Makanan Bermanfaat bagi Tubuh Hanya jika Aman
Satu dari sepuluh orang di seluruh dunia jatuh sakit setiap tahun akibat makanan yang terkontaminasi. Selain bisa menimbulkan kematian, makanan yang terkontaminasi juga bisa berdampak pada kesehatan jangka panjang.
Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia, tetapi hanya jika aman dikonsumsi barulah kita bisa mendapatkan manfaat penuh dari gizinya. Faktanya, satu dari sepuluh orang di seluruh dunia jatuh sakit setiap tahun akibat makanan yang terkontaminasi. Ini jadi pengingat akan pentingnya keamanan makanan.
Mengacu data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 600 juta kasus penyakit bersumber dari makanan dilaporkan setiap tahun. Angka ini setara dengan satu dari 10 orang di dunia yang sakit karena makanan per tahunnya.
”Laporan orang yang sakit karena makanan ini masih berupa puncak gunung es. Setiap satu kejadian yang dilaporkan bisa mewakili 100 kasus lain,” kata Purwiyano Hariyadi, Guru Besar Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB University, Selasa (7/6/2022).
Purwiyano, yang pernah menjadi Wakil Ketua FAO/WHO Codex Alimentarius Commission (CAC), yaitu badan penetapan standar makanan internasional 2017-2021, mengatakan, di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, data kasus keamanan pangan masih sangat terbatas.
Baca juga : Menjamin Keamanan Pangan yang Berkelanjutan
Mengacu laporan Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat, Purwiyano mengatakan, pada tahun 2015 terdapat 5.000 orang di AS yang meninggal karena makanan dalam setahun. Adapun yang sakit karena makanan sebanyak 76 juta orang dan 325.000 di antaranya dirawat di rumah sakit.
”Tahun yang sama (2015), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) memublikasikan, yang meninggal di Indonesia karena makanan hanya 2.500 orang dalam setahun, sedangkan yang sakit hanya sekitar 411.000 sehingga total kerugian akibat makanan tidak aman ini ditaksir hanya Rp 2,9 triliun,” tuturnya.
Menurut Purwiyano, terbatasnya data kejadian atau insiden keamanan pangan di Indonesia karena sistem pencatatan data yang belum baik. Selain itu, kesadaran masyarakat yang rendah dan kerap menganggap sepele gangguan kesehatan yang disebabkan makanan.
”Di Indonesia, dengan budaya dan infrastruktur keamanan pangan seperti ketersediaan air bersih masih terbatas, angka orang yang meninggal atau sakit karena makanan pasti jauh lebih tinggi, tetapi datanya ternyata rendah,” ujarnya.
Karena keterbatasan data, tambah Purwiyano, kerugian akibat masalah ketidakamanan pangan di Indonesia hanya ditaksir sekitar Rp 2,9 triliun per tahun, sedangkan di AS angkanya Rp 299 triliun per tahun. ”Karena di Indonesia dampaknya dianggap kecil, masalah keamanan pangan masih belum dianggap serius,” ujarnya.
Purwiyano mengilustrasikan skala masalah ketidakamanan pangan di Indonesia dengan situasi di awal pandemi yang seolah-olah belum ada kasusnya, tetapi ternyata hal itu karena keterbatasan kapasitas dalam pemeriksaan dan pendataan.
Padahal, selain dampak jangka pendek, pangan yang tidak aman juga bisa berdampak jangka panjang. Sejumlah kajian telah mengaitkan hubungan pangan yang tidak sehat dengan berbagai penyakit kronis, termasuk penyakit kanker dan gangguan hati.
Baca juga : Gunung Es Bakteri Kebal Antibiotik pada Rantai Pangan
”Ada sejumlah kajian yang menunjukkan, negara-negara yang status keamanan pangannya kurang baik, angka stuntingnya tinggi. Data di Mozambik, anak-anak yang mengalami stunting memiliki paparan aflatoksin lebih tinggi. Aflatoksin ini berasal dari jamur yang ada di biji-bijian karena disimpan dalam kondisi lembab,” tuturnya.
Menurut laporan PBB, penyakit yang timbul dari makanan yang tidak higienis terutama memengaruhi orang-orang yang paling rentan dan bagian masyarakat yang terpinggirkan, terutama anak-anak, perempuan, dan korban konflik.
