Penelitian mengenai rempah bisa memperluas pemanfaatan rempah sekaligus budidayanya. Karena itu Ternate akan mengembangkan riset soal rempah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Cengkeh di Ternate, Selasa (14/6/2022). Cengkeh merupakan salah satu rempah unggulan di Maluku bagian utara sejak beberapa abad silam. Selain cengkeh, Maluku Utara juga terkenal akan pala.
TERNATE, KOMPAS — Ternate berencana mengembangkan penelitian mengenai potensi pemanfaatan rempah. Hal ini bertujuan untuk memperkuat posisi Ternate sebagai penghasil rempah tersohor sejak berabad-abad silam sekaligus agar rempah dapat memberi nilai tambah ke masyarakat.
”Besar keinginan kami agar ke depan Ternate ada studi mengenai rempah sehingga rempah kami tidak hanya menjadi kekuatan masa lalu, tetapi juga menjadi bagian dari ciri khas Ternate,” kata Wali Kota Ternate M Tauhid Soleman, di Ternate, Maluku Utara, Selasa (14/6/2022).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Wali Kota Ternate M Tauhid Soleman di Ternate, Selasa (14/6/2022).
Maluku bagian utara, yakni Tidore dan Ternate, sejak dulu terkenal sebagai penghasil pala dan cengkeh. Pedagang berbagai kebangsaan datang ke sana untuk membeli rempah, antara lain pedagang India, Arab, China, Melayu, dan Jawa. Pada masa itu, harga rempah setara dengan emas. Adapun pala dan cengkeh hanya bisa ditemukan di Maluku bagian utara dan Banda hingga awal abad ke-17.
Keberadaan rempah di Maluku Utara pun dirahasiakan oleh pedagang Arab dan China hingga berabad-abad. Ternate dan Tidore menjadi ”pulau misterius” yang begitu didambakan pedagang asing. Pada abad ke-16, Portugis berhasil menemukan Ternate.
Bangsa Barat lain pun satu per satu menemukan surga pala dan cengkeh tersebut, antara lain Belanda, Inggris, dan Spanyol. Kedatangan bangsa Barat menandai monopoli perdagangan rempah di Nusantara pada masa lalu.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Pala di Ternate, Selasa (14/6/2022). Pala merupakan salah satu rempah unggulan di Maluku bagian utara sejak beberapa abad silam. Selain cengkeh, Maluku Utara juga terkenal akan cengkeh.
Tauhid mengatakan, perdagangan rempah pada masa lalu mesti direfleksikan untuk pendidikan generasi muda. Lebih lanjut, ia berharap agar rempah mendatangkan nilai tambah bagi masyarakat, terutama para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM.
Daun dan tangkai tanaman cengkeh, misalnya, dapat diolah dan dijual menjadi minyak atsiri. Minyak atsiri kemudian bisa diolah menjadi berbagai produk, seperti sabun, lilin terapi aroma, dan bahan baku kosmetik. Adapun nilai tambah gagang cengkeh naik setelah diolah menjadi minyak atsiri (Kompas, 31/12/2020).
Menurut pemberitaan RRI pada Maret 2022, harga cengkeh di Ternate sekitar Rp 111.000 per kilogram. Adapun harga minyak atsiri cengkeh di salah satu lokapasar Rp 35.000-Rp 40.000 per 10 mililiter. Jika dikonversi ke kilogram, harga minyak atsiri cengkeh Rp 35 juta hingga Rp 40 juta per kilogram.
Di lereng Gunung Gamalama berdiri sebuah bangunan kecil dari bambu serupa warung yang kerap menjamu tamu dengan hidangan olahan rempah. Salah satu hidangannya adalah teh hasil rebusan cengkeh, kayu manis, daun pandan, daun kayu manis, dan daun cengkeh. Rasanya manis walau tanpa gula. Aromanya wangi.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Cengkeh di Ternate, Selasa (14/6/2022). Cengkeh merupakan salah satu rempah unggulan di Maluku bagian utara sejak beberapa abad silam. Selain cengkeh, Maluku Utara juga terkenal akan pala.
Johar, Ketua Komunitas Cengkeh Afo, mengatakan, komunitasnya memberdayakan warga sekitar untuk mengolah makanan dan minuman khas Ternate, termasuk mengolah rempah. Hidangan itu disajikan hanya ke tamu yang telah melakukan reservasi untuk minimal belasan orang. Sembari makan dan minum, tamu dapat belajar soal pohon cengkeh tertua di Indonesia.
“Tamu kami berasal dari berbagai tempat, salah satunya Australia. Sejumlah chef (koki) dari kota pun datang ke sini untuk belajar makanan khas di sini,” kata Johar.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang warga Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, Ternate, Maluku Utara menunjukkan teh rempah di Ternate, Senin (13/6/2022). Teh itu terbuat dari rebusan kayu manis, cengkeh, daun pandan, daun kayu manis, dan daun cengkeh.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengutarakan, tanpa pengetahuan, tanaman rempah akan hanya menjadi tanaman di hutan. Tanaman tersebut dapat menjadi rempah karena ada aplikasi pengetahuan warisan nenek moyang.
Orang cenderung menomorduakan rempah ketika belum melihat manfaat ekonomi rempah. Kita lalu fokus ke sumber daya alam lain yang menghasilkan lebih cepat. Padahal, yang lebih cepat menghasilkan belum tentu lebih baik.
Pengetahuan itu mesti dijaga dan dikembangkan. Ia pun mendukung rencana riset yang akan dilakukan Pemerintah Kota Ternate.
“Orang cenderung menomorduakan rempah ketika belum melihat manfaat ekonomi rempah. Kita lalu fokus ke sumber daya alam lain yang menghasilkan lebih cepat. Padahal, yang lebih cepat menghasilkan belum tentu lebih baik,” kata Hilmar.
”Hal ini dapat menjadi pendekatan yang tepat mengenai bagaimana kita melestarikan sejarah, budaya, dan alam, tetapi di sisi lain, bisa membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat,” tuturnya.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid di Ternate, Selasa (14/6/2022).
Upaya menghidupkan kembali potensi rempah Nusantara kini dilakukan melalui Muhibah Budaya Jalur Rempah. Program napak tilas jalur rempah ini melibatkan lebih kurang 147 pemuda-pemudi dari 34 provinsi. Mereka dibagi menjadi empat kelompok dan berlayar secara bergantian ke enam titik, yaitu
Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang. Hari Selasa (14/6/2022) ini, rombongan yang baru berlayar dari Baubau-Tidore berlabuh di Ternate.