Perebutan rempah-rempah memicu terjadi tragedi kemanusiaan genosida tahun 1621 di Banda. Pembantaian leluhur Banda membuat masyarakat Banda terusir dan tersebar ke berbagai tempat.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·4 menit baca
Hujan deras mengiringi doa Warga Banda dan Basudara Wandan di dalam Benteng Nassau, Banda Neira, Maluku Tengah, Senin (20/6/2022). Mereka mendoakan kedamaian arwah leluhur yang dibunuh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1621.
Selepas mengunjukkan doa, mereka kemudian berjalan ke belakang Benteng Nassau. Di sana mereka menaburkan bunga di atas sumur tua, tempat para leluhur Banda dibantai empat abad silam.
Raja Bashar Alimuddin Latar, pimpinan Basudara Wandan, ikut menaburkan bunga. Basudara Wandan adalah sebutan bagi keturunan warga Banda yang melarikan diri ke Kepulauan Kei pascapembantaian 40 Orang Kaya Banda pada 1621 oleh Samurai Jepang yang dibawa Belanda.
Mereka melarikan diri dan selamat dari pembantaian Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen karena menolak usaha monopoli perdagangan pala dan rempah-rempah di Kepulauan Banda. Pembantaian orang Banda terpicu terbunuhnya Laksamana Verhoeven bersama pasukannya pada 22 Mei 1609 oleh Orang Kaya Banda.
Sejarawan asli Banda, almarhum Des Alwi, mencatat, dalam pembantaian Banda, sebanyak 40 Orang Kaya Banda dibunuh bersama sekitar 6.600 warga Kepulauan Banda. Lokasi pembantaian tepat berada di belakang Benteng Nassau.
Selain itu, 789 orang Banda diasingkan ke Batavia (Jakarta) di tempat yang sekarang bernama Kampung Bandan, lalu 1.700 orang Banda melarikan diri ke Ely dan Elat di Pulau Kei Besar. Hanya tinggal tersisa sepertiga orang asli Banda di Banda Neira (Kompas, 24 April 2012).
Kehadiran Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-17 membawa perubahan besar di Banda. Pada saat itu, untuk pertama kali Belanda membangun model perkebunan yang berdiri di atas suatu lahan yang dikosongkan.
Setelah Kepulauan Banda dikosongkan, Belanda mendatangkan pekerja perkebunan dari sejumlah daerah, seperti Jawa, Makassar, Buton, China, dan Ambon. Sekitar 600 perempuan dan anak Banda yang diasingkan ke Batavia ditarik lagi oleh Belanda ke Banda untuk mengembangkan perkebunan pala.
Genosida di Banda membawa narasi sejarah kelam bagi warga Banda Ely dan Banda Elat. Sistem perkebunan Belanda menutup akses bagi orang-orang asli untuk kembali. Selama berabad-abad, para pelarian dari Banda tak bisa kembali ke tanah nenek moyang.
Diundang ke Banda Neira
Bertepatan dengan momentum Muhibah Budaya Jalur Rempah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) akhirnya mengundang Basudara Wandan ke Banda Neira. Sebanyak 150 orang Basudara Wandan yang dipimpin Raja Bashar Alimuddin Latar tiba di Banda Neira, Kamis (16/6/2022).
”Ini adalah kunjungan bersejarah, untuk pertama kalinya warga Banda Ely dan Banda Elat ke Banda dalam pertemuan adat yang formal setelah 400 tahun harus meninggalkan Banda karena menolak untuk dijajah,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid, Senin (20/6), di Banda Neira.
Pesan kami, Banda adalah milik kita semua. Peliharalah Banda ini sebagai milik kita semua. Jangan anggap bahwa kami ke sini akan mengambil hak-hak kami, tidak! (Raja Bashar Alimuddin Latar)
Menurut Hilmar, ada anggapan yang muncul bahwa masyarakat Banda sudah punah. Istilah musnah ini muncul dari para penulis sejarah lebih untuk menekankan kekejaman Belanda.
Namun, warga Banda Ely dan Banda Elat mengatakan bahwa mereka tidak musnah. Dulu, mereka lari dari Banda dan kini tinggal di beberapa pulau, seperti Kei, Tanimbar, Seram Timur, dan sebagainya.
Raja Bashar mengungkapkan, di Pulau Kei Besar kini tinggal sekitar 2.000 orang keturunan Banda. Dulu, nenek moyang mereka lari dari Banda hingga sampai ke Pulau Kei.
Namun, karena pulau itu terlalu kecil, mereka kemudian diberi tempat oleh raja setempat di Pulau Kei besar, tepatnya di Ely dan Elat. Dari situlah muncul sebutan Banda Ely dan Banda Elat.
Meski hidup di tempat baru, warga Banda Ely dan Banda Elat tetap mempertahankan adat istiadat Banda. Nama-nama marga di sana sama dengan nama-nama pulau yang ada di Banda, seperti Wayer, Lonthor, Run, dan Ay.
”Pesan kami, Banda adalah milik kita semua. Peliharalah Banda ini sebagai milik kita semua. Jangan anggap bahwa kami ke sini akan mengambil hak-hak kami, tidak! Banda dengan segala potensi dan adat istiadatnya mesti kita jaga. Banda ini milik kita. Kami meyakini, nenek moyang kami masih ada. Meski jasadnya telah sirna. tetapi rohnya masih ada,” ujar Raja Bashar.
Menurut Rizal Bahalwan, tokoh Banda sekaligus Orlima Besar Kampung Adat Namasawar, masyarakat Banda tetap menganggap Warga Banda Ely dan Banda Elat sebagai saudara. ”Yang membuat jarak di antara kami adalah Belanda,” ujarnya.
Dengan bertemunya Basudara Wandan dan masyarakat Banda, mereka diharapkan bisa mengubur dendam dan amarah akibat sejarah kekerasan masa lalu untuk kebaikan bersama. Di Banda Neira, mereka melebur dendam.