Tingginya masalah kesehatan terkait pangan ini membuat Majelis Umum PBB menetapkan setiap tanggal 7 Juni sebagai Hari Keamanan Pangan Sedunia. Peringatan yang difasilitasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) ini ditujukan untuk mengingatkan pentingnya keamanan pangan. Tahun ini Hari Keamanan Pangan Sedunia mengambil tema ”Makanan yang Lebih Aman, Kesehatan yang Lebih Baik”.
Ada sejumlah kajian yang menunjukkan, negara-negara yang status keamanan pangannya kurang baik, angka stuntingnya tinggi.
Naoko Yamamoto, Asisten Direktur Jenderal WHO untuk Universal Health Coverage/Healthier Populations, dalam pesan melalui video mengatakan, keamanan pangan harus menjadi prioritas utama setiap orang untuk menjadi sehat dan produktif. Ini juga akan meringankan beban pada sistem pelayanan kesehatan.
Menjaga keamanan pangan
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Bakrie, Ardiansyah, mengatakan, risiko keamanan pangan di Indonesia terutama terkait dengan keracunan oleh mikroba patogen, penggunaan bahan kimia berbahaya seperti boraks dan formalin, serta penggunaan bahan tambahan pangan berlebihan.
Risiko penyakit bersumber makanan yang disebabkan mikroba patogen, baik berupa virus, bakteri, maupun parasit di Indonesia, dinilai sangat tinggi karena kondisi lingkungan tropis yang hangat dan lembab. Hal ini memudahkan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan, termasuk jamur beracun.
Beberapa patogen berbahaya yang umum mencemari makanan, di antaranya, E. coli, Salmonella, Listeria, Siklospora, hingga Hepatitis A. Terbaru, Pemerintah AS dan Kanada tengah menyelidiki wabah Hepatitis A yang diduga berkaitan dengan stroberi organik yang sudah tercemar.
Mikroba berbahaya pada makanan biasanya akan menyebabkan penyakit dalam waktu 1 sampai 3 hari setelah seseorang memakan makanan yang terkontaminasi itu. Namun, penyakit juga dapat muncul dalam waktu 20 menit atau hingga 6 minggu kemudian. Gejala penyakit bersumber makanan dapat meliputi muntah, diare, dan sakit perut, serta gejala mirip flu, seperti demam, sakit kepala, dan nyeri tubuh.
Menurut Purwiyano, keamanan pangan sangat ditentukan sejak produksi, penanganan pascapanen, distribusi, pasar, hingga di konsumen. Untuk produksi, harus dijaga agar tidak ada residu pestisida dan logam berat, sedangkan pascapanen harus dikelola agar tetap bersih dan tidak tercemar kontaminan berbahaya. ”Budaya keamanan pangan perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Baca juga : Kejahatan Pangan Menyasar Perdesaan
Pengembangan budaya pangan sehat ini, juga harus didukung infrastruktur yang memadai. ”Budaya sudah ada, tetapi kalau air tidak ada, repot juga. Khusus untuk pelaku usaha kecil dan menengah, perlu didukung alternatif bahan pengawet yang aman dan terjangkau. Selama ini belum ada, penggunaan formalin dan boraks sebagai pengawet sulit untuk diatasi,” ujarnya.
Sementara di level keluarga, risiko ketidakamanan pangan bisa dihindari dengan menerapkan kebiasaan hidup sehat dalam mengolah dan mengonsumsi makanan.
Mengacu pada WHO, ada lima kunci keamanan pangan yang bisa diterapkan. Pertama, selalu bersihkan makanan mentah sebelum dikonsumsi. Kedua, pisahkan barang mentah dan matang agar tidak terjadi pencemaran silang. Makanan mentah harus disimpan terpisah dari makanan yang dimasak dan harus selalu disimpan dengan penutup.
Ketiga, masak dengan benar. Misalnya, daging harus disiapkan dengan matang guna membunuh bakteri berbahaya. Keempat, simpan produk dengan benar. Upayakan simpan produk yang harus dingin tetap dingin di dalam lemari pendingin, sedangkan yang panas tetap panas dan hindari terlalu lama berada di suhu ruang.
Kelima, jika mengonsumsi produk pangan kemasan, harus memperhatikan label, termasuk bagaimana menyimpannya. ”Ikuti petunjuk, juga menyimpannya terutama setelah dibuka, termasuk kedaluwarsanya, baik makanan mentah maupun dimasak, sangat penting untuk disimpan makanan dengan benar di lemari es,” kata Purwiyano.