Penanganan Covid-19 Indonesia di Mata Dunia
Penanganan pandemi di Indonesia masih dinilai buruk. Dunia internasional menyangsikan kemampuan Indonesia menanggulangi Covid-19. Jika tak segera memperbaiki keadaan, Indonesia akan kian terpencil di komunitas global.
Meski pemerintah mengklaim situasi pandemi sudah mulai terkendali, nyatanya Indonesia masih menjadi episentrum Covid-19 di dunia. Melihat situasi ini, tak heran apabila banyak pihak di dunia internasional menyangsikan kemampuan Pemerintah Indonesia menanggulangi wabah. Jika tak segera memperbaiki keadaan, Indonesia akan kian terpencil di komunitas global.
Keadaan Indonesia yang menjadi titik ledak wabah Covid-19 di dunia tecermin dari perkembangan situasi pandemi setidaknya selama seminggu terakhir. Dalam rentang waktu tersebut, Indonesia yang memilki jumlah kasus positif baru 289.000 berada di peringkat kedua di dunia setelah AS dengan jumlah kasus sebesar 396.000.
Situasi pandemi di Indonesia semakin terlihat menyeramkan apabila dilihat dari segi jumlah kematian. Selama seminggu terakhir, telah lebih dari 10.000 jiwa gugur akibat virus Covid-19.
Dengan jumlah tersebut, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kematian mingguan terbanyak di dunia, lebih parah dari Brasil di posisi kedua dengan jumlah kematian sebesar 7.604 jiwa.
Tren perburukan ini sebertulnya bukan hanya baru terjadi seminggu terakhir. Seminggu sebelumnya, situasi di Indonesia pun sudah babak belur. Memang, dalam hal jumlah kasus positif mingguan, Indonesia tengah mengalami sedikit perbaikan.
Dua minggu lalu, Indonesia memiliki jumlah kasus positif mingguan sebesar 334.000 lebih. Dibandingkan dengan seminggu terakhir, jumlah tersebut lebih banyak sekitar 13 persen.
Namun, jangan cepat menilai dari capaian penurunan tersebut. Pasalnya, jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia justru meningkat tajam. Dua minggu lalu, jumlah kematian mingguan di Indonesia ialah sebesar 7.981 jiwa.
Angka ini meroket hingga 10.635 kematian seminggu terakhir. Dengan perubahan ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan ledakan kematian tertinggi di dunia dengan persentase perubahan mingguan sebesar 33 persen.
Baca juga: Adu Cepat Laju Vaksinasi di Panggung Global
Indonesia terisolasi
Semakin mengkhawatirkannya situasi pandemi ini membuat Indonesia dikucilkan di komunitas global. Takut akan keselamatan jiwa warganya, berbagai negara menempatkan Indonesia ke dalam daftar merah mereka. Artinya, warga negara tersebut dilarang untuk bepergian ke Indonesia, dan WNI dilarang untuk datang ke negara tersebut.
Hingga kini, setidaknya belasan negara telah memasukkan Indonesia dalam negara ”Do Not Travel”. Salah satu negara yang memberlakukan aturan ini ialah Arab Saudi.
Tak hanya menghimbau warganya untuk tak datang ke Indonesia, negara ini bahkan akan menghukum warganya yang nekat bepergian ke Indonesia dengan hukuman larangan bepergian ke luar negeri hingga tiga tahun.
Selain Arab Saudi, beberapa negara seperti Uni Emirat Arab, Filipina dan Singapura juga menerapkan travel ban ke Indonesia. Tak hanya membatasi pergerakan WNI dan warga negara tersebut untuk datang dan pergi ke Indonesia, mereka juga melarang adanya penumpang transit dari Indonesia. Artinya, siapa pun yang ingin bepergian ke negara lain, tetapi harus transit ke negara-negara tersebut praktis tidak dapat melakukan perjalanannya.
Negara-negara besar dan maju juga turut memberikan larangan bepergian ke Indonesia. Negara-negara dunia Barat yang mengeluarkan aturan ini termasuk AS, Inggris, dan Perancis.
Tak hanya itu, negara paspor Schengen juga tengah memberlakukan pengetatan terhadap negara di luar Benua Eropa. Maka, larangan ini pun praktis berdampak pula terhadap Indonesia.
Baca juga: Membuka Lebar Akses Vaksinasi Covid-19
Penanganan Buruk
Minusnya persepsi publik internasional tak hanya nampak dari ”isolasi” beberapa negara terhadap Indonesia. Hasil laporan dari beberapa lembaga internasional yang berupaya untuk mengukur kemampuan pemerintah berbagai negara mengatasi wabah Covid-19 juga menunjukkan buruknya penanganan pandemi di Indonesia.
Salah satu lembaga ini ialah Nikkei. Melalui laporan bertajuk Covid-19 Recovery Index, lembaga media dari Jepang ini berupaya untuk melihat seberapa jauh pemerintah sebuah negara untuk bangkit dari keterpurukan pandemi dari segi kesehatan.
