibangun sekitar abad ke-8 hingga ke-10. Menurut peneliti asal Belanda JG de Casparis, candi tersebut dibangun seorang raja Mataram Kuno bernama Rakai Pikatan untuk permaisurinya, Sri Kahulunan, atau Pramodhawardani.
Menariknya, sang permaisuri merupakan putri Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra, yang beragama Buddha. Sementara Rakai Pikatan memeluk agama Hindu.
“Perbedaan ini menyatu dalam bentuk arsitektur. Meski ini sebenarnya Candi Buddha, tetapi ada nuansa Hindu-nya. Toleransi tidak hanya diceritakan tetapi diwujudkan dalam bentuk arsitektur,” kata Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng, Wardiyah, Selasa (14/6/2022).
Bukti sebagai candi Buddha, terlihat dari keberadaan stupa pada atap candi induk. Reliefnya juga menampilkan sosok bodhisattva. Adapun candi perwara, atau pendamping, memiliki atap ratna. Jenis atap tersebut merupakan ciri candi Hindu.
Lanskap situs tersebut tak kalah unik karena dikelilingi area persawahan yang subur. Keberadaan parit kuno selebar delapan meter diduga tak hanya untuk keperluan candi. Bisa jadi, parit tersebut juga dimanfaatkan untuk irigasi pertanian di masa lalu.
”Saat panen, para petani akan membawa seikat hasil padi ke candi. Ada kepercayaan bahwa leluhur yang bersemayam di Candi Plaosan ikut menjaga sawah-sawah mereka,” kata Wardiyah. Dari tradisi itu, tumbuh harmoni antara warga dan situs. Warga ikut merasa memiliki candi.
Dengan struktur bangunan yang unik tersebut, pengunjung terus berdatangan. Dari data pengelola berkisar 400-500 orang per hari saat akhir pekan dengan tiket masuk Rp 5.000.
Pengelola Candi Plaosan terus menjaga harmoni dengan warga sekitar candi. Mereka dilibatkan sebagai pemandu wisata dan juru pelihara situs. Terlebih, disadari, situs sejarah hidup di tengah masyarakat. Meski menjadi lokasi wisata, selayaknya warga tak dijauhkan dari akar budayanya.
Baca Juga: Kompleks Percandian Muaro Jambi Terancam Rusak
Baca Juga: Tarif Candi Borobudur Dipastikan Tidak Naik, Jumlah Pengunjung Dibatasi