Gelorakan Kebanggaan Budaya Bangsa kepada Generasi Muda
Kebanggaan generasi muda terhadap budaya bangsanya wajib digelorakan. Itu menjadi penangkal lunturnya kearifan lokal akibat paparan pengaruh global yang sangat intens.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Kebanggaan generasi muda terhadap budaya bangsanya wajib digelorakan. Itu menjadi penangkal akan lunturnya kearifan lokal akibat paparan pengaruh global yang sangat intens. Upaya mendekatkan generasi muda dengan warisan budayanya perlu menyesuaikan perkembangan zaman.
Hal itu dibahas dalam diskusi publik bertajuk ”Menggelorakan Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal” yang diadakan atas kerja sama Universitas Sebelas Maret (UNS) dan harian Kompas dengan dukungan dari Bank Jateng, di Gedung Ki Hajar Dewantara UNS, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (24/6/2022). Kegiatan tersebut merupakan salah satu acara dalam rangkaian peringatan ”Bulan Bung Karno”.
Dalam pidato kuncinya, Guntur Soekarnoputra, putra proklamator dan Presiden Soekarno, mengkhawatirkan apabila kelak generasi muda kehilangan kebanggaan atas budaya bangsanya. Menurut dia, gejala itu tampak dari lebih digandrunginya produk budaya asing yang masuk secara masif seiring dengan kemajuan teknologi. Sebaliknya, budaya lokal yang sarat nilai luhur justru tidak lagi dikenali oleh para penerus bangsa.
Guntur beranggapan, penetrasi produk budaya asing tidak bisa dibiarkan saja. Hendaknya karakter generasi muda harus semakin diteguhkan agar mencintai budaya bangsanya. Sebab, kebudayaan juga mencerminkan kepribadian nasional dari suatu bangsa.
”Kalau didiamkan saja (penetrasi budaya asing), nanti setelah dewasa dia tidak tahu kepribadian bangsa ini. Perlu adanya pendidikan karakter bangsa. Itu satu-satunya cara agar mereka tetap mengetahui kepribadian bangsanya,” kata Guntur.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNS Warto menjelaskan, paparan pengaruh global tak bisa dihindari. Dengan demikian, budaya lokal perlu terus berdialektika dengan perkembangan zaman yang begitu dinamis. Tujuannya agar keberadaannya relevan bagi generasi muda. Dampaknya ialah kelestarian mengingat budaya dipeluk erat para penerusnya.
Untuk itu, menurut Warto, segenap anak bangsa hendaknya tidak berlarut-larut dalam kekhawatiran akan tergerusnya kebudayaan nasional. Sebaiknya semua pihak berpikir, langkah-langkah apa saja yang sudah dilakukan demi menjaga kelestarian kebudayaan nasional. Proses pemaknaan kebudayaan jangan pernah berhenti. ”Tradisi harus diaktualisasikan dan dimaknai sesuai dengan perkembangan zaman. Ini supaya (tradisi) menjadi sumber inspirasi dalam menghadapi tantangan zaman,” katanya.
Kedekatan generasi muda dengan budaya bangsanya, lanjut Warto, bisa diwujudkan dengan literasi budaya melalui institusi pendidikan. Salah satunya dengan menjadikannya materi ajar dari prasekolah hingga perguruan tinggi.
Ilmu-ilmu humaniora, seperti ilmu sejarah, sosial, dan kebudayaan, harus dianggap sama pentingnya dengan ilmu eksakta. Kecukupan literasi diyakini akan membuat generasi muda semakin menghargai dan bangga terhadap budaya bangsanya.
Mereka merasa seni budaya Indonesia sejajar dengan budaya asing atau kontemporer yang mereka kagumi.
Raden Ayu Irawati Kusumorasri, seniman dan Direktur Solo International Performing Arts (SIPA), menempuh jalur pertunjukan untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda pada budaya bangsa. Pada 2009, ia membidani lahirnya SIPA, sebuah festival seni pertunjukan yang mempertemukan kesenian tradisi dan kontemporer dari berbagai belahan dunia. Ajang tersebut juga terus eksis sampai sekarang.
”Di sana, mereka (anak-anak muda) menemukan suatu kebanggaan. Mereka merasa seni budaya Indonesia sejajar dengan budaya asing atau kontemporer yang mereka kagumi karena seniman tradisi dan kontemporer tampil dalam satu panggung yang sama,” kata Irawati.
Selanjutnya, Irawati menambahkan, kebanggaan itu ditunjukkan dengan unggahan apresiasi seni-seni tradisi di media sosial setiap anak muda yang menyaksikan perhelatan tersebut. Lewat cara itu, kebanggaan mereka tertular kepada sesama anak muda. Alhasil, semakin banyak anak muda yang ingin terlibat dalam pertunjukan itu. Bermula dari mengenali, para penerus bangsa itu mencintai budaya bangsanya.
”Di SIPA, ada suatu pergerakan kecintaan budaya yang dialami oleh anak-anak muda. Sebesar 70 persen penontonnya adalah anak muda. Sekarang, kami juga melakukan pertunjukan hybrid. Ini membuat penonton kami semakin luas. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di mancanegara,” kata Irawati.