Korban Pandemi Negara yang Dipimpin Perempuan 40 Persen Lebih Rendah
Tak ada negara yang luput dari pandemi Covid-19, tetapi beberapa di antaranya berhasil menekan angka kematian. Data statistik menunjukkan, negara-negara yang dipimpin perempuan memiliki 40 persen lebih sedikit kematian.
Tak ada negara di dunia yang luput dari pandemi Covid-19, tetapi beberapa di antaranya berhasil menekan angka kematian. Data statistik menunjukkan, negara-negara yang dipimpin perempuan memiliki 40 persen lebih sedikit kematian dibanding yang dipimpin pria.
Sejak awal pandemi, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, dan Kanselir Jerman Angela Merkel telah menarik perhatian publik dengan respons cepat dan tegas untuk meminimalkan risiko. Negara-negara yang mereka pimpin juga termasuk yang paling awal menjalankan penutupan pintu masuk saat banyak negara lain masih khawatir tentang dampak ekonominya.
Laman majalah Forbes pada April 2020 yang berjudul ”What Do Countries with The Best Coronavirus Responses Have In Common? Women Leader” menyebutkan, Presiden Tsai Ing-wen memperkenalkan 124 langkah untuk memblokir penyebaran Covid-19. Salah satunya melakukan pembatasan penerbangan yang berasal dari China, Hong Kong, dan Makau di minggu-minggu pertama setelah wabah dilaporkan. Selain itu, dia juga memberi komando untuk meningkatkan produksi alat pelindung diri yang belakangan diperebutkan banyak negara.
Di Jerman, Angela Merkel dikenal dengan salah satu pernyataannya sejak awal pandemi bahwa virus ini akan menginfeksi hingga 70 persen populasi. ”Ini serius,” katanya, ”anggap serius.” Dia pun merespons sungguh-sungguh dengan menjalankan pengujian masif sejak awal hingga penguncian. Jerman melewati fase penyangkalan yang telah kita lihat di banyak negara lain.
Baca juga : WHO: Setelah Dua Tahun, Pandemi Masih Jauh dari Selesai
Sebagaimana Merkel, Perdana Menteri Jacinda Ardern juga bergerak sejak awal. Pada 26 Maret 2020, Selandia Baru telah menerapkan level empat dengan memberlakukan penguncian paling awal dibanding negara lain.
Kontras dengan sikap para pemimpin perempuan ini, saat itu muncul sejumlah kepala negara yang cenderung menyepelekan ancaman pandemi. Salah satu yang paling disorot adalah mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang terkenal dengan berbagai pernyataan kontroversialnya, mulai dari anggapan Covid-19 sebagai flu biasa, memerintahkan jajarannya untuk memperlambat tes Covid-19, hingga abai dengan protokol kesehatan dan berbagai tawaran pengobatan kontroversialnya (Nature, 5 Oktober 2020).
Kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terutama di tahun-tahun pertama, juga termasuk yang disorot oleh para peneliti sebagai penyangkal risiko Covid-19. Tim Lindsey dan Tim Mann dari The University of Melbourne dalam tulisannya di The Conversation pada 9 April 2020 mengurai tentang kontroversi kebijakan dan pernyataan para pejabat di Indonesia terkait Covid-19, yang menyebabkan bencana kesehatan.
”Jokowi rupanya lebih mengkhawatirkan ancaman virus terhadap perdagangan, investasi, dan pariwisata. Pada Februari, ketika banyak negara memberlakukan pembatasan perjalanan yang ketat, ia berencana menawarkan diskon hingga 30 persen untuk menarik wisatawan. Pemerintahnya bahkan mengalokasikan hampir 8 juta dollar AS untuk membayar pemengaruh (influencer) media sosial untuk promosi pariwisata,” tulis Lindesy dan Mann.
