Ketersediaan Data dan Ketelusuran Optimalkan Pengelolaan Sampah Plastik
Data dan keterlacakan sampah masih menjadi tantangan dalam daur ulang sampah. Selama ini, pihak pemasok daur ulang sampah tidak mengetahui dengan pasti berapa banyak sampah yang berada di bank sampah, TPA, atau tercecer.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan sampah dan penciptaan ekonomi sirkular masih menemui sejumlah tantangan seperti tidak adanya data dan ketelusuran sampah yang dihasilkan secara langsung. Semua pihak termasuk sektor swasta perlu mencari solusi dalam menyajikan data ketelusuran ini untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah plastik.
Head of Collect Waste4Change dan Project Manager Divert, Rizky Ambardimengemukakan, data dan keterlacakan sampah merupakan salah satu tantangan dalam pengelolaan sampah. Selama ini, pihak pemasok daur ulang sampah tidak mengetahui dengan pasti berapa banyak sampah yang berada di bank sampah atau di tempat pembuangan akhir (TPA)
”Di suplai itu tidak ada traceability (ketelusuran) dan tidak diketahui berapa sampah yang tersedia. Memang ada data estimasi, tetapi ini berasal dari riset di tahun tersebut. Jadi, tidak ada pelacakan langsung berapa banyak sampah yang dihasilkan saat itu juga,” ujarnya dalam diskusi daring tentang pentingnya data dan ketelusuran sampah plastik, Kamis (9/6/2022).
Masalah sampah yang paling esensial, yaitu terkait dengan rantai suplai. Sebab, sampai saat ini tidak ada titik temu antara sumber sampah dan pabrik-pabrik yang bisa mendaur ulang sampah. (Rizky Ambardi)
Rizky menuturkan, data menunjukkan bahwa hanya sekitar 12 persen sampah plastik yang berhasil didaur ulang. Sementara mayoritas sampah plastik lainnya tidak terkelola dengan baik seperti menumpuk di TPA, dibakar, dan tercecer di jalan atau sungai.
Salah satu upaya Waste4Change dengan didukung Unilever global dalam menyelesaikan persoalan ini, yaitu dengan menginisiasi proyek Divert. Divert bertujuan mendigitalisasi skema proses pemindahan suatu barang (reverse logistic) untuk meningkatkan rantai pasok daur ulang sampah.
Secara umum, proyek Divert melakukan empat hal utama, yakni membangun kerja sama dengan pengumpul sampah, mengembangkan sistem monitoring, pelatihan untuk pengumpul, dan meningkatan fasilitas pengumpulan atau pengolahan sampah. Program ini juga memiliki aplikasi khusus di ponsel sehingga memudahkan para mitra melakukan pelatihan.
Menurut Rizky, dengan kemampuan logistik dan infrastruktur yang dimiliki Indonesia, secara umum daur ulang sampah plastik sangat bisa dilakukan. Sebab, fakta menunjukkan beragam produk dengan wadah plastik juga terdistribusi dan menjangkau hingga daerah terpencil.
”Jadi, masalah sampah yang paling esensial, yaitu terkait dengan rantai suplai. Sebab, sampai saat ini tidak ada titik temu antara sumber sampah dengan pabrik-pabrik yang bisa mendaur ulang sampah,” tuturnya.
Di samping menciptakan ekonomi sirkular, kata Rizky, upaya pengurangan sampah juga harus mulai dilakukan dengan perubahan pola pikir semua pihak termasuk masyarakat. Selama ini, pola pikir yang terbentuk, yaitu produksi, konsumsi, dan buang. Pola pikir ini perlu diubah dengan menitikberatkan pada daur ulang.
Namun, perubahan pola pikir ini diakui membutuhkan waktu yang lama. Cara instan yang dinilai bisa didorong untuk mengurangi sampah, yaitu membangun rantai permintaan. Artinya, pengelolaan sampah plastik yang baik diyakini akan semakin meningkat bila banyak konsumen yang membeli produk dengan wadah daur ulang.
Kepala Divisi Lingkungan dan Keberlanjutan Unilever Indonesia FoundationMaya Tamimi menyatakan, Unilever memiliki komitmen yang kuat untuk membangun Bumi yang lestari melalui berbagai upaya berkelanjutan. Unilever percaya bahwa permasalahan sampah salah satunya bisa diurai dengan menerapkan ekonomi sirkular.
”Unilever telah menetapkan komitmen global untuk menanggulangi permasalahan sampah plastik. Komitmen ini dilakukan dengan mengurangi penggunaan kemasan plastik sebanyak lebih dari 100.000 ton dan mempercepat penggunaan plastik daur ulang,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan mulai dari hulu hingga hilir dalam rantai bisnis ini telah memungkinkan Unilever Indonesia pada 2021 membantu pengumpulan dan pemrosesan lebih dari 45.000 ton sampah plastik. Pengumpulan ini dilakukan melalui jaringan bank sampah, tempat pengelolaan sampah reduce reuse recycle (TPS3R), dan pengepul.
Solusi tepat
Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sinta Saptarina Soemiarno mengapresiasi Unilever dan Waste4Change yang berhasil melahirkan proyek pengurangan sampah berbasis digital. Hal ini sangat penting karena pemanfaatan digital menjadi solusi yang tepat untuk aspek monitoring, evaluasi, dan verifikasi sehingga diperoleh data pengelolaan sampah yang terukur.
Sinta menegaskan, ketentuan dalam Undang-Undang No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah telah jelas menyebut bahwa pelaku usaha wajib menggunakan bahan produksi yang minim timbunan sampah, dapat didaur ulang, dan mudah diuraikan oleh proses alam. Aturan lainnya untuk mengelola sampah dari pekaku usaha juga tertuang dalam Peraturan Menteri LHK No 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Sinta mengakui bahwa sampah plastik terus sampai saat ini masih meningkat ragamnya baik secara global maupun nasional. Di Indonesia, komposisi sampah plastik meningkat dari 11 persen menjadi 17 persen rata-rata nasional.
”Bahkan, di Surabaya, komposisi sampah plastik mencapai 22 persen. Jika tidak ada kebijakan dan program yang ekstraordinari, pada 2050 komposisi sampah plastik bisa mencapai 40-50 persen,” ungkapnya.