Borobudur, Antara Intervensi Pemerintah dan Ancaman Hilangnya "Jati Diri"
Candi Borobudur merupakan tempat suci dan sakral bagi umat Buddha. Peninggalan wangsa Syailendra itu adalah satu-satunya candi yang memadukan keseluruhan ajaran Buddha, baik sutra maupun tantra.
Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, kembali menjadi buah bibir. Kali ini, karena ada rencana menerapkan tarif baru untuk bisa naik Candi Borobudur sebesar Rp 750.000 per orang untuk wisatawan lokal dan 100 dollar AS atau setara Rp 1,4 juta untuk turis asing. Setelah menuai kritik, hanya dalam dua hari, rencana kebijakan tersebut diusulkan ditunda.
Rencana penerapan tarif baru itu pertama kali dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Sabtu pekan lalu. Selain itu, jumlah pengunjung juga dibatasi maksimal 1.200 orang per hari.
Salah satu pertimbangannya kawasan wisata Candi Borobudur memerlukan penanganan khusus. Sebab, faktanya bangunan Candi Borobudur mulai mengalami penurunan dan pengikisan. Diduga, hal itu terjadi karena adanya beban berlebih akibat kunjungan wisatawan. Penerapan kuota kunjungan diharapan bisa mengurangi beban Candi Borobudur sekaligus menghindari perilaku tak sopan dan vandalisme yang kerap terjadi.
Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Edy Setijono, mengatakan, penetapan harga baru itu merupakan bentuk keberpihakan pemerintah pada kepentingan konservasi (Kompas.id, 10 Juni 2022).
Tujuan untuk merawat dan menjaga Candi Borobudur tentu disepakati semua pihak. Namun, rencana penerapan harga khusus Rp 750.000 juga tak akan menjamin wisatawan yang mampu membayar tarif tersebut akan berlaku sopan, tidak meninggalkan sampah dan kotoran, maupun tidak melakukan vandalisme.
Selain itu, kendati mendukung pembatasan jumlah pengunjung, Ketua Sangha Theravada Indonesia Bhikkhu Pannavaro Mahathera menilai tarif tiket masuk bangunan Candi Borobudur sangat mahal. ”Dipastikan sebagian umat Buddha tidak akan bisa lagi naik dan melakukan ritual puja dan pradaksina di bangunan candi,” tuturnya.
Baca Juga: Polemik Borobudur Jadi Momentum Pembenahan
Rencana menata Candi Borobudur dan kawasan di sekitarnya sudah berlangsung beberapa tahun ini. Intervensi pemerintah dalam penataan kawasan Borobudur dilakukan setelah Presiden Joko Widodo menetapkan candi peninggalan wangsa Syailendra itu sebagai destinasi wisata superprioritas. Pada 2019 ditetapkan, penataan dan pengembangan empat destinasi wisata superprioritas dilaksanakan pada 2020, salah satunya Borobudur.
Presiden Joko Widodo setidaknya sudah tiga kali ke Borobudur, yakni pada 17 September 2017, 30 Agustus 2019, dan 30 Maret 2022. Pada kunjungan tahun 2019, Presiden Jokowi bahkan sempat menggelar rapat terbatas di sekitar lokasi dan meminta pengembangan pariwisata Candi Borobudur dipercepat. Tata ruang, penentuan zona-zona pembangunan pariwisata, tata kelola manajemen, serta kelembagaan kawasan wisata Borobudur diminta dibenahi. Pemerintah, bahkan, memutuskan untuk mengalokasikan anggaran Rp 6,8 triliun untuk menata kawasan Candi Borobudur hingga tahun 2024.
Dengan penetapan menjadi destinasi wisata superprioritas itu, pemerintah dapat melakukan intervensi lebih, terutama dalam menata dan menyiapkan fasilitas pendukung pariwisata. Penataan dan pengembangan Candi Borobudur itu dilakukan dengan tujuan meningkatkan daya tarik sekaligus kunjungan wisatawan.
Tak hanya Presiden, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga sempat berkunjung di kawasan wisata Borobudur, 21 April lalu. Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu datang untuk melihat langsung perkembangan penataan serta persiapan fasilitas pendukung wisata Borobudur.
”Saya mengunjungi destinasi wisata superprioritas yang mana memang disiapkan pemerintah supaya pada saat Hari Raya (Idul Fitri) sudah bisa dikunjungi. Karena memang sudah dua tahun masyarakat tidak bisa berkunjung ke tempat wisata candi,” tuturnya kala itu.
Saat itu, Wapres juga menyampaikan harapan kunjungan wisatawan ke Borobudur dalam meningkat pada libur Lebaran. Karena itulah ia merasa perlu memastikan fasilitas pendukung pariwisata sudah benar-benar siap.