Bukti statistik
Banyak contoh kontroversi pemimpin pria dalam menghadapi pandemi. Walaupun tidak bisa digeneraliasi bahwa semua semua kepemimpinan pria buruk selama pandemi, data statistik menunjukkan bahwa pemimpin perempuan memang lebih baik selama pandemi, setidaknya dalam menurunkan angka kematian.
Keterkaitan antara pemimpin perempuan dan dampak kematian akibat pandemi Covid-19 itu terungkap dalam kajian terbaru oleh tim peneliti dari Singapura, China, dan Australia yang dipublikasikan di Scientific Reports pada April 2022. Dianna Chang dari Singapore University of Social Sciences menjadi penulis pertama kajian ini.
Pemimpin perempuan cenderung bertindak cepat dan tegas serta lebih menghindari risiko terhadap hilangnya nyawa manusia yang memainkan peran penting dalam pencegahan dan hasil pandemi. (Kelvin Tan)
Studi ini menganalisis respons pandemi dari 91 negara antara Januari dan Desember 2020 dan menentukan bahwa karakteristik negara tertentu membentuk hasil Covid-19. Selain faktor yang umumnya terkait dengan penyakit menular (misalnya, populasi dan aktivitas pariwisata), mereka juga menemukan sederet daftar karakteristik negara yang memengaruhi dampak Covid-19.
Di antara faktor yang memperburuk adalah demografis-geografis, rasio pria-wanita, kepadatan penduduk, dan urbanisasi. Sementara itu, pendidikan, suhu, dan keragaman agama mengurangi dampak pandemi pada morbiditas dan mortalitas.
Untuk dimensi politik-hukum, demokrasi dan korupsi politik menjadi faktor yang memberatkan. Sebaliknya, kepemimpinan perempuan, kekuatan sistem hukum, dan kepercayaan publik pada pemerintah secara signifikan mengurangi infeksi dan kematian.
Dalam hal aspek sosial ekonomi, PDB per kapita, ketimpangan pendapatan, dan kebahagiaan (yaitu, kepuasan hidup) menyebabkan hasil Covid-19 yang lebih buruk. Menariknya, kemajuan teknologi meningkatkan morbiditas tetapi mengurangi mortalitas.
Untuk faktor perawatan kesehatan, pengalaman SARS (sindrom pernapasan akut parah) dan infrastruktur perawatan kesehatan membantu negara-negara tampil lebih baik dalam memerangi pandemi.
Di antara temuan itu, salah satu yang paling nyata adalah negara-negara di mana perempuan sebagai kepala pemerintahannya telah mengungguli negara-negara dengan kepemimpinan pria, dengan rata-rata 39,9 persen lebih sedikit kematian akibat Covid-19 yang dikonfirmasi.
Kelvin Tan dari University of Queensland, Australia, yang memimpin kajian ini, dalam keterangan tertulis, mengatakan, data statistik ini dapat dikaitkan dengan para pemimpin perempuan yang mengambil tindakan cepat dan tegas, pandangan yang lebih luas tentang dampak yang lebih luas pada masyarakat, dan lebih menerima pemikiran inovatif selama pandemi.
”Kami menemukan pemimpin perempuan cenderung bertindak cepat dan tegas serta lebih menghindari risiko terhadap hilangnya nyawa manusia yang memainkan peran penting dalam pencegahan dan hasil pandemi,” katanya.
Baca juga : Penanganan Covid-19 Indonesia di Mata Dunia
Tan mengatakan, banyak negara mengadopsi pendekatan serupa untuk menahan penyebaran Covid-19, tetapi ada perbedaan drastis dalam morbiditas dan mortalitas, bahkan di antara mereka yang memiliki kondisi sosial ekonomi dan latar belakang politik yang sama seperti Australia dan Selandia Baru.
”Per 31 Desember 2020, meskipun populasi Australia hanya lima kali lipat dari Selandia Baru, Australia telah melaporkan sekitar 13 kali lebih banyak infeksi dan 36 kali jumlah kematian daripada jumlah yang dilaporkan Selandia Baru,” katanya.