Indeks yang digunakan oleh Nikkei diperoleh dari sembilan indikator yang dibagi menjadi tiga variabel, yakni manajemen infeksi, laju vaksinasi, dan mobilitas. Semakin tinggi skor yang diperoleh, artinya semakin berhasil pemerintah negara tersebut untuk memulihkan situasi kesehatan negaranya.
Variabel manajemen infeksi diturunkan dalam tiga indicator, yakni kasus konfirmasi Covid-19 harian dibandingkan dengan titik tertinggi kasus, kasus terkonfirmasi positif per populasi dan jumlah tes dilakukan per kasus terkonfirmasi. Dalam variabel ini, semakin rendah kasus dan semakin banyak tes berkontribusi terhadap semakin baiknya skor yang diperoleh.
Di variabel laju vaksinasi terdapat tiga indikator, yaitu total dosis vaksin yang disuntikkan per jumlah populasi, jumlah vaksin yang diberikan per jumlah penduduk per hari, dan persentase populasi yang telah menerima vaksin paling tidak sekali. Dengan semakin cepatnya laju vaksinasi di sebuah negara, semakin tinggi pula skor yang akan didapatkan.
Terakhir, di variabel mobilitas terdapat tiga indikator, yakni mobilitas masyarakat, indeks keketatan kebijakan mobilitas warga oleh Oxford (Oxford Stringency Index) dan jumlah penerbangan.
Dalam variabel ini, justru kelonggaran lah yang mendapatkan skor yang lebih tinggi. Semakin longgar kebijakan mobilitas dan semakin bertambahnya mobilitas warga, semakin baik pula skor yang akan diberikan kepada sebuah negara.
Dari kesembilan indikator tersebut, sebuah negara akan diberikan penilaian dari skala 0 hingga 90. Berdasarkan hasil terakhir pada 7 Juli silam, dengan skor sebesar 31, Indonesia berada di peringkat 110 dari 120 negara yang diukur. Di peringkat itu, Indonesia memang sedikit lebih baik dari Malaysia di posisi 114 yang memiliki skor 29 dan Thailand di urutan 119 dengan skor 26.
Namun, posisi Indonesia ternyata lebih buruk dari beberapa negara Afrika seperti Zimbabwe di peringkat 105 dengan skor 32, Rwanda di urutan 103 dan Uganda di urutan 100. Bahkan, Indonesia juga lebih payah dibandingkan dengan negara yang tengah berkonflik seperti Afghanistan yang berada di urutan ke-92 dengan skor 39.
Selain Nikkei, media The Economist juga turut mencoba mengukur kemampuan pemerintah berbagai negara hadapi pandemi. Melalui laporan Global Normalcy Index, media Inggris ini ingin melihat seberapa dekat kehidupan di sebuah negara saat ini dengan situasi saat sebelum virus Covid-19 mewabah.
Dalam mengukur ”kenormalan” ini, The Economist menggunakan aktivitas masyarakat, seperti aktivitas berbelanja, berpergian, perkantoran, hingga aktivitas hiburan seperti menonton bioskop dan menghadiri pagelaran olahraga. Hasilnya, sama dengan indeks Nikkei, posisi Indonesia berada di bawah. Dengan skor sebesar 44,1, Indonesia berada di peringkat 49 dari 50 negara.
Hasil yang diperoleh oleh Indonesia memang lebih baik dibandingkan dengan Malaysia yang berada di urutan terakhir dengan skor sebesar 27,1 dan hanya sedikit di bawah Vietnam yang memiliki skor sebesar 44,2.
Namun, capaian Indonesia ini tentu belum bisa dibanggakan karena masih tertinggal dari negara tetangga lain, yakni Filipina di urutan ke-42 dengan skor 58,2 dan Singapura yang berada di urutan ke-17 dengan skor 73,3.
Apabila tak ada langkah dramatis dari pemerintah, tentu sulit untuk berharap bahwa situasi pandemi akan mengalami perbaikan dalam waktu dekat.
Dari kedua indeks ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa penanganan pandemi di Indonesia masih jauh dari kata memadai, apalagi berhasil. Indeks dari Nikkei di atas menunjukkan bahwa dari segi kesehatan, situasi pandemi di Indonesia sebetulnya masih sangat mengkhawatirkan. Apabila tak ada langkah dramatis dari pemerintah, tentu sulit untuk berharap bahwa situasi pandemi akan mengalami perbaikan dalam waktu dekat.
Sejalan dengan itu, indeks yang dikeluarkan oleh The Economist juga menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu untuk mengembalikan keadaan sosial ekonomi seperti di tingkat sebelum pandemi.
Namun, melihat kedua indeks ini pun perlu dilakukan secara hati-hati. Bagaimanapun, Indonesia harus berhasil meningkatkan performa pemulihan sektor kesehatan seperti yang digambarkan oleh Nikkei terlebih dahulu.
Karena upaya sekeras apapun yang dilakukan pemerintah untuk ”mengembalikan” situasi sosial ekonomi di Indonesia tak akan berhasil apabila ribuan nyawa harus jatuh setiap harinya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : PPKM Darurat Gagal Penuhi Target