Jati diri
Namun, sebelum ”menjual” Candi Borobudur sebagai destinasi superprioritas, semestinya perlu disadari penuh ”jati diri” Candi Borobudur. Noerhadi Magetsari, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, yang banyak meneliti dan menulis tentang Borobudur, pada acara Borobudur Writers and Cultural Festival 2017 menegaskan bahwa Borobudur bukan hanya bangunan berupa setumpuk batu berelief.
Borobudur lahir sebagai kombinasi Mahayana dan Tantrayana, dua aliran besar dalam Buddhisme. Untuk menyampaikan ajaran, divisualisasikan beberapa kitab dalam relief baik di dinding maupun langkan Borobudur
Nilai-nilai seperti pluralisme, toleransi, berpikir sebelum berbicara, dan peningkatan spiritual bisa dipelajari dari Candi Borobudur. ”Peninggalan ini mewariskan bukan hanya bangunan, tetapi juga ajaran,” ujarnya.
Untuk umat Buddha, menurut Noerhadi, Candi Borobudur merupakan satu-satunya warisan beragam catatan dalam bentuk visual. Dalam tulisannya berjudul ”Buddhism on the Period of Borobudur” yang disampaikan dalam Seminar Internasional Juli 2008, Noerhadi juga menyebutkan bahwa Borobudur lahir sebagai kombinasi Mahayana dan Tantrayana, dua aliran besar dalam Buddhisme. Untuk menyampaikan ajaran, divisualisasikan beberapa kitab dalam relief baik di dinding dan langkan Borobudur.
Kitab-kitab tersebut, antara lain, Mahakarnavibhanga di bagian kaki yang tersembunyi, kemudian Lalitavistara, Avadana, dan Jataka di tingkat pertama. Kitab Mahakarnavibhanga menceritakan kehidupan yang masih dipengaruhi sebab dan akibat (hukum karma). Adapun di tingkat pertama, penggambaran relief menampilkan praktik-praktik para bodhisattva (calon Buddha).
Di tingkat dua sampai lima, digambarkan latar filosofi dan praktik yoga. Upaya-upaya mencapai kebuddhaan ini digambarkan melalui relief sesuai Avatamsaka Sutra, Gandavyuha, dan Bhadracari. Adapun di bagian paling atas terdapat stupa utama yang menggambarkan pencapaian kebuddhaan.
Bhiksu Bhadraruci dalam diskusi daring terkait Borobudur 9 April 2021 menyebutkan Borobudur adalah satu-satunya candi yang memadukan keseluruhan ajaran Buddha, baik sutra maupun tantra. Tak hanya itu, Borobudur bisa dilihat sebagai simbol pencapaian spiritual setiap manusia atau mandala kesempurnaan. “Jadi, Borobudur itu tempat suci dan sakral,” tutur Bhadraruci yang saat ini Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia (SAGIN).
Karena itu, Borobudur memiliki daya tarik sedemikian besar bukan hanya untuk masyarakat Indonesia, melainkan juga untuk masyarakat dunia. Masyarakat datang berwisata, berfoto, menaiki stupa, dan meninggalkan sampah. Candi Borobudur pada akhirnya hanya menjadi lokasi wisata profan.
Meski merupakan tempat suci bagi umat Buddha, untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur bukan perkara mudah. Menurut Bhadraruci, panitia harus memborong tiket selama dua hari pelaksanaan acara. Beribadah akhirnya menjadi berbiaya besar.
Sebagai tempat suci, kesakralan dan 'roh' Borobudur semestinya dihidupkan kembali. Kegiatan spiritual, doa-doa yang didaraskan, selayaknya selalu ada seperti yang terjadi di situs-situs keagamaan lainnya.
Pengaturan pengunjung yang memasuki badan candi memang diperlukan sesuai aturan perundangan mengenai cagar budaya. Namun, hal ini bukan berarti sekadar menaikkan tarif masuk atau menurunkan tarif.
Baca Juga: Mari Berhenti Menumpukan Beban pada Candi Borobudur
Edukasi masyarakat, termasuk umat Buddha, juga diperlukan untuk menghargai peninggalan budaya nenek moyang. Sebagai destinasi superprioritas, pengelolaan dan penataan semestinya tetap menghidupkan kembali 'roh' Borobudur.
Bahkan, kata Bhadraruci, pengelolaan Candi Borobudur semestinya juga melibatkan umat Buddha. Situs-situs spiritual, seperti Angkor Vat dan Bodhgaya dikelola umat Buddha. Dengan demikian, Candi Borobudur benar-benar menjadi monumen yang ”hidup”. Masyarakat internasional pun akan mengakui Borobudur sebagai pusat ziarah spiritual dunia.