Respons cepat
Kajian Chang dan tim ini juga menunjukkan, kecepatan respons merupakan kunci penting dalam menekan angka kematian selama pandemi. ”Baik pemerintah yang otoriter maupun demokratis harus bertindak secara terpadu dan tepat waktu untuk mengelola krisis kesehatan. Bagi negara-negara demokratis, demokrasi itu sendiri tidak dapat disalahkan. Sebaliknya, ini tentang apakah para pemimpin dapat mencapai keseimbangan yang rapuh antara otoritas dan hak-hak liberal selama krisis,” tulis Chang.
Kebijakan harus dibuat untuk memungkinkan pemerintah membuat keputusan terpusat dalam krisis kesehatan karena penundaan intervensi dapat mengakibatkan konsekuensi hidup dan mati. Dalam wabah, kehidupan setiap orang terkait dengan pilihan dan perilaku orang lain; pertama dan terutama, setiap orang berhak atas jaminan kesehatannya.
Oleh karena itu, pandemi seharusnya juga menjadi momen para pemimpin untuk mengembangkan kesadaran di antara warga tentang pentingnya pengorbanan, misalnya kehilangan mobilitas, selama periode kritis wabah pandemi dan mendorong sikap membantu. Pemerintah dan warga negara harus bertindak dalam kesatuan dan memprioritaskan pengendalian pandemi, bahkan dengan mengorbankan tingkat kebebasan tertentu, baik di ranah politik maupun individu.
Pemimpin yang egois, baik demi ambisi politik maupun ekonominya sendiri, apalagi jika pemerintahannya diwarnai korupsi, dinilai bisa merusak kepercayaan terhadap pemerintah, yang merupakan elemen penting dalam pandemi. ”Temuan kami menunjukkan bahwa demokrasi harus disertai dengan pemerintahan yang kuat untuk pengendalian pandemi yang sukses,” sebut Chang.
Seperti yang ditulis Henderson dalam Harvard Business Review (2021) pandemi menunjukkan, pemerintahan yang kuat, yaitu yang akuntabel secara demokratis, diimbangi oleh media yang bebas dan sektor swasta yang berkembang, adalah kunci bagi ketangguhan masyarakat.
Fakta bahwa Covid-19 telah memengaruhi beberapa negara maju lebih dari negara berkembang menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi tidak menyiratkan kekebalan terhadap krisis kesehatan. Bukan sumber keuangan suatu negara, tetapi ketepatan waktu dan efektivitas intervensi yang terutama menentukan keberhasilan pengendalian pandemi.
Temuan penting studi Chang dan tim ini juga terkait ketimpangan pendapatan pada keparahan Covid-19, yang menunjukkan bahwa kebijakan publik harus mengarahkan perhatian khusus untuk melindungi orang miskin, yang lebih rentan terhadap pandemi. Negara-negara yang sangat bergantung pada arus masuk pariwisata juga dinilai perlu bersiap menghadapi peningkatan risiko kesehatan yang terkait dengan penyebaran penyakit menular, selain risiko yang terkait dengan pengurangan pendapatan yang tak terhindarkan akibat efek pandemi pada perjalanan.
Untuk meningkatkan faktor-faktor yang meringankan, investasi di bidang pendidikan telah terbukti bermanfaat, bahkan mengarah pada peningkatan kesehatan masyarakat. Pendidikan memungkinkan warga negara untuk membuat keputusan terkait kesehatan dan menghindarkan dari misinformasi.
Pada akhirnya, tidak realistis mengharapkan semua negara memilih pemimpin perempuan. Namun, mungkin para pemimpin pria dapat belajar dari rekan-rekan wanita mereka yang terbukti lebih peka dalam memprioritaskan isu-isu yang penting bagi kesehatan serta keselamatan masyarakatnya.